"Apa kamu sudah menemukan informasi tentangnya, Jackson?"
"Sudah, Kak. Aku yakin dia adalah dady kita."
Dua bocah laki-laki berusia 7 tahun itu kini menatap ke arah layar komputer mereka bersama-sama. Mereka melihat foto seorang Pria dengan tatapan datar dan dingin. Namun, dia memiliki wajah yang sangat tampan rupawan.
"Jarret, Jackson apa yang kalian lakukan?" Tiba-tiba suara seseorang membuat kedua bocah itu tersentak kaget.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon emmarisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22. Apa Kakek Marah?
Gilbert menghela napas panjang. Dia menatap putrinya yang telah berlinang air mata. Ia benar-benar merasa miris dengan nasib putrinya.
"Kemarilah, maafkan papa yang tidak bisa menjagamu."
"Papa tidak salah, semua salahku. Seharusnya sejak awal aku menceritakan ini pada papa."
"Sudahlah, jangan menangis. Nanti cucu-cucuku akan sangat membenciku karena membuatmu menangis. Sekarang panggil mereka. Aku mau berkenalan dengan mereka."
Giani mengangguk sembari mengusap air matanya. Dia berjalan ke atas untuk memanggil kedua putranya.
Jackson bergegas ke kamar saat mendengar suara langkah kaki ibunya. Sedangkan Jarret terlihat sibuk sejak tadi dengan tabletnya.
"Kak, mommy sedang menuju kemari."
"Sebentar lagi aku selesai." Jarret terlihat sibuk mengetik dan berulangkali terlihat sangat serius sekali.
"Jarret, Jackson. Kakek memanggil kalian."
Jarret meletakkan tabletnya senyum misterius tergambar jelas di wajahnya. Menurutnya pria itu benar-benar harus mendatangi mereka untuk meminta maaf terutama pada ibunya.
"Yes, Mom."
"Ayo turun, kakek ingin bertemu kalian."
"Apa kakek sudah tidak marah pada kami?" tanya Jarret dengan memasang wajah polosnya. Entah mengapa kedua anak Giani itu seakan memiliki dua kepribadian.
"Tidak, Sayang. Kakek tidak marah. Kakek hanya merasa terkejut. Mommy tidak pernah menceritakan kalian pada kakek. Maafkan mommy, ya?"
"Yes, Mom."
Giani dan kedua putranya turun untuk menemui kakeknya. Gilbert menatap kedua cucunya. Sebelah alisnya terangkat saat menatap wajah serius cucu yang tadi sempat menyelanya bicara.
"Pah, kenalkan. Ini Jarret putra pertamaku dan ini Jackson putra keduaku." Giani tersenyum simpul, dia sesaat menatap kedua putranya, "Jarret, Jackson perkenalkan diri kalian pada kakek."
"Aku Jarret, Kek. Aku lahir 15 menit lebih cepat dari adikku."
"Aku Jackson, aku anak mommy yang paling tampan." Jarret dan Jackson menyodorkan tangannya pada Gilbert. Gilbert menarik lembut kedua tangan cucunya. Dia memeluk kedua cucunya erat. Dalam hati dia meyakini sesuatu. Wajah kedua cucunya sangat mirip dengan pemilik Sword of Science tempatnya bekerja selama ini, tapi kenapa Giani bisa terlibat dengannya? Padahal selama bekerja di SoS, Gilbert selalu mewanti-wanti Giani agar tidak terlibat dengan Ben.
"Maaf kakek baru bisa bertemu kalian."
Saat Gilbert mengurai pelukannya, Jackson seperti biasa akan menempel pada orang yang baru di kenalnya.
"Kakek, kata mommy, kakek adalah ilmuwan hebat. Kapan-kapan ajari kami, ya?"
"Hahaha, kalian mau diajari apa?"
"Bagaimana kalau ajari kami membuat serum? agar kami bisa cepat tumbuh besar lalu kami bisa melindungi mommy."
"Mommy tidak mau kalian tumbuh terlalu cepat. Kalau kalian cepat dewasa, kalian akan meninggalkan mommy. Kalian pasti akan sibuk dengan kekasih kalian dan jarang pulang."
"No, Mom. Jika kami dewasa kami akan menjaga mommy dari laki-laki hidung belang. Kami tidak akan pernah meninggalkan mommy."
"Oh, ya?"
"Tentu saja, Mom."
"Kalau begitu, kakek bisa tenang sekarang. Kakek selalu khawatir jika mommy kalian tidak ada yang menjaganya di sana."
"Kakek tenang saja."
"Kalau begitu, ayo kita ke restoran, kakek ingin merayakan hari ini."
"Tentu saja. Ayo."
Gilbert, Giani dan juga kedua putra Giani kini pergi. Mobil Ramos masih setia menunggu, karena ini perintah langsung dari Ben. Meski seharian perutnya baru diisi dengan burger. Namun, Ramos tetap setia menjalankan perintah dari Benjamin.
"Ramos, ikuti mobil mereka."
Tanpa menjawab, Ramos segera menjalankan mobilnya menyusul mobil yang dikendarai okeh Giani. Giani berhenti di sebuah restoran langganan keluarganya sejak dulu. Rasanya dia benar-benar merindukan Melbourne hingga tanpa terasa air matanya jatuh menetes.
"Mom, are you crying?" tanya Jackson. tatapan bocah itu begitu dalam dan penuh kelembutan.
"Tidak, Sayang. Mommy hanya tadi kemasukan debu," kata Giani sembari menggosok matanya.
"Ada apa, Sayang?" tanya profesor Gilbert.
"Tidak ada apa-apa, Pah. Aku tadi kemasukan debu."
"Mom, kau mengajarkan kami untuk tidak berbohong. Kenapa mommy berbohong pada kakek? jika mommy benar-benar kelilipan, harusnya yang merah hanya mata, tapi hidung mommy bahkan lebih merah mata mommy. Mommy pasti menangis, 'kan?"
Giani tersenyum lembut. Baiklah, dia memang tidak bisa membohongi kedua putranya, dia salah malah memberikan contoh putranya untuk berbohong."
"Maafkan mommy, mommy memang berbohong. Mommy hanya terharu saja. Sudah lama sekali mommy tidak datang kemari."
"Apa gara-gara kami, Mommy jadi jarang kemari?" tanya Jarret.
"Tidak, Sayang. Bukan karena kalian."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...