Hanya karena ingin membalas budi kepada Abram, lelaki yang telah menolongnya, Gisela memaksa menjadi istri lelaki itu meskipun ia harus mendapat perlakuan kasar dari Abram maupun mertuanya. Ia tetap bersabar.
Waktu terus berlalu, Gisela mengembuskan napas lega saat Abram mengajak tinggal di rumah berbeda dengan mertuanya. Gisela pikir kehidupan mereka akan lebih baik lagi. Namun, ternyata salah. Bak keluar dari kandang macan dan masuk ke kandang singa, Gisela justru harus tinggal seatap dengan kekasih suaminya. Yang membuat Gisela makin terluka adalah Abram yang justru tidur sekamar dengan sang kekasih, bukan dengannya.
Akankah Gisela akan tetap bertahan demi kata balas budi? Atau dia akan menyerah dan lebih memilih pergi? Apalagi ada sosok Dirga, masa lalu Gisela, yang selalu menjaga wanita itu meskipun secara diam-diam.
Simak kisahnya di sini 🤗 jangan lupa selalu dukung karya Othor Kalem Fenomenal ini 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rita Tatha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AMM 22
..."Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada pengkhianatan dalam sebuah hubungan. Ia memang lebih dulu hadir dalam hidupmu, tetapi akulah yang seharusnya lebih berhak atas dirimu. Jika tidak ada cinta dan yang ada hanyalah luka. Lantas untuk apa tetap bertahan jika berpisah itu lebih baik." ...
...****************...
Semenjak mendapat telepon dari suaminya, Gisela selalu merasa gelisah. Tidak tenang dan selalu takut jika Abram akan datang dan melukainya. Perceraian Gisela dan Abram sedang dalam proses dan Hendarto tidak mau melakukan mediasi. Ia sungguh merasa sakit hati melihat kenyataan bahwa putrinya selama ini disakiti oleh lelaki yang sudah sangat ia percaya bisa menjaga putrinya dengan baik.
Beberapa kali Abram berusaha untuk menghubungi Gisela, tetapi wanita itu seolah menghindar dan memilih untuk menjauh. Sampai akhirnya Abram mengancam akan membunuh orang tua Gisela jika wanita itu tidak mau bertemu dengannya, dan di sinilah mereka sekarang. Di sebuah kafe yang cukup terkenal di kota tersebut.
Pasangan yang masih resmi sebagai suami-istri tersebut sejak tadi duduk bersama dalam satu meja. Namun, sudah sepuluh menit berlalu yang ada hanyalah keheningan di antara mereka. Gisela terus saja menunduk, sedangkan Abram memusatkan pandangannya kepada wanita itu. Ada ketakutan yang dirasakan Gisela saat menyadari sorot mata Abram.
"Kamu yakin akan berpisah dariku?" Pertanyaan Abram berhasil memecahkan keheningan di sana dan hanya mendapat anggukan lemah dari wanita di depannya. "Kamu tidak ingin memikirkannya lagi? Jangan hanya diam!"
"Ti-tidak, Mas." Gisela merasa sangat gugup. "Aku pikir kita memang tidak akan pernah cocok. Maaf, kalau aku sudah membuat hidup kamu tidak nyaman selama ini."
"Baguslah kalau kamu sadar selama ini sudah membuat hidupku tidak nyaman. Cih!" Abram berdecih. "Kamu yakin sudah siap mendapat cercaan dari orang-orang kalau dirimu ternyata hanyalah aib untuk keluargamu? Wanita yang menyandang gelar janda di usia muda."
Bibir Gisela terbungkam rapat saat mendengar ucapan Abram yang ada benarnya juga. Sebuah perceraian memang akan menjadi aib untuk keluarga besarnya. Akan tetapi, semua tidak masalah bagi Gisela karena sang papa juga sangat mendukung keputusannya.
Senyum licik Abram tampak jelas ketika melihat raut kebimbangan memenuhi wajah Gisela. Memang inilah yang akan dilakukan, membuat wanita itu tetap bertahan padanya. Ia akan berusaha untuk meracuni wanita itu. Namun, ketika melihat kepala Gisela menggeleng lemah, senyum itu pun perlahan memudar.
"Aku tidak akan pernah takut, Mas. Papa bilang tidak apa." Gisela berbicara lirih. "Lagi pula jika kita berpisah. Kamu bisa dengan bebas menikahi Stevani. Ada janin di rahimnya yang butuh pengakuan. Aku tidak mau menjadi penghalang di antara kalian lagi."
Tangan Abram terkepal erat saat melihat wajah Gisela yang terlihat lebih tenang dari sebelumnya. "Baiklah. Kalau begitu aku akan menuruti keinginanmu. Kita akan segera bercerai. Kuharap kamu tidak akan pernah menyesal."
Abram bangkit berdiri dan melangkah pergi meninggalkan Gisela begitu saja. Tampak kemarahan dari wajahnya. Ternyata semua tidak seperti yang ia bayangkan. Abram pikir Gisela akan memohon dan bahkan bersujud padanya, mengatakan sebuah kata penyesalan karena sudah berani menggugat cerai padanya. Namun, ternyata tidak. Wanita itu benar-benar menggugat cerai atas dirinya dan tidak ada yang bisa dilakukan lelaki itu selain menerima. Ia punya harga diri yang harus dijunjung tinggi.
Tatapan Gisela sama sekali tidak pernah lepas dari punggung Abram yang perlahan menjauh dari pandangan. Ia mendes*h kasar saat merasakan ada rasa sesak di dada. Air matanya hampir saja luruh, tetapi Gisela berusaha sekuat mungkin untuk menahan.
"Kalau kamu ingin menangis maka menangislah karena hal itu yang akan membuat perasaanmu lebih lega."
Gisela terdiam saat mendengar suara seseorang di belakang. Ia menoleh dan mendes*h kasar saat melihat Dirga yang sedang berdiri menatap ke arahnya.