“Tega kau Mas! Ternyata pengorbanan ku selama ini, kau balas dengan pengkhianatan! Lima tahun penantianku tak berarti apa-apa bagimu!”
Nur Amala meremat potret tunangannya yang sedang mengecup pucuk kepala wanita lain, hatinya hancur bagaikan serpihan kaca.
Sang tunangan tega mendua, padahal hari pernikahan mereka sudah didepan mata.
Dia tak ubahnya seperti 'Habis manis sepah di buang'.
Lima tahun ia setia menemani, dan menanti sang tunangan menyelesaikan studinya sampai menjadi seorang PNS. Begitu berhasil, dia yang dicampakkan.
Bukan hanya itu saja, Nur Amala kembali dihantam kenyataan pahit. Ternyata yang menjadi selingkuhan tunangannya tidak lain ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 20
Amala bergetar, ia luruh di atas dinginnya lantai.
Mak Syam tak kalah emosi, tubuh lelahnya dipaksa melangkah masuk kedalam kamar. Netranya membara melihat pakaian dua insan yang acak-acakan dan basah kuyup.
Plak.
Plak.
Wajah Yasir dan Nirma langsung terdapat cap jari. Begitu keras tamparan Mak Syam, sampai tangannya terasa pedas.
“Binatang saja lebih beradab daripada kalian! Dasar manusia tidak punya malu. Masuk ke dalam rumah orang layaknya pencuri. Makan hidangan tanpa permisi, kalian kira rumah kami ini penginapan? Cepat keluar!” bentak Mak Syam begitu emosi.
Kemudian semua orang duduk di sofa ruang tamu.
“Mamak, Mbak, tolong maafkan Nirma! Kami khilaf, tak sengaja terbawa suasana dikarenakan rumah yang sepi,” sanggah Nirma mencari pembenaran.
“Mak Syam, saya juga ingin meminta maaf.” Yasir menunduk dalam, dia merasa kehilangan muka.
Yasir takut perbuatan tak senonoh nya sampai bocor, meskipun mereka bukan berzina tetap saja tidak etis.
“Menjijikan,” hina Dhien, yang dibalas dengusan jijik oleh Wahyuni.
“Nggak usah banyak basa-basi, apa niat kalian datang ke sini?” tanya Amala dengan raut tak kalah jijik, dia masih belum berganti pakaian.
Nirma melirik suaminya, begitu mendapatkan anggukan. Dia memberanikan diri menatap wajah Mak Syam.
“Nirma ingin meminta bagian warisan. Dulu bapak pernah bilang kalau hartanya akan dibagi dua,” ia masih ingat betul perkataan ayahnya.
“Nirma, Nirma. Ibu mu ini belum mati, bisa-bisanya kau mengungkit tentang warisan.” Mak Syam berdecak sambil geleng kepala. Tak menyangka salah satu anaknya memiliki sifat serta tabiat buruk.
“Karena Mamak masih sehat, makanya Nirma meminta. Biar kelak kalau mamak sudah tiada, kami tidak rebutan harta,” balasnya tanpa perasaan.
“Kau mendoakan ibumu sendiri agar cepat mati, Nirma! Nggak waras memang ku tengok kau ini!” Wahyuni ikut berbicara, lidahnya sudah gatal sedari tadi.
“Wahyuni,” tegur Agam.
“Tak ada warisan untuk mu. Bagian mu akan kuberikan kepada Amala, anggap saja sebagai ganti biaya kuliahmu.”
“Mana bisa seperti itu, Mak! Biaya pendidikan itu memang sudah kewajiban mbak Mala sebagai anak sulung!”
Amala angkat bicara. “Berikan saja Mak. Biar dia tidak lagi merusuh.”
"Tidak, Mala. Apa yang kita punya sekarang ini memanglah hak mu,” Mak Syam kekeuh tidak mau memberi.
“Mamak pilih kasih!” pekik Nirma, sorot matanya penuh amarah.
“Mak tolong bagi rata. Amala ikhlas,” pinta Amala, ia tidak mau bertengkar dikarenakan rebutan harta.
Mak Syam pun menghela napas panjang. Dia membenarkan posisi duduknya menjadi tegak. “Baiklah. Kuberikan dua hektar kebun karet untuk mu, Nirma.”
“Kenapa cuma kebun karet, Mak? Itu nggak adil. Nirma mau kebun karet beserta ladang!” tuntutnya tidak tahu diri.
“Jangan jadi manusia serakah kau, Nirma! Itu sudah pembagian yang rata. Ladang dan rumah ini luasnya 2 hektar, sama luasnya dengan kebun karet!" geram Mak Syam, ia mencoba menahan emosinya.
“Tapi, tanah rumah ini juga banyak pohon pinang dan kelapa yang sudah menghasilkan uang,” Nirma masih tidak terima.
“Keputusanku sudah bulat. Kalau kau tidak mau ... Silahkan pergi!” tegas Mak Syam, sudah muak melihat kelakuan Nirma.
Yasir menggenggam tangan Nirma, dia mengangguk.
Nirma mencebik, sebetulnya ia tidak puas. “Baik, Nirma terima.”
“Bagaimana baiknya, Nak Agam?" Mak Syam bertanya kepada Agam.
“Besok kedua belah pihak hadirlah di kantor kelurahan, dan Mak Syam bawa sertifikatnya. Kebetulan sedang ada pemutihan,” kata Agam.
Tak berselang lama Yasir dan Nirma pulang.
Amala melangkah ke dapur, ia menarik kotak perkakas. Mengambil palu dan juga linggis.
“Mau apa kau, Amala?” tanya Dhien.
“Membongkar dipan. Aku mau membakar ranjang itu, bisa gila diri ini kalau teringat hal menjijikan tadi.” Buku jari Amala memutih meremat linggis.
“Nur, taruh alat-alat itu di lantai! Biar saya yang membongkarnya,” sela Agam.
Amala ragu-ragu menuruti perintah bang Agam.
Wahyuni merangkul pundak Amala. “Ayo ku temani kau membersihkan diri supaya pikiranmu kembali segar.”
Tak berselang lama Amala pun selesai mandi, ia juga keramas berharap otaknya ikutan bersih.
Dhien, Mak Syam, terlihat sibuk mengusung papan dan juga kayu rangkaian ranjang. Tilam tipis pun sudah ada di tempat pembakaran sampah. Amala benar-benar ingin menghapus jejak dua manusia laknat.
“Nur … bagaimana dengan puluhan amplop ini. Mau dibakar juga tidak …?”
Amala menatap ke arah tangan bang Agam yang sedang menggenggam banyaknya amplop. Tanpa ragu dia mengangguk. “Iya, bakar semuanya!”
Bum.
Kumpulan amplop itu langsung dilahap si jago merah, rasa puas membias di wajah tampan Agam Siddiq. Tahu betul kalau benda yang dia pegang tadi surat-surat dari mantan Amala.
‘Ternyata kau benar-benar sudah melepaskannya Nur.’
Nyala api semakin meninggi melahap abis jejak menjijikan itu. Mimik wajah Amala terlihat puas. Baru kali ini dia buang-buang uang, tetapi tidak menyesal sama sekali.
“Ibu, Makwa La, Yahwa!” Siron berseru, gadis kecil itu tengah digendong asisten rumah tangga Wahyuni, dibelakangnya ada seorang lagi yang membawa barang.
“Aneuk long (anak ku).” Wahyuni membopong sang putri, menciumi pipi tembem Siron yang baru saja bangun tidur.
“Ibu, geli!” Siron tergelak sambil meronta-ronta menghindari ciuman bertubi-tubi di pipinya. “Yahwa, tolong!”
Agam lantas mengambil dan menggendong dan melambungkan sang keponakan, tawa Siron pun kembali membahana.
Kening Mak Syam berkerut, ia menatap bingung saat dua orang pembantu Wahyuni cekatan menggelar tikar dan juga membuka susunan rantang.
Melihat itu Wahyuni langsung angkat bicara, “Kita baru saja kerja keras, perut pun pasti ikut lapar. Ayo makan bersama-sama! Anggap saja tamasya di bawah pohon rambutan.”
Saat menunggui Amala mandi, salah satu art nya menghampirinya. Wahyuni menyuruh sang pelayan membawa menu yang tadi pagi dihantarkan oleh Mak Syam.
“Tunggu sebentar ya, aku mau ambil gulai ikan gabus dulu.” Dhien bergegas berjalan ke arah rumahnya.
Amala menatap lembut wajah Wahyuni, bibirnya bergerak mengucapkan kata terima kasih tanpa suara. Para sahabatnya sangatlah pengertian, pasti tadi Wahyuni melihat tidak ada apa-apa di atas meja makan. Menu yang disimpan dalam lemari pun habis dilahap Nirma dan Yasir.
“Ayo duduk Mak! Mala juga lapar.” Dia menarik lengan sang ibu, lalu duduk di atas tikar bersebelahan dengan Wahyuni. Bang Agam masih menggendong Siron yang asik melihat nyala api.
Dhien datang membawa baskom bertutup daun pisang, sebelah tangannya menuntun sang ibu yang sudah sepuh dan penglihatannya telah rabun.
Makan siang menjelang sore itu begitu akrab, mereka sangat lahap. Terlebih Agam yang kembali merasakan masakan olahan tangan Nur Amala. Wanita yang dicintainya sedari lama masih ingat saja kalau dirinya paling suka gulai daun ubi dicampur Udang kabul dan cabe rawit utuh.
.
.
Keesokan hari, di halaman kantor kelurahan.
“Hei Mak Syam. Kau itu jadi ibu sangat tidak adil sekali. Harusnya pembagian Nirma lebih banyak daripada anak sulung mu,” bi Atun menghalangi Mak Syam yang hendak pulang.
Mak Syam menyamping, dia berdiri berhadapan dengan sosok sebayanya. Sebelum berbicara terlebih dahulu memperhatikan sekelilingnya, ada banyak pasang mata yang tengah menatap penuh minat ke arah mereka. Kebetulan hari ini sedang diadakan imunisasi, para ibu-ibu sedang antri.
Mak Syam pun tersenyum samar. “Siapa kau? Berani sekali mengatur hidup ku. Punya hak apa dirimu atas apa yang ku miliki? Atau jangan-jangan kau memang berniat menguasai hartaku yang tak seberapa ini. Benar begitu mantan besan …?”
.
.
Bersambung.
bu bidan mati kutu