Zahra. wanita yang ditinggal oleh lelaki yang dicintainya dihari yang seharusnya menjadi hari bahagia untuk nya dan keluarga.
setelah mengetahui alasan lelaki itu meninggal kan nya entah membuat nya merasa dikhianati atau kembali bersimpati, rasanya dia sendiri tak bisa membaca isi hati nya lagi.
Belum usai rasanya mengobati hati, Zahra justru di hadapkan dengan pilihan menerima pinangan pak kiyai untuk anaknya dan harus rela dipoligami atau menerima mantan tunangan nya kembali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Trysa Azra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diam nya abi
"kenapa gak bilang ke mas dulu." tanya hafidz pada istrinya.
Hafidz meletakkan kertas hasil lab dari dokter kandungan diatas meja rias, sang istri diam memandang nya. Dia tau kalau suaminya mencoba menahan marah nya sekarang.
" tempo hari aku sudah bilang ke mas." ujar Aqila kemudian.
" tapi mas juga jawab kan waktu itu." tanya hafidz lagi.
Hafidz menarik nafas panjang, dia memandangi hasil lab yang menunjukkan bahwa Aqila kemungkinan untuk bisa hamil sangat sedikit.
" mas kecewa setelah tau hasilnya? " tanya Aqila ingin tau.
" mas sama sekali tidak kecewa dengan hasil nya, tapi mas gak habis pikir kenapa kamu langsung kasih hasil lab ini ke Abi dan umi. " ujar hafidz memberi tahu istrinya
" sayang, soal anak itu sudah jadi garisan takdir kita, mas terima kamu apa ada nya... selama kita menikah apa mas pernah nuntut kamu untuk hamil? Mas tau itu di luar kendali kita tapi kalau sudah melibatkan Abi dan umi itu akan berat bagi mas."
sungguh hafidz tak mempermasalahkan semua itu selama ini, bahkan selama ini dia yang pasang badan membela istri nya dan menguatkan istri nya jika keluarga dan sanak saudara menanyakan soal mengapa mereka belum juga di karuniai anak. " kami masih asyik pacaran." itu yang sering hafidz katakan ketika orang-orang bertanya perihal kehadiran anak yang belum juga kunjung terdengar berita nya.
Wajar sekali itu selalu jadi topik hangat ketika kumpul keluarga karena hafidz adalah anak laki-laki kyai Ghafur satu-satunya yang artinya pondok pesantren kemungkinan besar akan di amanah kan kepadanya dan juga anak-anak nya kelak.
waktu makan malam tiba, hafidz dan aqila pun turun kebawah mereka lihat umi yang sudah siap di meja makan namun Abi tak terlihat. Hafidz dan aqila sebetulnya juga punya rumah sendiri tapi kadang mereka juga bermalam dirumah Abi jika hafidz sedang banyak yang di urus di pondok.
" Abi mana umi?" tanya hafidz.
" makan lah lebih dulu nanti Abi nyusul." kata umi menyiapkan piring.
Mereka pun duduk dan mengambil hidangan.
" umi... " perkataan hafidz terpotong saat Abi datang.
Abi pun duduk dan mengambil hidangan yang sudah disiapkan istri nya, beliau hanya diam tak berucap sepatah katapun terasa canggung sekali dan hafidz pun tak bisa berkata-kata. Suasana makan malam kali ini terasa berbeda sekali bahkan belum pernah seperti ini sebelumnya, Abi makan hanya sebentar dan langsung masuk ke kamar.
" umi... Abi bagaimana?." tanya hafidz.
" Biar kan Abi menenangkan diri dulu." ujar umi memberi tahu.
" ma'af kan qila umi... " Aqila merasa bersalah.
" jangan menyalahkan diri sendiri... Sebaiknya kamu juga istirahat, jangan memikirkan hal-hal berat."
Aqila mengangguk tanda menurut.
" Kalian ingat, masalah ini cukup kalian saja dulu yang tau... jika sudah waktu nya terserah kalian mau nya bagaimana tapi untuk sementara waktu jangan sampai yang lain tau dulu. Lagi pula terlalu buru buru jika kalian langsung menyimpulkan semua, Allah maha bijaksana minta petunjuk kepala Nya. "
Dalam hal ini umi cukup tenang menghadapi nya beliau bukan tipikal orang yang tergesa-gesa apalagi jika perihal suaminya, hanya umi yang sanggup menghadapi nya.
Hafidz dan aqila masuk segera ke kamar, begitu pun dengan umi setelah selesai merapikan sisa makanan malam beliau pun masuk ke kamar menemui Abi.
" Abi..." tegur umi saat melihat Abi yang duduk di kursi goyang milik nya.
" jangan terlalu dipikirkan... " umi mengingatkan.
" Anak-anak jadi cemas dengan sikap Abi yang begitu. " tambah umi lagi.
" aku terlalu berkhayal menimang cucu dari mereka..." kalimat itu terungkap.
" tidak apa.. Umi juga demikian, tapi kita juga harus menerima dan berdamai dengan takdir Allah kan bi? " pertanyaan yang sebetulnya lebih pada nasehat.
" lima tahun ini Abi masih menunggu, berharap ada kabar baik dari mereka berdua" kata abi.
" kita sudah punya cucu dari Nadia kan, bi?" kata umi mengingatkan.
" Abi berharap banyak cucu dari anak laki-laki kita, Nadia punya keluarga suami nya mereka juga pasti menaruh banyak harapan pada cucu mereka" ungkap Abi.
" Umi mengerti, bi. Umi juga demikian mendambakan cucu dari hafidz. Umi yakin ada hikmah dari semua ini dan Abi pun tau itu kan. Kita perbanyak do'a lagi Tetang hasil akhir kita harus menerima dengan lapang dada" Abi mengangguk mendengar ucapan sang istri.
Kecewa. Tentu saja dirasakan oleh kiyai, karena penantian nya lima tahun menunggu kabar sang cucu berujung pada selembar kertas yang mampu menghancurkan harapan nya selama ini.
sudah dua hari Abi masih diam dan tak banyak bicara terutama dengan hafidz bahkan yang biasa nya apa-apa selalu memanggil hafidz, dua hari ini beliau tidak memanggil nya. Keadaan itu sangat terasa tidak nyaman dan umi tidak senang dengan sikap suaminya itu.
"Abi... Jangan terlalu lama mendiamkan anak sendiri" kata umi bersuara.
" Abi tidak bermaksud mendiamkan mereka, Abi hanya tidak tau harus bicara apa pada mereka seolah-olah sudah kehabisan kata-kata." mungkin kecewa beliau terlalu besar hingga sulit menerima dan mengakui semuanya.
Satu sisi beliau tau bahwa semua adalah takdir dari yang maha kuasa tapi di satu sisi beliau masih sulit menerima.
" dzikir Abi...sejak kapan Abi begini? Ingat kita harus menerima takdir baik dan jahat, qoda dan qodar milik Allah." istrinya mengingatkan.
" Astaghfirullah.. Allahu Akbar..." Abi mengelus dadanya.
Manusia memang kadang terlupa bahwa sebagai hamba kita di minta berserah sehabis-habis penyerahan karena dengan begitu kita akan bisa dengan mudah menerima takdir yang datang diluar kehendak kita. Allah yang punya rencana pasti tau yang terbaik untuk hamba nya.
" insya Allah, setelah ini kita dapat hadiah dari Allah. Kita ikhlas saja, bi." umi menenangkan sang suami.
Sebagai suami-istri mereka saling melengkapi, dibalik keras dan tegas nya Abi ada sang istri yang bisa melembutkan hati nya dan selalu mengingat apabila sang suami lupa.