Seorang pria muda yang sedang menunggu interview dan seraya menunggu panggilan, dia memilih meluangkan waktunya untuk menjadi driver ojek online, tapi pria yang bernama Junaidi ini cukup apes dan apesnya ini bukan hanya sekali dua kali, tapi berkali-kali.
Singkatnya, pada malam itu pria muda tersebut tengah terburu-buru untuk mengantarkan pesanannya, tanpa sengaja, dia menyerempet nenek tua yang sedang menyebrang jalan.
Bukannya menolong, dia justru acuh tak acuh dengan alasan takut diberi bintang satu jika terlambat datang.
Namun, siapa sangka kalau nenek yang dia serempet bukanlah sembarang nenek dan setelah malam itu, mata batinnya terbuka. Inilah KUTUKAN SEMBILAN PULUH SEMBILAN HARI yang harus Junaidi terima.
Cerita ini merupakan karya fiksi murni. Nama tempat, kejadian dan karakter yang disebutkan tidak memiliki koneksi dengan kenyataan dan hanya untuk tujuan kreatif semata ditulis oleh Tsaniova.
Jam Update pukul 9.00 pagi dan malam pukul 19.00 wib
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsaniova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menuntut Balas
Malam ini, Melati merasa gelisah, dia terus teringat dengan gadis yang terbaring di brangkar, karena itu membuatnya memilih pergi ke rumah sakit, saking semangatnya, dia sampai lupa izin pada Junaidi.
Singkat cerita, Melati sudah ada di ruangan VIP tersebut, dia melihat seorang pria yang tak asing sedang menggenggam tangannya. Dia adalah direktur tempatnya bekerja.
"Apa yang baring di sana itu aku?" tanyanya pada diri sendiri.
"Tapi, nggak mungkin dong. Gadis berpakaian seragam ob kaya aku ini orang yang spesial bagi Pak Haikal," gumamnya, dia terus menunggu di ruangan itu, menunggu pria gagah tersebut mengatakan sesuatu, siapa tau bisa menjadi informasi.
Namun sayangnya, pria itu pergi tanpa mengatakan sepatah katapun.
"Atau aku ikutin Pak Haikal?" tanyanya seraya beranjak, dia benar-benar pergi mengikuti pria tinggi tegap tersebut.
Sementara itu, Junaidi sedang menatap uang yang baru saja Rumi berikan. "Uang sebanyak ini mau buat apa, coo?" tanya Rumi, dia terus memperhatikan uang itu.
"Gua lamar Hana sekarang, ya, Jun!" ucapnya seraya menatap Junaidi yang duduk sila di ranjang.
Dengan segera, Junaidi menatapnya datar. "Kerja yang bener dulu, kumpulin lebih banyak lagi uang, baru gua restuin, gua nggak mau adek tersayang gua hidup menderita," tukasnya.
"Tenang aja, sih. Gua karyawan tetap, punya masa depan, lah. Masa lu nggak tau!" Rumi mulai membanggakan dirinya sendiri.
Tapi, Junaidi tak perduli, dia yang tak melihat Melati itu bertanya-tanya, dimana dia?
"Nyari siapa, lu?" tanya Rumi yang mengambil bagian uangnya. Dia menyimpannya dengan baik, tak ingin kemalingan lagi seperti malam itu.
Sementara Junaidi, dia turun dari ranjang, pergi ke balkon, berpikir kalau Melati sedang duduk sendiri di sana. "Kemana, ya? Gua nggak liat dia dari sore," gumamnya.
"Lu nyariin Melati? Lu nggak takut, apa?" tanya Rumi yang sedang memakai jaketnya, sepertinya, dia ingin keluar malam ini.
"Mau kemana, lu?" tanya Junaidi.
"Ditanya malah balik tanya, gua mau ke tempat Sami, mau nongkrong, ikut nggak?" Rumi keluar dari kamar kos, masih berdiri di pintu, menatap Junaidi yang sepertinya sedang berpikir.
Lalu, Rumi menyeringai, dia mulai dengan otaknya yang kotor. "Jun, jangan bilang lu mau berduaan sama Melati di kos, jangan mentang-mentang nggak ada yang lihat, lu jadi seenak jidat, ya!" ucapnya seraya jari telunjuk menunjuk-nunjuk wajah sahabatnya, dia masih menatap Junaidi dengan tatapan intimidasinya.
"Dia nggak di sini, bege. Lagian mau ngapain, dia kan hantu, kalau gua pegang juga tembus, nggak ada rasa, dong!" sahutnya, seketika Rumi mulai berpikir kalau ternyata isi otak sahabatnya itu tidak jauh dari isi otaknya.
"Ketahuan kan, lu. Otak lu bermasalah, bisa-bisanya mikir ke arah sana sama hantu, lagi!" celetuk Rumi yang kemudian benar-benar pergi.
"Astaga, ngapain gua kepancing sama dia!" gerutu Junaidi seraya menatap sahabatnya yang sudah tak terlihat lagi dan saat itu juga, Melati datang, dia datang dengan wajah kusutnya.
"Mel, lu kenapa?" tanya Junaidi, dia menghampiri Melati yang berdiri di tengah pintu.
"Ayo, masuk!" ajak Junaidi yang kemudian menutup pintu kamar. Dia menarik Melati yang sedang menatapnya sendu.
"Bang," panggil lirih Melati.
"Iya, lu laper?" tanya Junaidi, dia menatapnya dan Melati menjawab dengan menggeleng.
"Terus?" tanyanya lagi dan yang terjadi adalah Melati memeluknya, dia menangis sesenggukan, hatinya sungguh patah dan terluka saat tiba-tiba saja ingatannya sudah kembali saat dirinya mengikuti direktur tadi.
Junaidi yang merasakan dingin tubuh Melati itu melepasnya, dia menatap hantu itu yang menunduk. "Ada apa?" tanyanya lagi.
Sekarang, Melati mendongak, dia menatap Junaidi. "Aku mau pamit, aku mau balas dendam sama orang yang udah bunuh aku," ungkapnya.
"Lalu, apa yang bikin lu nangis? Seharusnya lu seneng udah tau asal usul lu dan tau apa penyebab lu mati," kata Junaidi, dia mengajak Melati duduk di tepi ranjang.
"Kemungkinan, setelah balas dendam ini aku akan hilang, kita nggak ketemu lagi," jawab Melati dalam hati. Ingin menyampaikannya, tapi sungguh hati tak sanggup, akhirnya Melati hanya bisa diam.
Lalu, Melati yang ingat dengan ponsel juga kata sandinya itu memberitahu Junaidi, dia berpesan, "Lusa, tolong ambilkan hape aku, Bang. Dia ada di laci pantry, kata sandinya namaku sendiri tapi huruf A diganti angka 4 dan huruf I diganti angka 1," ungkapnya.
"Kenapa nggak besok aja, kita minta Rumi buat tolong ambilin hape itu, di sana pasti banyak kenangan lu sama keluarga lu, kan?" tanya Junaidi, dia mengira kalau Melati sedang merindukan keluarganya, maka dari itu hantu cantik tersebut menjadi sedih.
Melati menjawab dengan menggeleng, lalu, tiba-tiba saja hantu itu mengecup bibir Junaidi.
Satu detik.. dua detik.. mereka belum melepaskan, keduanya saling diam, seolah menikmati sentuhan sensual itu dan saat Junaidi akan membalasnya, Melati sudah harus melepaskan Junaidi, dia menghilang entah kemana.
"Astaga, bisa-bisanya aku cium dia, gimana mau ketemu dia lagi, aku malu banget!" Melati yang berada di atap kos itu merutuki dirinya sendiri, memukul kepalanya yang dia rasa sudah koslet.
Sementara itu, Junaidi mengusap bibirnya, sentuhan dingin tadi masih belum bisa dia lupakan. "Dia yang ci*um gua, dia juga yang ngilang," gumamnya seraya tersenyum manis.
"Mel, lu menarik. Selain cantik, bisa bikin gua penasaran!" kata Junaidi, tanpa dia sadari kalau ada Sami dan Rumi yang sedang menguping di balik pintu.
Rumi memberikan isyarat, mengajaknya keluar untuk membahas Junaidi. Sekarang, di parkiran mereka saling tatap. "Lu liat sendiri, kan? Gara-gara dia bisa lihat hantu, masa jatuh cinta pun sama hantu," kata Rumi, dia menggeleng, sungguh sangat khawatir dengan sahabatnya itu.
Begitu juga dengan Sami. "Kalau kutukan itu benar-benar ilang setelah sembilan puluh sembilan hari, gua kasian sama Juna, Rum. Nanti, dia nggak bisa lihat Melati lagi, gua takut dia gila," timpal Sami.
"Iya juga, ya. Kutukan ini cuma sementara, iya, udah. Biarin aja Juna patah hati, hahaa!" Rumi tertawa, seolah penderitaan sahabatnya adalah lelucon baginya.
Melihat mulut yang tertawa lebar membuat Sami ingin mengerjainya, dia memasukkan bungkus rokok yang sudah dia remas sebelumnya ke mulut Rumi. "Nih, buat tutup!" ucapnya dan Rumi menggeleng.
"Sialan, lu!" gerutu Rumi.
"Ayo, cabut!" ajak Sami dan keduanya pun tancap gas, mereka pergi ke sebuah kelab malam tanpa sepengetahuan Junaidi.
****
Esok paginya, Rumi yang kembali bekerja itu melihat kerumunan di depan toilet di lantai dua, dia pun ikut berkerumun untuk mencaritau apa yang terjadi, sempat berpikir kalau penemuan mayat seperti Melati terulang lagi.
"Ada apa?" tanya Rumi pada rekan kerjanya, pria bersedekap dada itu menoleh, dia menjawab, "Tulisan pembunuh ada lagi di kaca, kemungkinan Melati balik lagi, kira-kira bener nggak sih, di kantor ini ada pembunuh? Atau Melati mati karena dibunuh, bukan bunuh diri?"
Deg! Kalau wakil direktur tau, kemungkinan semua uangnya akan diminta lagi. Dia harus bagaimana sekarang? Lalu, Rumi pergi ke pantry yang sepi, di sana dia menghubungi Juna. "Jun, gawat! Gawat banget, nih!" kata Rumi setengah berbisik.
Junaidi yang sedang memakai jaket ojek onlinenya itu terdiam, dia tidak ingin menghalangi Melati untuk mencari keadilan. Lalu, Junaidi menyarankannya untuk bolos hari ini. "Melati mau menuntut balas, biarin aja, orang jahat harus dapat balasannya, lebih baik lu bolos aja hari ini, bakal ada kejadian besar di sana! Itupun kalau lu mau nggak keseret!"
Deg! Kejadian besar, menarik perhatian Rumi yang ingin tahu!