Rara Maharani Putri, seorang wanita muda yang tumbuh dalam keluarga miskin dan penuh tekanan, hidup di bawah bayang-bayang ayahnya, Rendra Wijaya, yang keras dan egois. Rendra menjual Rara kepada seorang pengusaha kaya untuk melunasi utangnya, namun Rara melarikan diri dan bertemu dengan Bayu Aditya Kusuma, seorang pria muda yang ceria dan penuh semangat, yang menjadi cahaya dalam hidupnya yang gelap.
Namun Cahaya tersebut kembali hilang ketika rara bertemu Arga Dwijaya Kusuma kakak dari Bayu yang memiliki sifat dingin dan tertutup. Meskipun Arga tampak tak peduli pada dunia sekitarnya, sebuah kecelakaan yang melibatkan Rara mempertemukan mereka lebih dekat. Arga membawa Rara ke rumah sakit, dan meskipun sikapnya tetap dingin, mereka mulai saling memahami luka masing-masing.
Bagaimana kisah rara selanjutnya? yuk simak ceritanya 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Queen Jessi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan Jordan Henderson
Rara melangkahkan kaki dengan semangat menuju perusahaan Arga. Pagi itu, ia bertekad untuk lebih memahami dan mendukung suaminya. Satu langkah kecil ini diharapkannya menjadi awal dari hubungan yang lebih harmonis.
Satpam di pintu masuk perusahaan menyapanya dengan senyum lebar. "Selamat pagi, Bu Rara."
Rara membalas senyum ramah itu. “Pagi. Jangan panggil ibu, panggil Rara saja, ya. Rasanya aneh.”
“Baik, Bu... eh, Rara,” jawab satpam, sedikit canggung.
Begitu masuk, resepsionis juga menyambutnya. “Selamat pagi, Bu Rara. Ada yang bisa kami bantu?”
“Arga ada di kantor?” tanya Rara lembut.
“Ada, Bu. Pak Arga sedang rapat di lantai 52,” jawab resepsionis sopan.
“Jangan panggil ibu, panggil Rara saja. Aku juga pernah kerja di sini, jadi santai saja,” ucap Rara sedikit tersipu.
“B-baik, Rara,” ujar resepsionis, masih terkesan ragu-ragu.
Rara lalu menuju lift dengan semangat. Sesampainya di lantai 52, lift berbunyi pelan, menandakan pintu terbuka. Ia melangkah keluar dan menyusuri koridor. Namun, ia tidak mendapati adanya aktivitas rapat di sana.
Tiba-tiba langkahnya terhenti saat seorang pria dengan aura dingin berjalan ke arahnya. Tatapannya tajam, membuat hawa ruangan terasa menyesakkan.
“Kamu siapa?” tanya pria itu tanpa basa-basi, suaranya datar tapi tegas.
“Saya Rara,” jawab Rara dengan suara bergetar.
“Oh, kamu istri Pak Arga?” tanyanya dengan tatapan menelisik.
“B-benar,” jawab Rara gugup.
Belum sempat pria itu melanjutkan, sebuah tangan kokoh menarik Rara ke belakang tubuhnya. Arga berdiri di depannya, menghadang pria itu dengan wajah tanpa ekspresi namun penuh kewaspadaan.
“Tuan Jordan, sepertinya urusan kita sudah selesai. Silakan pergi,” ucap Arga dingin, tatapannya seperti pisau yang menusuk.
Jordan tersenyum tipis, lalu menatap Rara dengan pandangan yang membuatnya tidak nyaman. “Istri yang cantik,” gumamnya yang masih bisa didengar oleh rara dan arga.
Rara merasa bulu kuduknya berdiri. Sementara itu, Arga tetap berdiri tegak, berusaha mengendalikan amarah yang nyaris meledak.
Rara berdiri kaku di belakang tubuh Arga yang tegas. Kehadiran pria bernama Jordan menyisakan hawa dingin yang membuatnya tidak nyaman. Tatapan tajam Arga ke arah Jordan cukup untuk menunjukkan bahwa ia tidak main-main.
“Maaf atas ketidak sopanannya,” ucap Arga dengan nada yang dingin namun tegas.
Jordan menyeringai kecil, seolah menikmati situasi. “Saya pamit dulu, Tuan Kusuma. Senang akhirnya bisa bertemu dengan istri Anda.”
Rara menelan ludah, merasa tak nyaman dengan cara pria itu mengucapkan kata-kata terakhirnya. Begitu Jordan berlalu, Arga memutar tubuhnya menghadap Rara. Wajahnya tidak lagi dingin, tapi ada kekhawatiran yang sulit disembunyikan.
“Kenapa kamu ke sini?” tanya Arga, suaranya rendah namun jelas.
Aku ingin memberimu ini,” ucapnya sambil menyerahkan baju yang ia bawa. Namun, wajahnya menunjukkan kebingungan. “Siapa pria tadi?”
“Bukan urusanmu,” jawabku singkat, mencoba menghindari pembahasan lebih jauh. “Mulai sekarang, jangan datang ke kantorku tanpa memberitahuku lebih dulu.”
Rara menatapku dengan kecewa, lalu berjalan pergi tanpa berkata apa-apa. Aku menghela napas panjang kemudian menahan langkah rara untuk pergi.
Arga menatapnya dalam diam, matanya berusaha membaca ketulusan di wajah istrinya. Dia tahu, Rara seringkali terluka oleh pilihannya.
Arga terdiam sejenak, lalu menggenggam tangan Rara dengan lembut. “Lain kali, jangan datang sendiri. Aku tidak ingin kamu berada dalam situasi yang berbahaya.Dunia ini terlalu berbahaya untukmu.”
“Aku nggak takut,” potong Rara dengan lembut. “Aku cuma mau ada di sisimu, mendukungmu, meski aku nggak sepenuhnya ngerti duniamu.”
Arga menggenggam tangan Rara lebih erat. “Tapi kamu harus janji, kalau ada sesuatu yang aneh atau berbahaya, kamu langsung kasih tahu aku. Jangan coba-coba hadapi sendiri.”
Rara mengangguk. “Janji.”
Momen itu berlangsung dalam keheningan yang penuh makna. Arga kemudian meraih pinggang Rara dan membawanya ke dalam kantornya yang luas.
“Sekarang, kasih tahu aku, apa yang kamu bawa untuk sarapan?” tanya Arga, mencoba mencairkan suasana.
Rara tersenyum kecil. “Nasi goreng favoritmu.”
Arga tertawa kecil, sesuatu yang jarang terjadi. “Baiklah, kalau begitu aku akan makan. Tapi dengan satu syarat.”
“Apa?” tanya Rara heran.
“Kamu harus makan bareng aku. Dan setelah itu, kita pulang sama-sama.”
Rara tersenyum hangat, merasa perlahan menemukan sisi lembut Arga yang selama ini tersembunyi. "Baik, aku setuju."
POV Arga
Rapat berjalan seperti biasa. Anggota dewan membahas strategi baru, dan aku hanya menyimak sambil memeriksa dokumen di tabletku. Namun, suasana berubah kacau ketika seseorang tiba-tiba menerobos masuk ke ruang rapat.
"Maaf, Pak Arga, saya tidak bisa menghalanginya," ucap karyawan resepsionis dengan napas tersengal-sengal.
Aku mengangkat tangan, meminta semua orang tenang. "Kembalilah ke tempatmu," ucapku kepada resepsionis.
Setelah memastikan keadaan terkendali, aku berdiri. "Rapat kita undur," ucapku tegas. Semua karyawan keluar dari ruang rapat, meninggalkan aku, Nanda, dan sosok tak diundang itu.
Jordan Henderson.
Dia pria yang dikenal di dunia bawah sebagai penguasa perdagangan obat-obatan terlarang di luar negeri. Dan sekarang, dia berdiri di hadapanku dengan senyum penuh arti.
"Ada apa, Tuan Jordan, Anda datang ke tempat saya tanpa pemberitahuan? bukankah jalan bisnis kita berbeda?" tanyaku dingin, meskipun waspada.
“Saya tidak perlu basa-basi, Mahen,” ucapnya dengan santai.
Mendengar nama itu, aku terdiam sejenak. Nanda di sampingku juga tampak sedikit terkejut. Nama itu adalah identitasku di dunia gelap, yang kusembunyikan rapat-rapat selama ini.
“Apa yang kau inginkan?” tanyaku dengan nada dingin, berusaha menjaga kendali.
Jordan tersenyum tipis. “Sederhana. Aku ingin membeli beberapa senjata tajam keluaran terbaru darimu.”
Aku menyipitkan mata, mencoba membaca maksudnya. “Dan apa yang bisa aku dapatkan sebagai gantinya?”
"Aku akan memastikan identitas Mahen tetap tersembunyi. Aman," ucap Jordan sambil melipat tangan.
Aku tidak suka situasi ini. Tawaran Jordan terlalu mencurigakan. Tanpa memberikan jawaban, aku berbalik dan meninggalkan ruangan untuk menelepon seseorang. Aku butuh memastikan posisiku tetap aman.
Namun, saat aku berjalan keluar, suara lift berbunyi. Pintu terbuka, dan sosok yang tidak seharusnya ada di sini muncul—Rara.
Dia terlihat membawa sesuatu di tangannya, mungkin baju yang ingin ia berikan padaku. Senyum tipis menghiasi wajahnya sebelum matanya bertemu dengan sosok Jordan.
Jordan tampak tertegun sejenak, lalu tersenyum licik dan berjalan mendekati Rara. Aku bisa melihat dari caranya menatap bahwa dia sedang menilai Rara.
"Siapa ini?" tanya Jordan, suaranya penuh ketertarikan.
Aku segera berjalan mendekat, menarik Rara ke belakang tubuhku. menatap tajam ke arah Jordan.
Jordan tersenyum tipis. “Cantik sekali. Aku tidak menyangka Mahen punya istri secantik ini.”
Amarahku mendidih. “Jangan mencoba mendekatinya,” ucapku penuh peringatan.
Jordan mengangkat tangan seolah menyerah, meskipun senyumnya tidak pernah pudar. "Tenang saja, Mahen. Aku hanya kagum dengan seleramu."
“Pergilah. Urusan kita selesai di sini,” ujarku tegas.
Nanda segera menghampiri dan memandu Jordan keluar. Aku berdiri diam, memastikan dia tidak mencoba hal aneh sebelum benar-benar pergi.
Begitu dia menghilang dari pandangan, aku berbalik ke arah Rara.
"Kenapa kamu datang ke sini?" tanyaku dengan nada tajam, meskipun dalam hati aku lebih khawatir daripada marah.
“Aku ingin memberimu ini,” ucapnya sambil menyerahkan baju yang ia bawa. Namun, wajahnya menunjukkan kebingungan. “Siapa pria tadi?”
“Bukan urusanmu,” jawabku singkat, mencoba menghindari pembahasan lebih jauh. “Mulai sekarang, jangan datang ke kantorku tanpa memberitahuku lebih dulu.”
Rara menatapku dengan kecewa, lalu berjalan pergi tanpa berkata apa-apa. Aku menghela napas panjang.
Kini aku sadar, kehadiran Rara di hidupku adalah kekuatanku, tapi juga kelemahanku. Dan dunia gelapku, cepat atau lambat, akan menempatkannya dalam bahaya.