Jasmine D'Orland, seorang duchess yang terkenal dengan karakter jahat, dituduh berselingkuh dan dihukum mati di tempat pemenggalan di depan raja, ratu, putra mahkota, bangsawan, dan rakyat Kerajaan Velmord.
Suaminya, Louise, yang sangat membencinya, memenggal kepala Jasmine dengan pedang tajamnya.
Sebelum kematiannya, Jasmine mengutuk mereka yang menyakitinya. Keluarganya yang terlambat hanya bisa menangisi kematiannya, sementara sebagian bersorak lega.
Namun, enam bulan sebelum kematian itu, Jasmine terlahir kembali, diberi kesempatan kedua untuk mengubah nasibnya yang tragis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Biarkan Aku yang Menghukum Mereka
Tak lama setelah percakapan penuh emosi di ruang keluarga, seorang pria tua dengan rambut sebagian memutih masuk ke ruangan dengan langkah tenang namun penuh wibawa. Jack, kepala pelayan yang telah mengabdi pada keluarga D’Orland selama puluhan tahun, berdiri dengan tangan terlipat di depan dada.
“Maaf mengganggu, Yang Mulia,” ujar Jack dengan suara rendah namun jelas. “Makanan telah siap di ruang makan utama. Kami telah menyiapkan hidangan terbaik untuk menyambut kepulangan Lady Jasmine.”
Duke Edgar tersenyum hangat, mengangguk kepada kepala pelayannya. “Terima kasih, Jack. Kau selalu bisa diandalkan.”
Jack membungkuk hormat, matanya sedikit berkaca-kaca saat menatap Jasmine. “Selamat datang kembali, Lady Jasmine. Kami semua sangat merindukan Anda.”
Jasmine tersenyum lembut, hatinya hangat mendengar kata-kata tulus dari pria yang telah menjadi bagian dari hidupnya sejak ia kecil. “Terima kasih, Paman. Senang bisa kembali ke rumah.”
Duke Edgar berdiri dan mengulurkan tangan kepada istrinya, Duchess Elise. “Ayo, kita ke ruang makan. Hari ini adalah hari yang spesial, dan aku yakin semua orang sudah tidak sabar untuk merayakan kepulangan putriku.”
Duchess Elise menerima tangan suaminya dengan anggun. “Benar sekali. putriku, mari kita pergi.”
Jasmine berdiri, lalu menoleh kepada Lianne. “Kau juga ikut, Anne. Hari ini, kau adalah tamu kehormatanku.”
Lianne terkejut, tapi Jasmine tidak memberinya kesempatan untuk menolak. Dengan lembut, ia menarik tangan Lianne dan berjalan bersamanya menuju ruang makan, diikuti oleh Lord Victor.
Ruangan itu memancarkan kemegahan yang menakjubkan. Meja makan panjang dari kayu mahoni dikelilingi oleh kursi-kursi berukir indah. Lampu gantung kristal besar memancarkan cahaya hangat, menciptakan suasana nyaman di tengah kemewahan. Pelayan-pelayan telah berjajar di sepanjang dinding ruangan, siap melayani setiap kebutuhan keluarga.
Di tengah meja, berbagai hidangan lezat telah tersusun rapi: daging panggang yang menggugah selera, sup krim yang harum, aneka roti, sayuran segar, hingga berbagai kue penutup. Jasmine terpaku sejenak, mengenang bagaimana ia dulu sering duduk di meja ini bersama keluarganya, bercanda dan menikmati kebersamaan.
Duke Edgar menunjuk kursi di tengah meja, yang biasa ditempati oleh Jasmine saat masih tinggal di rumah. “Jasmine, tempatmu selalu ada di sini. Silakan duduk.”
Jasmine mengangguk pelan dan duduk di kursi itu. Lianne dengan ragu mengambil tempat di ujung meja, namun Duchess Elise segera memanggilnya. “Anne, duduklah lebih dekat. Kau adalah tamu kami malam ini.”
Lianne merasa canggung, tapi ia mengikuti permintaan Duchess Elise dan duduk di sebelah Jasmine.
Setelah semua duduk, Duke Edgar mengangkat gelas anggurnya. “Sebelum kita mulai, aku ingin mengatakan sesuatu. Hari ini, adalah hari yang istimewa. Jasmine, putri kita, akhirnya kembali ke rumah. Ini adalah momen yang telah kami nantikan. Jasmine, kami semua mencintaimu, dan kami bersyukur kau disini.”
Semua orang mengangkat gelas mereka, termasuk Lianne yang merasa terhormat. Jasmine tersenyum, matanya kembali memerah. “Terima kasih, Ayah. Aku sangat beruntung memiliki keluarga seperti kalian.”
Setelah itu, mereka semua mulai menikmati makanan yang telah disiapkan dengan cermat. Suasana menjadi hangat dan penuh tawa saat mereka berbicara tentang kenangan masa lalu yang indah. Jasmine merasa seperti gadis kecil lagi, dikelilingi oleh cinta dan dukungan keluarganya.
Sementara itu, pelayan-pelayan yang berdiri di sudut ruangan saling bertukar senyum bahagia.
Setelah makan selesai, Jasmine meminta keluarganya untuk kembali ke ruang keluarga. Sementara mereka duduk, Jack dan beberapa pelayan masuk membawa nampan berisi makanan ringan dan minuman hangat, menyusunnya di meja dengan rapi.
Jasmine duduk dengan tenang, namun matanya memancarkan kegembiraan yang baru saja ia rasakan selama makan malam. Ia mengambil secangkir teh dan menyeruputnya pelan.
“Akhirnya aku kenyang,” Jasmine nyeletuk sambil tertawa kecil, tangannya mengelus perutnya. “Ternyata nangis itu juga butuh banyak energi.”
Semua orang tertawa mendengar ucapan Jasmine.
“Kau benar, Jasmine,” Elise, sang Duchess, menimpali sambil tersenyum. “Aku sampai merasa lapar lagi setelah tadi menangis terlalu lama.”
Victor, kakak laki-lakinya, hanya menggeleng sambil tertawa. “Adikku memang selalu punya cara untuk membuat suasana jadi ringan, bahkan setelah drama air mata.”
Jasmine tertawa renyah. “Itulah aku, Kak. Kalau aku tidak membuat suasana jadi ceria, siapa lagi?”
Edgar, sang Duke, akhirnya berbicara dengan nada serius, meski senyum masih terukir di wajahnya. “Baiklah, anakku. Sekarang, apa yang ingin kau bicarakan dengan serius? Ayah bisa melihat ada sesuatu yang mengganjal di pikiranmu.”
Jasmine meletakkan cangkir tehnya ke meja, wajahnya berubah sedikit serius. Ia menatap ayah, ibu, dan kakaknya secara bergantian.
“Pertama-tama, aku ingin meminta maaf,” Jasmine memulai, suaranya sedikit bergetar. “Ayah, Ibu, Kakak, aku tidak bisa lama-lama tinggal di sini. Nanti sore aku harus kembali ke Clair.”
Ruangan itu langsung terasa sunyi. Elise menghela napas panjang, sementara Edgar menundukkan kepala, tampak kecewa.
“Apa tidak ada cara untuk memperpanjang waktu kunjunganmu?” Elise bertanya dengan suara lembut, meski jelas terlihat ia menahan rasa sedih.
Jasmine menggeleng pelan. “Maafkan aku, Ibu. Ada banyak hal yang harus aku urus di Clair, terutama setelah semua yang terjadi. Tapi aku berjanji, aku akan kembali lagi.”
Victor menghela napas panjang. “Kau memang selalu membuat kami menunggu, Jasmine.”
“Kakak…” Jasmine memelototinya dengan main-main.
Edgar mengangkat tangan untuk menghentikan perdebatan kecil itu. “Sudahlah. Jika itu keputusanmu, kami menghormatinya. Tapi aku yakin ada alasan lain mengapa kau meminta kami berkumpul di sini malam ini.”
Jasmine mengangguk. “Benar, Ayah. Aku ingin membicarakan sesuatu yang sudah lama aku pendam. Sesuatu yang berkaitan dengan masa lalu… dan bagaimana aku akhirnya menikah dengan Duke Louise Clair.”
Semua orang di ruangan itu terdiam. Elise menegakkan tubuhnya, tatapannya penuh perhatian. Edgar mengangguk perlahan, menyuruh Jasmine melanjutkan.
“Ayah, Ibu, Kakak… kalian pasti masih ingat acara debut Putri Selene Kingswell, kan?” Jasmine memulai, suaranya sedikit bergetar.
Elise mengangguk. “Tentu saja. Itu adalah salah satu malam paling berkesan, sebelum semua berubah.”
“Ya,” Jasmine melanjutkan. “Malam itu....
Flashback
Pesta debut Putri Selene Kingswell berlangsung meriah di istana kerajaan. Lampu kristal yang menggantung di langit-langit memantulkan cahaya memukau, sementara alunan musik klasik mengiringi para tamu yang berdansa di aula besar. Lady Jasmine mengenakan gaun sutra biru tua yang elegan, dihiasi permata kecil yang memantulkan cahaya seperti bintang di malam hari.
Ia tengah berbincang dengan Lady Jenny, seorang wanita muda dari keluarga Marquis Eldwood.
Lady Jenny tampak bersemangat, "Lady Jasmine, aku harus mengatakan, gaunmu malam ini sangat memukau. Apakah itu karya Madame Elora?"
Lady Jasmine tersenyum ramah, "Terima kasih, Lady Jenny. Benar, Madame Elora yang merancangnya. Aku memintanya menambahkan detail permata di bagian pinggang untuk memberikan kesan lebih anggun."
Lady Jenny merengut dan merendah, "Kau benar-benar tahu cara memilih. Lihat saja aku, gaunku terasa begitu biasa dibandingkan punyamu."
Lady Jasmine tertawa kecil, "Oh, jangan merendahkan dirimu sendiri. Gaunmu juga cantik. Warnanya sangat cocok dengan matamu, dan renda di bagian leher itu memberikan kesan manis."
Lady Jenny tampak senang dengan tanggapan Lady Jasmine, "Kau terlalu baik. Aku hampir tidak percaya diri tadi. Tapi melihatmu di sini membuatku merasa lebih tenang. Kau selalu membawa suasana nyaman di sekitarmu."
Lady Jasmine ikut senang, "Kau terlalu berlebihan, Lady Jenny. Tapi, aku senang bisa berbicara denganmu. Oh, bicara soal gaun, apakah kau melihat gaun Putri Selene? Desainnya sangat megah, seperti ratu masa depan."
Lady Jenny tampak antusias, "Tentu saja! Itu pasti karya desainer dari luar negeri. Aku mendengar rumor bahwa dia memiliki tim khusus yang bekerja selama berbulan-bulan untuk gaun itu."
Lady Jasmine tampak ikut berbinar, "Hmm, aku penasaran seperti apa proses pembuatannya. Kain sutra emas itu terlihat seperti bercahaya di bawah lampu."
Saat mereka berbincang, seorang pelayan mendekati Lady Jasmine dengan sikap penuh hormat. Ia memberikan salam kepada Lady Jasmine dan Lady Jenny. Lalu pelayan itu berbisik di telinga Lady Jasmine.
Pelayan memandangi Lady Jasmine meminta nya untuk berbisik. Setelah diizinkan, ia membisikkan sesuatu, "Duke Louise Clair meminta waktu untuk berbicara dengan Anda di taman. Beliau mengatakan ini urusan pribadi."
Lady Jasmine terkejut, tapi terlihat senang, "Duke Louise Clair? Apakah beliau sudah berada di taman?"
Pelayan menjawab, "Ya, Yang Mulia. Beliau menunggu Anda di sana."
Lady Jasmine tak berhenti tersenyum, "Baiklah, tunggu sebentar."
Setelah acara berbisik-bisik itu selesai. Lady Jenny yang penasaran segera bertanya, "Ada apa lady?"
Lady Jasmine tersenyum kecil, "Ah tidak ada, ada sesuatu yang ingin menemuiku. Aku pamit dulu, Lady Jenny. Semoga kau menikmati malam ini."
Lady Jenny mengucapkan kata perpisahan, "Baiklah. Hati-hati, Lady Jasmine."
Lady Jasmine hanya menganggukan kepala nya, lalu Lady Jasmine mengikuti pelayan itu melalui lorong panjang menuju taman istana. Langkah mereka berdua bergema pelan di lantai marmer.
Lady Jasmine bertanya dengan penasaran, "Taman itu cukup jauh dari aula pesta. Mengapa Duke Louise memilih tempat yang begitu terpencil?"
Pelayan kaget mendengar pertanyaan dari lady Jasmine, "Maaf, Yang Mulia. Saya hanya menyampaikan pesan beliau. Mungkin beliau ingin berbicara tanpa gangguan."
Lady Jasmine mencurigai sesuatu, "Begitu, ya. Apakah dia sendiri di sana?"
Pelayan menunduk, "Sejauh yang saya tahu, ya, Yang Mulia."
Ketika mereka tiba di taman, suasana menjadi hening. Lampu-lampu kecil di sekitar taman memberikan penerangan redup, menciptakan bayangan di antara pepohonan.
Pelayan dengan suara pelan dan hormat, "Silakan tunggu di sini, Yang Mulia. Duke Louise akan segera datang."
Lady Jasmine mengangguk, "Bukankah katamu tadi Duke Louise telah di taman? Tapi.. Baiklah tak masalah. Terima kasih."
Pelayan itu membungkuk, lalu mundur perlahan, meninggalkan Jasmine sendirian.
Lady Jasmine mengedarkan pandangannya ke sekeliling taman yang sunyi. Ia mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Lady Jasmine berbicara sendiri, "Kenapa dia belum datang? Apa ini semacam lelucon?"
Tiba-tiba, ia merasakan tepukan di bahunya. Jasmine berbalik dengan cepat, namun sebelum sempat melihat siapa orang itu, ia merasakan hantaman keras di kepalanya. Segala sesuatu menjadi gelap, dan tubuhnya terjatuh tanpa daya ke tanah.
Hanya suara tawa pelan dari seseorang yang samar terdengar sebelum segalanya benar-benar sunyi.
Flashback En**d**
Elise menggenggam tangan suaminya, matanya berkaca-kaca mendengar cerita putrinya.
Victor mengepalkan tangan, matanya berkilat marah. “Apa?!”
Elise terkejut, menutup mulutnya dengan tangan. Edgar menatap putrinya dengan mata penuh kekhawatiran.
“Dan saat aku sadar… aku sudah berada di sebuah kamar bersama Duke Louise,” Jasmine melanjutkan, air mata mengalir di pipinya. “Kami berdua terkejut. Kami tidak tahu bagaimana kami bisa berada di sana. Tapi kemudian… seorang pelayan membuka pintu kamar dan berteriak. Semua orang datang, termasuk Raja Richard dan seluruh keluarga nya. Dan… yah, kalian tahu sisanya.”
Elise menarik Jasmine ke dalam pelukannya. “Oh, Jasmine… kau pasti sangat takut.”
Jasmine mengangguk, tubuhnya gemetar. “Awalnya, aku senang ketika Raja Richard memerintahkan kami menikah. Aku pikir itu adalah akhir bahagia untukku. Tapi Duke Louise… dia tidak berpikir begitu. Dia mengira aku yang menjebaknya.”
Victor berdiri dari kursinya, wajahnya merah padam. “Bajingan itu! Bagaimana dia bisa menuduhmu seperti itu?”
Edgar mengangkat tangan, mencoba menenangkan putranya. “Tenang, Victor. Ini bukan saatnya untuk marah.”
Jasmine menyeka air matanya. “Ayah, Ibu, Kakak… aku tahu aku membuat kesalahan dengan tidak pernah kembali atau menjelaskan semuanya. Tapi aku ingin kalian tahu, aku tidak pernah melakukan apa yang dituduhkan Duke Louise. Aku tidak menjebaknya.”
Elise menggenggam tangan putrinya erat. “Kami tahu, putriku. Kami selalu tahu. Kau adalah anak kami, dan kami percaya padamu.”
Edgar mengangguk. “Benar. Kau adalah putri kami, Jasmine. Dan apapun yang terjadi di masa lalu, kami selalu ada untukmu.”
Victor, meski masih marah, menghela napas panjang dan duduk kembali. “Aku juga percaya padamu, Adik. Tapi aku tetap ingin memberi pelajaran pada Duke Louise suatu hari nanti.”
"Iya nanti saja kakak menghajar pria itu," Jasmine berkata dengan suara pelan tapi jelas.
Edgar mengangguk, memberi isyarat agar putrinya melanjutkan.
"Setelah kami menikah, aku dibawa ke Clair untuk tinggal di sana," Jasmine melanjutkan, suaranya sedikit bergetar. "Tapi pernikahan itu tidak seperti yang kubayangkan. Duke Louise membenciku. Dia selalu selalu berpikir bahwa aku menjebaknya di malam itu, sehingga dirinya harus menikahi ku. dan tidak ada sedikitpun rasa hormat darinya sebagai suami, dia Tidka pernah menganggap ku sebagai istrinya."
Duchess Elise menatap putrinya dengan penuh kesedihan, lalu menggenggam tangannya erat. "Oh, putriku... kenapa kau tidak pernah memberitahu kami sebelumnya? Kenapa kau menanggung semua ini sendirian?"
Jasmine menggeleng pelan. "Ibu, aku terlalu malu. Aku pikir jika aku mengatakannya, kalian hanya akan kecewa karena aku menikah dengan seseorang yang tidak mencintaiku."
Lord Victor mendengus pelan, nadanya masih ketus meski penuh rasa sayang. "Tentu saja kami kecewa, tapi bukan pada pernikahanmu. Kami kecewa karena kau memilih memendam semuanya sendiri. Jasmine, kau adalah adikku, dan aku adalah kakak laki-lakimu. Apa gunanya aku jika kau tidak pernah mau berbagi beban?"
Jasmine tersenyum lemah. "Kau benar, Kak. Aku memang bodoh kala itu. Tapi sekarang aku di sini untuk memperbaikinya."
Jasmine menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya. "Dia bahkan membawa wanita yang dia sukai ke dalam kediaman kami, tanpa peduli dengan statusku sebagai istrinya."
"Siapa wanita itu?" Edgar bertanya, suaranya terdengar rendah, penuh kemarahan yang tertahan.
Jasmine menunduk. "Cecilia Thorne, dari keluarga Count Thorne."
Nama itu membuat Edgar tertegun. Matanya menyipit, dan tangannya mengepal dengan keras, tapi dia menarik napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya.
"Thorne…" Edgar bergumam, lebih kepada dirinya sendiri.
"Ayah…" Jasmine memanggil lembut, mengalihkan perhatian Edgar dari pikirannya.
Edgar mengangguk, mengisyaratkan Jasmine untuk melanjutkan.
"Duke Louise sangat mempercayai semua yang dikatakan Lady Cecilia," Jasmine melanjutkan, suaranya mulai bergetar lagi. "Dia bahkan sering menghukumku hanya karena omongan Lady Cecilia. Apapun yang Lady itu katakan, Duke selalu menganggapnya benar tanpa pernah mendengar penjelasanku."
Victor berdiri dari tempat duduknya, wajahnya merah padam. "Brengsek! Berani sekali dia memperlakukan adikku seperti itu!"
Edgar mengangkat tangan, menyuruh Victor duduk kembali. "Tenang, Victor. Biarkan Jasmine menyelesaikan ceritanya."
Jasmine tersenyum kecil pada kakaknya, meskipun matanya masih berkaca-kaca. "Itu belum semuanya, Kak. Lady Cecilia bahkan meminta Duke untuk membawa beberapa pelayan dan pengawal baru dari keluarganya untuk bekerja di kediaman kami."
Elise tampak bingung. "Apa yang salah dengan itu, putriku?"
Jasmine menghela napas panjang. "Yang salah, Ibu, adalah mereka tidak benar-benar bekerja untuk melayaniku. Sebaliknya, mereka sering berkata buruk tentangku kepada Duke. Mereka membuat cerita-cerita yang tidak benar, mengadu domba, dan memprovokasi Duke untuk marah padaku."
Elise memegang tangan Jasmine erat, matanya mulai berkaca-kaca. "Dan apa yang dilakukan Duke Louise?"
Jasmine menundukkan kepala, air mata jatuh ke pangkuannya. "Dia… selalu mempercayai mereka. Tidak peduli seberapa keras aku mencoba membela diri, dia tidak pernah mau mendengarkanku. Setiap kali mereka mengadu sesuatu yang buruk tentangku, Duke selalu menghukumku tanpa pernah memeriksa kebenarannya."
Elise menarik putrinya ke dalam pelukan, menangis bersama. "Oh, putriku… kau telah melalui banyak hal yang tidak seharusnya kau alami."
Victor mengepalkan tangan, matanya penuh kemarahan. "Jika aku tahu ini lebih awal, aku pasti sudah menantang bajingan itu untuk duel. Dia tidak pantas menjadi suami siapa pun, apalagi adikku!"
Edgar berdiri dari tempat duduknya dan berjalan ke jendela, memandang ke luar dengan tatapan kosong. Setelah beberapa saat, dia berbicara dengan suara pelan tapi penuh emosi.
"Jasmine, putriku, ayah minta maaf. Seharusnya ayah melindungimu lebih baik. Seharusnya ayah menyelidiki semuanya sebelum menyerahkanmu kepada pria itu."
Jasmine menggeleng, masih dalam pelukan ibunya. "Bukan salahmu, Ayah. Aku yang bodoh karena terlalu percaya pada orang lain. Aku yang terlalu naif."
Elise mengusap rambut putrinya dengan lembut. "Jasmine, ini bukan salahmu. Kau adalah korban dari orang-orang licik yang tidak tahu malu."
"Aku tidak akan membiarkan ini berlalu begitu saja," Edgar berkata tegas, berbalik menghadap keluarganya. "Louise Clair akan mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Dan keluarga Thorne… mereka juga tidak akan luput dari perhatian kita."
Jasmine terdiam, matanya menatap ayahnya dengan penuh harapan. "Ayah… aku hanya ingin kalian tahu kebenarannya. Biarkan aku yang menghukum mereka, Ayah," katanya, matanya bersinar penuh tekad. "Selama ini aku diam karena aku masih mencintai Duke Louise. Tapi kini aku sadar, aku tidak bodoh dan tidak buta lagi."
Victor mendengus, menyilangkan tangan di dada. "Kenapa kau tiba-tiba sadar?" ejeknya.
Jasmine mendesah. "Kakak..."
"Ya, ya... apa lagi alasanmu kali ini?" Victor memotong, memancing Jasmine untuk melanjutkan.
Jasmine mengangkat dagunya sedikit, menunjukkan bahwa ia tidak terintimidasi. "Saat itu, aku dihukum cambukan karena dituduh mendorong Lady Cecilia ke kolam. Padahal, dia sendiri yang menceburkan dirinya. Aku tidak bisa membantah karena Lady Cecilia membawa saksi dari pihaknya, sementara aku tidak punya siapa pun yang bisa membelaku. Saat itu, Anne tidak berada disampingku, aku menyuruhnya mengambil sesuatu. Dan tiba-tiba lady Thorne datang di hadapanku dan menarik tanganku dan menceburkan diri nya sendiri. Aku syok dan terdiam. Dan ketika itu, entah kenapa Duke Louise datang dari belakang dan menolongnya."
Elise menutup mulutnya, terkejut. "Putriku... sungguh licik wanita itu, hingga Duke Louise menghukum mu dengan begitu tega!"
Jasmine mengangguk perlahan, matanya mulai memerah. "Itu belum semuanya, Ibu. Setelah itu, aku disuruh merenung di gereja selama seminggu, tanpa makanan layak dan hanya diberi air. Di sana, aku mulai sadar. Aku tidak bisa terus-terusan menjadi korban. Aku ingin membalas mereka satu per satu, termasuk Duke Louise dan Lady Cecilia."
"Tapi kenapa kau diam selama ini?" tanya Edgar, suaranya terdengar lebih tenang tapi penuh rasa ingin tahu.
"Karena aku masih mencintai Duke Louise, Ayah," Jasmine mengakui dengan jujur. "Aku berharap dia akan berubah, atau setidaknya mulai mempercayaiku. Tapi harapan itu hanya membuatku semakin menderita."
Elise memeluk Jasmine erat, air matanya menetes di bahu putrinya. "Anakku... kami semua berpikir kau hidup baik-baik saja di sana. Kami salah. Maafkan kami, Jasmine."
"Ibu, Ayah, Kakak," Jasmine berkata sambil melepaskan diri dari pelukan Elise. Matanya menyala dengan api yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. "Aku tidak akan diam lagi. Aku akan membersihkan namaku dan membuka topeng Lady Cecilia di hadapan rakyat Clair. Aku ingin semua orang tahu bahwa wanita yang mereka anggap lembut dan baik hati itu hanyalah pembohong."
Victor mengangguk setuju, ekspresinya menunjukkan rasa hormat yang baru terhadap adiknya. "Dan Duke Louise? Apa rencanamu untuknya?"
"Aku ingin rakyat Clair tahu bahwa pria yang mereka anggap baik dan bijaksana itu tidak lebih dari pengecut yang menghukum istrinya tanpa alasan. Aku ingin dia merasakan kehancuran saat mengetahui kebenaran tentang wanita yang dia cintai." Jasmine mengepalkan tangannya, suaranya penuh determinasi. "Aku akan puas melihatnya hancur, dan setelah itu, aku akan meninggalkannya. Aku tidak akan pernah kembali ke Clair."
Edgar berjalan mendekat dan menaruh tangannya di pundak Jasmine. "Lalu apa yang akan kau lakukan setelah itu, anakku?"
Jasmine tersenyum tipis, meski penuh kepedihan. "Aku akan mencari kebahagiaanku sendiri di sini, bersama Ayah, Ibu, Kakak, dan rakyat D’Orland. Aku sudah cukup diinjak-injak di Clair. Sekarang giliran mereka yang merasakan apa yang aku rasakan selama ini."
Elise menggenggam tangan Jasmine erat. "Kami selalu ada di pihakmu, Jasmine. Apapun yang kau butuhkan, katakan saja. Kami akan membantumu."
Victor menepuk bahu adiknya dengan lembut. "Kau tidak sendiri, Adik. Kau punya kami."
Jasmine tersenyum, untuk pertama kalinya sejak ia kembali ke D’Orland. "Terima kasih, Kak. Ayah, Ibu, kalian semua adalah kekuatanku. Aku tidak akan menyerah, demi harga diriku dan keluarga kita."
Jasmine cukup puas dengan cerita yang ia bagikan dan penderitaan yang ia alami kini keluarga nya tahu itu.