Dua orang sahabat yang terbiasa bersama baru menyadari kalau mereka telah jatuh cinta pada sahabat sendiri setelah jarak memisahkan. Namun, terlambat kah untuk mengakui perasan ketika hubungan mereka sudah tak seperti dulu lagi? Menjauh tanpa penjelasan, salah paham yang berakibat fatal. Setelah sekian tahun akhirnya takdir mempertemukan mereka kembali. Akankah mereka bersama setelah semua salah paham berakhir?
Ikuti lika-liku perjalanan dua sahabat yang manis dalam menggapai cinta dan cita.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EuRo40, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Angga dan Ana seperti biasa selalu duduk berdampingan. Seno duduk di depan Ana di seberang meja. Elin di depan Angga. Pelayan datang membawa buku menu.
“Selamat datang, silakan. Mau pesan apa?” Pelayan tersebut memberikan buku menu lalu mengeluarkan buku kecil dan pena.
Seno yang mengambil buku menu tersebut lalu ia melihat-lihat daftar menu. “Kalian mau apa?” tanya Seno sambil meletakkan buku di atas meja setelah melihatnya.
Angga melihat daftar menu lalu menyebutkan makanan yang ia mau juga untuk Ana. Gadis itu tidak menolak, ia biarkan Angga memesan untuknya, karena Angga sangat tahu apa yang ia mau. Sedangkan Elin memesan sendiri.
Setelah semua menyebutkan pesanannya pelayan tersebut pergi dengan membawa buku menu itu. Seno menatap Ana yang sedang bicara dengan Angga. Dengan ekor matanya Angga tahu Seno tak melepaskan pandangannya dari Ana. Begitu juga dengan Elin yang melirik Seno dan Ana.
Elin tahu ia tak berhak marah atau cemburu karena ia tak ada hubungan apa pun dengan Seno selain sahabat. Ana juga tidak salah, sahabatnya itu tak tahu sama sekali kalau Seno menyukai Ana. Namun, ia tetap merasa sakit dan kecewa melihat tatapan penuh damba Seno pada Ana.
Berbeda dengan Angga yang masih bingung dengan perasaannya. Ada sedikit tak suka Seno menatap Ana seperti itu. Namun, pantaskah Jika ia merasa marah? Ana hanya sahabatnya, gadis itu juga berhak bahagia, tetapi apa ia rela jika orang lain yang membahagiakannya? Mengapa perasaan itu begitu rumit?
“Nanti kalian rencananya mau kuliah di mana?” tanya Seno.
“Gue belum kepikiran, masih bingung!” jawab Ana.
“Gue juga belum tahu, lagian pasti ortu gue yang nentuin gue harus ke mana,” jawab Elin.
“Kok, gitu, emang ortu nggak nanya lo maunya kuliah di mana? Kuliah itu lebih baik sesuai dengan passion lo sendiri. Kuliah itu berat, lho! Apalagi kalau kuliah dengan terpaksa dan jurusan yang nggak lo suka, bebannya tambah berat,” ucap Seno, ia tahu karena kakaknya yang sekarang sedang kuliah selalu mengeluh dengan tugas dan sering begadang demi menyelesaikan tugas-tugasnya.
“Gue tahu, tapi titah ortu gue itu nggak bisa dibantah. Ya, gue bisa apa? Secara mereka yang biayain kuliah gue.” Elin hanya bisa pasrah dengan keputusan orang tua. Karena itu ia tidak memikirkan mau kuliah di mana, toh, percuma semua sudah ditentukan oleh orang tuanya.
“Lo, gimana, Ga?” tanya Seno.
“Belum tahu gue juga. Masih mikir-mikir,” jawab Angga sambil melirik Ana.
“Lo, Sen. Mau kuliah di mana?” tanya Elin.
“Sebenarnya udah ada yang gue incer, tapi belum tahu juga. Bisa aja berubah,” jawab Seno. Ya, bisa saja berubah, karena ia ingin satu kampus dengan Ana.
Pesanan mereka akhirnya datang. Ana menaruh makanan untuk Angga di depan lelaki itu sambil tersenyum pada Angga. Ia kemudian menarik makanan miliknya ke hadapannya.
Mereka mulai menyantap makanan tersebut sambil sesekali mengobrol. Kadang tertawa jika ada hal yang lucu. Tiba-tiba garpu Ana terjatuh ke sisi kiri. Gadis itu lalu menunduk untuk mengambilnya. Angga tanpa melirik langsung menjulurkan tangannya melewati Ana ke sudut meja menutupi sudut yang tajam agar tidak melukai kepala Ana sambil terus mengobrol dengan Seno.
Ana terkejut ketika akan kembali ke posisi semula mendapati tangan Angga menutupi sudut meja. Ia lalu tersenyum melihat ke arah Angga. Seno yang melihat itu merasa panas, tetapi tetap tersenyum meneruskan obrolannya. Sementara Elin, merasa iri pada Ana.
Angga mengganti garpu Ana yang terjatuh dengan garpunya yang memang tidak dipakai. Lelaki itu mengambil garpu di tangan Ana lalu memberikan garpunya. Perhatian kecil memang, tetapi berefek hebat pada lelaki di depan Ana. Seno tidak tahan lagi, ia harus secepatnya menyatakan perasaannya pada Ana.
“Gue, ke toilet dulu, ya.” Ana berdiri.
“Gue juga mau ke toilet.” Seno rasa ini kesempatan bagus untuk mulai melancarkan aksinya.
“Eh, jangan! Lo, temenin Elin aja dulu. Kasihan dia sendiri. Ga, lo nggak mau cuci tangan?” tanya Ana tiba-tiba pada Angga.
Angga sedikit bingung dengan pertanyaan Ana. Ia melihat Ana berkedip padanya memberikan kode. “Eh iya, gue juga mau cuci tangan, ayo bareng!” Angga langsung bangkit dan pergi bersama Ana.
Bukan tanpa alasan, Ana sengaja mengajak Angga. Ia ingin memberi kesempatan pada Elin untuk berduaan dengan Seno. Namun, Ana tidak menyadari wajah Seno yang terlihat tidak suka.
Seno kembali duduk. Elin tahu Seno kecewa karena Ana justru mengajak Angga. Akan tetapi ini kesempatan untuknya berduaan dengan Angga.
“Sen, kalau lo mau ke toilet, pergi aja. Gue nggak apa-apa sendiri.” Perkataannya sungguh berbeda dengan keinginannya. Ia hanya tidak suka melihat wajah kecewa Seno. Lelaki itu tidak suka menemaninya. Elin tak ingin menjadi alasan kekecewaan Seno.
“Nggak apa-apa. Nanti kan bisa gantian. Kasihan lo sendirian,” ucap Seno.
Elin bingung harus bicara apa lagi? Ia justru tak ada ide di saat ada kesempatan berduaan. Rasa gugup membuat semua kata yang ada di kepala tiba-tiba hilang tak tersisa. Ia mencoba mengumpulkan kembali kata yang berlari pergi.
“Lin, menurut lo, bisa nggak antar sahabat saling mencintai?” tanya Seno tiba-tiba.
“Hah!” Semua kata kembali buyar. Maksudnya apa?
Seno tertawa. “Lin, muka lo lucu banget, sumpah!” ucapnya sambil tertawa. Yang ditertawakan mengerucutkan bibirnya.
"Maksud lo apa?" tanya Elin. Tawa Seno berhenti.
"Ya, itu. Maksud gue, misalnya cewek cowok sahabatan terus cowoknya suka sama sahabatnya ini, terus dia nembak tuh cewek, boleh nggak?" tanya Seno memperjelas maksud ucapannya tadi.
"Boleh aja, kenapa nggak?" jawab Elin.
"Apa yang dimaksud Seno itu dia sendiri? Dia mau nembak Ana atau gue?" tanya Elin dalam hati.
Bolehkah ia berharap jika ia gadis yang dicintai Seno?
"Kayaknya gue jatuh cinta, Lin," ucap Seno dengan senyuman di wajah.
"Oh, ya. Ama siapa? Jangan-jangan yang lo maksud sahabat tadi itu, lo? Terus siapa ceweknya, apa itu ... Ana?" tanya Elin dengan hati berdebar.
"Iya, gue jatuh cinta sama Ana." Seno menjawab dengan wajah berbinar.
Harusnya Elin tahu diri dan ia tidak usah berharap. Hatinya sangat sakit, tak ada lagi harapan jika Seno sudah mengatakan demikian. Lantas ia harus bagaimana sekarang?
Elin berusaha untuk tidak mengeluarkan air mata yang sudah mendesak ingin keluar. Gadis itu menengadah ke atas. "Lin, gimana menurut lo?" tanya Seno tidak peka. Padahal mata Elin sudah berkaca-kaca.
"Gue ... menurut gue, lebih baik lo jangan bilang ke Ana kalau lo suka dia."
Seno mengernyit bingung. "Kenapa? Tadi katanya nggak apa-apa antar sahabat jatuh cinta?" tanya Seno.
Elin menarik napas lalu mengembuskan sekaligus. "Iya, kalau lo yakin ceweknya juga suka ama lo. Sedangkan, Ana? Kayaknya dia cuma nganggap lo sahabat doang. Malah menurut gue, Ana suka sama Angga."
"Gue, yang suka sama lo, Sen." Elin bicara dalam hati.