"Pergi kamu dari sini! Udah numpang cuma nambah beban doang! Dasar gak berguna!"
Hamid dan keluarganya cuma dianggap beban oleh keluarga besarnya. Dihina dan direndahkan sudah menjadi makanan sehari-hari mereka. Hingga pada akhirnya mereka pun diusir dan tidak punya pilihan lain kecuali pergi dari sana.
Hamid terpaksa membawa keluarganya untuk tinggal disebuah rumah gubuk milik salah satu warga yang berbaik hati mengasihani mereka.
Melihat kedua orangtuanya yang begitu direndahkan karena miskin, Asya pun bertekad untuk mengangkat derajat orangtuanya agar tidak ada lagi yang berani menghina mereka.
Lalu mampukan Asya mewujudkannya disaat cobaan datang bertubi-tubi mengujinya dan keluarga?
Ikuti terus cerita perjuangan Asya di sini!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Araya Noona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Setelah selesai merekam, Sarah mengajak teman-temannya untuk pulang. Dia sudah sangat bad mood berada di sana. Dia sama sekali tidak menyapa Asya padahal gadis itu tadi melihatnya. Bahkan melambai padanya. Hal itu yang membuat Sarah semakin marah pada Asya. Dia sudah cukup diejek karena kelakuan gadis itu, kenapa juga dia harus menunjukkan jika dirinya mengenal Sarah. Jika jurus menghilangkan diri itu sungguh ada, Sarah pasti sudah melakukannya sejak tadi.
Merasa dicuekin membuat Asya mengerutkan keningnya bingung. Tidak mungkin kan Sarah tidak melihatnya? Gadis itu tadi menoleh kok ke arahnya.
"Dia siapa, Sya?" tanya Zhaki yang melihat gelagat Asya sedang melambai pada seseorang.
"Sepupu aku. Tapi, kayaknya dia gak kenalin aku deh," jawab Asya menoleh ke arah Zhaki yang ternyata berada tepat di sampingnya. Pemuda itu menundukkan sedikit kepalanya hingga menyamai tinggi Asya. Untung saja tidak terlalu dekat jika tidak, pas menoleh tadi Asya sudah mencium pipi pria itu.
Asya reflek mendorong wajah Zhaki dan tawa pemuda itu pun meledak di sana melihat wajah malu-malu Asya yang menggemaskan. Karena kelakuan pemuda itu juga Asya jadi lupa pada sikap Sarah yang mengabaikannya tadi. Namun tidak dengan Sarah yang justru memperhatikan Asya saat dia sudah berada di dalam mobil. Bukan Asya, tepatnya pemuda di samping Asya.
'Wah! Cowok itu ganteng banget.' Batin Sarah mengagumi ketampanan pria yang sedang dekat dengan Asya tersebut. Gadis itu tersenyum tipis sebelum melihat ke arah depan seiring dengan mobil itu berlalu dari sana.
Sarah tidak menunggu lama, saat sampai di rumah dia langsung menemui ayahnya, Radit juga kebetulan sedang bicara dengan sang kakek. Itu bagus untuk Sarah melancarkan rencananya.
Sarah memasang wajah merengut membuat Radit yang melihatnya langsung bertanya.
"Kamu kenapa Sarah?" tanya Radit dengan nada yang sangat khawatir pada putrinya tersebut.
Sang kakek juga ikut menatap Sarah seakan begitu penasaran dengan apa yang mengganggu pikiran gadis tersebut.
"Bapak sama Kakek tau gak sih sekarang Asya kerja apa?" Bukannya menjawab Sarah malah balik bertanya pada kedua pria itu.
Radit terkekeh kecil sambil melipat kedua tangannya di dada. "Ya, sudah pasti dia kerja di kebun orang bantuin ibunya. Emangnya apa lagi yang bisa dilakukan seseorang yang hanya tamat SMA. Lain dong sama anak bapak yang sekarang jadi mahasiswa di universitas besar," katanya sambil membanggakan Sarah, yang dibanggakan juga ikut tersenyum. Meski malu-malu namun dalam hati dia sangat bangga dengan dirinya sendiri.
"Memangnya kenapa, Sarah? Kok kamu tiba-tiba nanyain pekerjaannya Asya?" tanya Panji, sang kakek.
Wajah Sarah kembali cemberut lalu mengeluarkan ponselnya. Dia menaruh benda pipih itu di atas meja agar kedua pria itu bisa melihatnya dengan jelas.
"Tadi pas kenikahannya temenku, aku liat Asya di sana. Dan kalian tau apa yang dia lakukan di sana? Asya jadi biduan," kata Sarah menjelaskan apa yang ada dalam video.
"Apa?!" Radit dan Panji kompak terkejut. Radit mengambil ponsel itu untuk melihatnya lebih dekat. Apakah benar gadis yang sedang meliuk-liuk di atas panggung tersebut adalah keponakannya atau bukan?
Seketika rahangnya mengeras tanda emosi yang mulai mengusai saat dia memastikan jika benar wanita itu adalah Asya.
"Aishhh!" Radit melepas ponsel Sarah yang kemudian diambil oleh Panji. Pria tua itu hanya mampu terdiam melihat cucunya. Sementara Sarah di sana tersenyum penuh kemenangan. Meski tak terlalu menunjukkannya sebab aktingnya masih harus dia lanjutkan.
"Asya benar-benar bikin aku malu. Semua teman-temanku sampai ngejek aku karna punya sepupu seorang biduan," kata Sarah dramatis seakan dia begitu tersakiti.
"Hamid gimana sih? Emang dia gak bisa ngajarin anaknya sampai jadi wanita nakal seperti itu? Bikin malu nama baik keluarga aja!" kata Radit dengan bahu yang sudah naik turun. Tangannya bahkan sudah mengepal di kedua sisinya seakan siap menghajar siapa saja.
Anisa yang baru keluar dari dapur membawa makanan heran mendengar ribut-ribut di sana.
"Ada apa, Dit?" tanya Anisa setelah menaruh makanan tadi di atas meja.
"Liat aja tuh kelakuan cucu ibu, Si Asya," kata Radit menunjuk ke arah ponsel Sarah. Dengan cepat Sarah mengambil ponselnya lalu memperlihatkan video Asya pada sang nenek.
"Astagfirullah. Ya Allah! Ini Asya?" tanya Anisa seakan belum percaya jika yang ada dalam video itu Asya, cucunya.
"Iya, Nek. Ini Asya. Sarah yang rekam sendiri tadi pas ke kondangan temenku. Kebetulan dia jadi penyanyi di sana," jawab Sarah meyakinkan sang nenek.
Anisa langsung merasa lemas hingga membuatnya terduduk di atas sofa dibantu oleh Sarah. Radit ikut menghampiri sang ibu, takut karena kaget kesehatannya menurun. Anisa itu punya penyakit darah tinggi.
"Ibu gak apa-apa?" tanya Radit dengan nada khawatir.
Anisa tidak menjawab pertanyaan Radit dan malah menangis. Wanita itu terlihat begitu terpukul mengetahui cucunya bekerja menjadi seorang penyanyi dari panggung ke panggung.
Karena ini merupakan berita besar, Radit segera menghubungi saudara-saudaranya agar datang ke rumah orangtua mereka.
"Pokoknya kita harus temui Hamid sekarang," kata Radit. Emosinya sama sekali belum surut.
"Ini pasti karna ibunya, Yani. Pasti Yani yang nyuruh Asya pergi kayak gitu. Bener-bener bikin malu keluarga aja. Dari dulu sampe sekarang gak pernah tuh ada anggota keluarga kita kerja murahan kayak gitu," tambah Rania membuat suasana semakin panas.
"Mungkin aja itu langkah awal dia buat jual anaknya." Istri Radit ikut menimpali sambil tersenyum remeh.
"Kebelet banget pengen kaya. Makanya pake jalan pintas," tambah istri Arman.
Sementara para orangtua berdebat, para anak mereka yang juga penasaran bertanya pada Sarah.
"Jadi ini beneran Kak Asya?" tanya Ririn, anak Arman.
"Ya benerlah," jawab Sarah. Wajar jika Ririn tak terlalu mengenal Asya karena dia lebih banyak menghabiskan waktu di kota. Sejak kecil dia sudah sekolah di kota.
"Gila sih! Gue bener-bener gak nyangka Asya mau kerja kayak gini," kata Dika, putra tertua Rania yang saat ini sedang melihat video Asya. Sungguh dia sangat menyayangkan perilaku sepupunya tersebut. Padahal dia tahu Asya itu gadis yang baik.
"Semua orang bisa berubah kali, Kak. Apalagi jika itu berhubungan dengan uang," timpal Dini, adik Dika yang justru sibuk dengan ponselnya. Mereka semua mengangguk setuju dengan ucapan Dini.
Kembali ke para orangtua mereka yang masih berdiskusi langkah apa yang akan mereka ambil.
"Aku sama Rania akan ke rumah sakit temuin Hamid dan Yani. Dan kamu Arman datang ke tempat Asya nyanyi. Seret dia pulang!" kata Radit memberikan instruksi.
Tidak ada yang membatah. Mereka akan melakukan sesuai dengan apa yang dikatakan Radit sebagai kakak tertua.
Sarah yang menjadi awal mula kekacauan itu tersenyum senang. Akhirnya dia bisa membalas rasa malu yang dia rasakan tadi siang.
'Mampus Lo Asya.'
n memberitahu klo dia adalah tulang punggung kluarganya n ada utang yg harus dibayar
saran saya kalau bisa ceritanya s lanjutkan terus supaya pembaca tidak terputus untuk membaca novelnya, karena kalau suka berhenti sampai berhari hari baru muncul kelanjutan bab nya mana pembaca akan bosan menunggu,