Zhang Wei, seorang pelayan rendahan berusia 15 tahun, terusir dari salah satu keluarga besar di Kekaisaran Qin. Dalam usahanya bertahan hidup sebagai pemburu spiritual beast, ia menemukan sebuah pedang tua yang ternyata menyimpan roh seorang kultivator legendaris bernama Lian Xuhuan.
Dengan kekuatan dan pengetahuan mendalam tentang kultivasi, Lian Xuhuan menawarkan bimbingan kepada Zhang Wei untuk menjadi pendekar hebat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YanYan., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kota Canyu
Zhang Wei berjalan melalui hutan lebat menuju kota besar di selatan Kekaisaran Qin. Meski tujuannya jelas, ia tidak menyia-nyiakan waktu selama perjalanan. Di setiap kesempatan, ia mencari tempat yang cocok untuk melatih tekniknya atau berburu spiritual beast.
Dengan fokus dan arahan dari Lian Xuhuan, Zhang Wei berhasil menembus Martial Master bintang 2 dalam waktu singkat. Setiap inti spiritual beast yang ia kumpulkan tak hanya menjadi sumber penghasilan tetapi juga sumber kekuatannya.
“Tidak buruk,” kata Lian Xuhuan, memuji perkembangan muridnya. “Tapi ingat, menjadi kuat bukan hanya soal menaikkan bintang atau menumpuk inti. Kau harus melatih instingmu juga. Dunia luar tidak hanya penuh dengan beast, tapi juga manusia yang jauh lebih berbahaya.”
Zhang Wei mengangguk, menyadari kebenaran itu. Baginya, setiap langkah adalah peluang untuk belajar dan berkembang.
Saat melewati sebuah lembah di pinggir hutan, suara gaduh tiba-tiba menarik perhatian Zhang Wei. Ia berhenti sejenak, mencoba mendengarkan lebih jelas.
“Ada pertarungan,” gumamnya.
“Tentu saja,” jawab Lian Xuhuan. “Dan tampaknya cukup serius. Kau akan memeriksanya?”
“Tentu,” kata Zhang Wei sambil berjalan mendekati sumber suara.
Setelah mendaki bukit kecil, ia melihat pemandangan yang mengejutkan. Sebuah kereta kuda mewah sedang dikepung oleh sekelompok spiritual beast. Para pengawalnya, terdiri dari belasan Martial Master tingkat menengah dan tinggi, bertarung mati-matian melawan sekelompok beast tingkat 2 yang dipimpin oleh seekor beast tingkat 3.
Kereta itu tampak rusak, dan beberapa pengawal sudah tewas atau terluka parah. Beast pemimpin, seekor harimau besar berkulit hitam dengan mata merah menyala, mengaum keras, memerintahkan pasukannya untuk terus menyerang.
“Situasi buruk,” gumam Zhang Wei.
“Memang buruk,” jawab Lian Xuhuan. “Kau ingin turun tangan?”
Zhang Wei menimbang situasinya. “Kalau tidak ada yang menghentikan beast itu, semua orang di sana akan mati. Lagipula, aku bisa mendapatkan inti beast tingkat 3 sebagai bonus.”
Lian Xuhuan tertawa. “Itu semangat muridku. Lakukan!”
Turun Tangan
Zhang Wei melompat dari atas bukit, mendarat dengan mantap di dekat kereta kuda. Kemunculannya mengejutkan baik para pengawal maupun beast.
“Siapa kau?!” teriak salah satu pengawal, seorang pria tua dengan wajah penuh darah.
“Tidak penting,” jawab Zhang Wei santai sambil menarik pedangnya. “Aku akan membantu kalian.”
Tanpa menunggu jawaban, ia menyerbu ke arah sekelompok beast tingkat 2 yang mencoba menerobos barisan pengawal. Dengan teknik pedang tinggi yang dia kuasai, Zhang Wei menebas beast-beast itu dengan cepat dan efisien.
Gerakan pedangnya seperti angin: cepat, tajam, dan mematikan. Dalam beberapa saat, lima beast tingkat 2 tewas di tangannya. Para pengawal yang awalnya ragu mulai merasa kagum dengan kemampuan Zhang Wei.
“Dia bukan orang biasa...” gumam salah satu pengawal.
Melawan Beast Pemimpin
Harimau hitam tingkat 3 mengaum marah melihat pasukannya dikalahkan. Dengan loncatan besar, ia menyerang Zhang Wei langsung, cakarnya yang tajam mencoba merobek tubuhnya.
Namun, Zhang Wei sudah siap. Dengan kekuatan Martial Grandmaster, ia menghindari serangan itu dengan mudah.
“Dasar binatang liar,” katanya dengan nada mengejek.
Lian Xuhuan tertawa dari dalam pedang. “Hati-hati, meski ini beast tingkat 3, dia cukup kuat. Jangan remehkan.”
Zhang Wei mengangguk dan mulai melancarkan serangan balik. Pertarungan sengit pun terjadi. Harimau itu memiliki kekuatan besar dan kecepatan luar biasa, tetapi Zhang Wei memanfaatkan ketenangannya serta teknik pedang tinggi yang ia pelajari.
Dalam beberapa menit, ia berhasil melukai beast itu dengan beberapa serangan mematikan. Harimau itu mencoba mundur, tetapi Zhang Wei tidak memberinya kesempatan. Dengan serangan terakhir, ia menancapkan pedangnya ke kepala harimau tersebut, mengakhiri hidupnya.
Rasa Syukur
Para pengawal yang tersisa menghela napas lega. Dengan binatang pemimpin tewas, beast lainnya melarikan diri. Seorang wanita muda dengan pakaian mewah turun dari kereta, wajahnya pucat tetapi penuh rasa terima kasih.
“Terima kasih atas pertolonganmu, Tuan,” katanya dengan suara lembut. “Kalau bukan karena Anda, kami semua sudah mati.”
Zhang Wei hanya mengangguk ringan. “Kalian baik-baik saja sekarang. Pastikan untuk tidak bepergian tanpa perlindungan lebih baik di masa depan.”
Wanita itu mengangguk, tetapi sebelum ia sempat berbicara lebih jauh, Zhang Wei sudah berjalan pergi dengan santai.
Hadiah Tak Terduga
Setelah pergi cukup jauh, Zhang Wei memeriksa hasil dari pertarungan itu. Inti beast tingkat 3 ada di tangannya, bersinar dengan energi yang sangat pekat.
“Ini cukup berharga,” katanya.
“Tentu saja,” jawab Lian Xuhuan. “Beast tingkat 3 jarang ditemukan, dan intinya bisa digunakan baik untuk kultivasi maupun dijual dengan harga tinggi.”
Zhang Wei tersenyum puas. Pertarungan itu tidak hanya meningkatkan pengalamannya tetapi juga memberinya keuntungan besar. Dengan bekal yang semakin banyak, ia melanjutkan perjalanannya menuju kota besar di selatan Kekaisaran Qin.
Setelah menempuh perjalanan panjang dan menyusuri berbagai medan, Zhang Wei akhirnya melihat bayangan tembok besar menjulang di kejauhan. Itu adalah kota Canyu, salah satu kota besar di wilayah selatan Kekaisaran Qin. Hiruk-pikuk orang-orang di luar gerbang tampak seperti semut yang sibuk, para pedagang dengan gerobak besar, tentara patroli, dan warga lokal yang berlalu lalang.
“Kota besar yang cukup ramai,” gumam Zhang Wei sambil berjalan mendekat.
“Ini baru awal,” kata Lian Xuhuan dari dalam pedang. “Tunggu sampai kau melihat kota-kota di wilayah pusat. Kota ini tidak ada apa-apanya dibandingkan itu.”
“Cukup sudah perbandinganmu,” balas Zhang Wei. “Aku hanya ingin masuk, beristirahat, dan makan enak.”
***
Di gerbang utama, dua penjaga berbaju zirah lengkap menghentikan Zhang Wei.
“Halt! Biaya masuk kota adalah 20 koin emas, atau tunjukkan token registrasi jika kau sudah memilikinya,” ujar salah satu penjaga dengan suara tegas.
Zhang Wei mengerutkan alis. “20 koin emas hanya untuk masuk? Mahal sekali.”
“Jika kau tidak mampu membayar, jangan buang waktu kami,” sahut penjaga itu dingin.
Tanpa banyak bicara, Zhang Wei mengeluarkan 20 koin emas dari kantongnya dan menyerahkannya. Penjaga menerima koin tersebut, lalu mempersilakannya masuk.
“Selamat datang di kota Canyu. Jika kau ingin keluar masuk dengan bebas tanpa membayar biaya, kau bisa melakukan registrasi untuk membuat token warga.”
Zhang Wei mengangguk. “Di mana aku bisa melakukan registrasi itu?”
“Pergi ke Balai Administrasi di sebelah timur alun-alun utama. Mereka akan mengurus semuanya.”
***
Setelah masuk, Zhang Wei langsung menuju Balai Administrasi seperti yang diarahkan. Tempat itu penuh dengan orang-orang yang mengantri untuk berbagai keperluan. Dia harus menunggu cukup lama sebelum gilirannya tiba.
“Nama?” tanya petugas administrasi, seorang pria paruh baya yang tampak bosan.
“Zhang Wei,” jawabnya singkat.
Petugas itu mencatat, lalu bertanya, “Tujuanmu di kota ini?”
“Perjalanan dan berdagang,” jawab Zhang Wei, mencoba terdengar sesederhana mungkin.
Setelah beberapa proses administratif dan pembayaran biaya 50 koin emas, Zhang Wei akhirnya mendapatkan token warga kota Canyu. Token itu terbuat dari logam perak kecil berbentuk bulat dengan namanya terukir di permukaannya.
“Dengan ini, kau bebas keluar masuk kota tanpa perlu membayar lagi,” kata petugas itu, menyerahkan tokennya.
“Terima kasih,” jawab Zhang Wei, lalu pergi.
***
Setelah menyelesaikan urusan registrasi, Zhang Wei mencari penginapan. Berjalan menyusuri jalan-jalan ramai kota Canyu, ia akhirnya menemukan sebuah penginapan yang tampak cukup baik. Plakat besar di pintunya bertuliskan “Penginapan Angin Selatan.”
Memasuki penginapan, Zhang Wei langsung dihampiri oleh seorang pelayan muda. “Selamat datang, Tuan. Apa yang bisa kami bantu?”
“Satu kamar untuk beberapa hari. Dan aku ingin makan banyak,” katanya tanpa basa-basi.
Pelayan itu tampak terkejut. “Tentu, Tuan. Silakan ikuti saya.”
Zhang Wei diberikan sebuah kamar sederhana tetapi bersih, lalu langsung turun ke ruang makan. Di sana, ia memesan banyak makanan tanpa berpikir dua kali. Sup ayam herbal, nasi kukus harum, daging panggang berbumbu, roti lembut, dan berbagai hidangan lainnya memenuhi mejanya.
Saat makan, Zhang Wei melahap semuanya dengan rakus, seperti seseorang yang telah lama kelaparan. Warga dan tamu lain di penginapan itu memandangnya dengan berbagai ekspresi: terkejut, geli, atau bahkan jijik.
“Lihat dia,” bisik seorang pria tua di meja sebelah. “Seperti orang yang tidak pernah makan seumur hidupnya.”
“Dia mungkin dari hutan,” tambah temannya.
Zhang Wei tidak peduli. Baginya, makanan ini jauh lebih baik daripada daging hambar spiritual beast yang selama ini ia makan.
“Kau makan seperti babi,” kata Lian Xuhuan dengan nada bercanda.
“Aku tidak peduli,” jawab Zhang Wei sambil mengunyah. “Setelah semua latihan gila yang kau suruh, aku pantas mendapatkan ini.”
Lian Xuhuan tertawa. “Benar juga. Nikmati saja momen ini. Kau akan segera menghadapi tantangan yang jauh lebih besar di kota ini.”
Zhang Wei berhenti sejenak, lalu tersenyum. “Aku siap. Setelah makan ini, aku akan mulai melihat-lihat kota. Kita tidak akan tinggal di tempat yang sama lama-lama.”
“Bagus,” jawab Lian Xuhuan. “Tapi jangan terlalu cepat puas. Kota besar seperti ini menyimpan bahaya di setiap sudutnya.”
Zhang Wei mengangguk. Ia tahu bahwa petualangannya di kota Canyu baru saja dimulai.