Auriga tidak menyadari dia sedang terjebak dalam sebuah masalah yang akan berbuntut panjang bersama Abel, gadis 18 tahun, putri temannya yang baru saja lulus SMA.
Obsesi Abel kepada Auriga yang telah terpendam selama beberapa tahun membuat gadis itu nekat menyamar menjadi seorang wanita pemandu lagu di sebuah tempat hiburan malam. Tempat itu disewa oleh Mahendra, ayah Abel, untuk menyambut tamu-tamunya.
“Bel, kalau bokap lo tahu, gue bisa mati!” Kata Ode asisten sang ayah tengah berbisik.
“Ssst...tenang! Semuanya aman terkendali!” Abel berkata penuh percaya diri.
“Tenang-tenang gimana? Ini tempat bukan buat bocah ingusan kayak elo!”
“Dua hari lagi aku 18 tahun! Oh my God, gatel ya,Mahen!Lo ya, ganjen banget! Katanya nggak mau nikah lagi tapi ani-aninya seabrek!" Umpat Abel pada sang papa.
***
Di satu sisi lain sebuah kebahagiaan untuk Auriga saat mengetahui hubungan rumah tangga mantannya tidak baik-baik saja dan tidak bahagia dia pun kembali terhubung dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tris rahmawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9 Drama Telur
"Hay cantik, siapa namanya? Ini beneran yang bantu-bantu Oma?" sapa Oma dengan sangat ramah, pandangannya penuh kehangatan pada Abel.
"Iya, O-Oma. Aku Ana," jawab Abel gugup, suaranya lirih.
"Ana, usianya berapa?" tanya Oma lagi, penuh penasaran.
Auriga yang berdiri di samping mereka terus memperhatikan Abel dengan seksama. Dia tidak ingin wanita asing itu mengatakan sesuatu yang mencurigakan, tetapi baru sadar kalau dia belum memberitahu Abel tentang usia yang harus dia katakan.
"28, usianya 28, Oma." potong Auriga cepat, memastikan situasi terkendali.
What! 28? Oh Tuhan, dia melihatku 10 tahun lebih tua. Abel sedikit panik di dalam hati, berpikir apakah wajahnya begitu tua di hadapan pria ini.
"Oh, 28? Ya, bagus. Begini, Oma itu butuh teman buat ke toko kain, keluar kota. Kadang ada pesanan-pesanan, biasanya kebaya nikah atau permintaan baju-baju kebaya buat acara penting. Biar Oma udah tua gini, Oma masih dipercaya loh buat baju-baju acara besar," cerita Oma, nada suaranya penuh kebanggaan.
Abel mendengarkan dengan saksama, meski sesekali melirik ke arah Auriga, memastikan dirinya tidak melakukan kesalahan.
"Tapi ya gimana, kadang Opa itu nggak izinin. Katanya Oma udah tua, mending di rumah aja. Tapi ya namanya passion, gimana mau berhenti," lanjut Oma sambil tertawa kecil, tampak menikmati pembicaraannya.
Auriga hanya mendesah pelan, sudah hafal dengan kebiasaan neneknya yang keras kepala namun penuh semangat itu.
Di sisi lain Abel masih merasakan kegugupan namun juga penasaran dengan Oma yang tampaknya menyenangkan. Semoganya paling tidak berada di sini tidak akan seburuk yang dia bayangkan.
“Oma, ponsel Oma bunyi, aku dengar suaranya,” sela Auriga, mencari kesempatan untuk berbicara dengan wanita asing itu agar dia tidak salah bicara. “Ah, Ana, letakkan barang-barangnya di kamar. Saya akan mengantar kamu.” lanjutnya sambil melirik Abel, berusaha memberi kode bahwa dia ingin bicara empat mata.
“Oh, itu Opa yang telepon,” jawab Oma sambil melangkah pergi. “Baiklah, Ana, pergilah ke kamar. Pakai yang di atas sebelah kiri, itu kamar asisten Oma yang lama.”
“Di atas?” Auriga langsung protes. “
“Ya, kamar Aurora, bukan kamar kamu. Lagian, Aurora sekarang hamil besar, mana mungkin dia naik ke atas. Dia butuh kamar bawah,” jawab Oma sambil menggerutu.
Oma berlalu menuju kamarnya, meninggalkan Auriga dan Abel di ruang tamu. Setelah memastikan Oma tidak mendengar, Auriga menatap Abel tajam.
“Ini dengar baik-baik,” katanya serius. “Bersikaplah seperti orang normal. Usahakan apapun yang Oma butuhkan kamu bisa lakukan. Kalau nggak tahu caranya, cari di internet. Oma itu biasanya bertanya-tanya tentang berita, cara-cara menggunakan sesuatu yang di usianya mungkin sudah sulit, dia akan minta ditemani jalan pagi atau keluar kota, dimasakin makanan ringan, atau dibantu hal-hal kecil seperti menyiapkan obat. Jangan bikin masalah.”
Normal? aku keliatan tidak? oh ya ceritanya aku kan terdampar di sini karena nggak normal.
"Iya." Angguk Abel kepalanya.
Auriga menatap Abel lebih dekat, membuat wanita itu sedikit gemetar. “Saya akan kirimkan ponsel ke kamu, jadi pastikan semuanya berjalan lancar. Mengerti?”
“I-iya, Mas,” jawab Abel gugup, hampir berbisik. Tatap mata saya..... Tatap mas... Sial jantung gue!
“Mas? Stop panggil saya Mas!” tegur Auriga dengan nada kesal.
Abel menunduk, merasa takut sekaligus bingung. “La-lalu, saya harus panggil apa?”
Auriga terdiam sejenak, tampak kebingungan dengan jawabannya sendiri. “Ya, ya! Terserah. Mas juga nggak apa-apa.” Ingat Auriga semua asisten di sana memangginya dengan kata mas.
Abel mengangguk pelan, menahan tawanya, cieee di izinin manggil mas, awas nyaman di panggil mas sama gue... Nggak papa deh di anggap dia makhluk 28 tahun rela gue mah, asal mas bahagia aja.
Plak
Abel, sadar! Menjijikkan Tau!
Mengikuti langkah Auriga menaiki tangga, Abel memegangi tas kecil miliknya yang diselempangkan di pundak kanan, sementara tangan kirinya sibuk membawa beberapa tas belanjaan yang dipilih Cecil.
Tas-tas itu tidak terlalu berat, tapi Abel sudah mengeluh dalam hati. Tapi dalam benaknya sekarang ada satu hal yang membuatnya merasa sedikit lega ponselnya. Benda itu ia sembunyikan di lapisan terdalam tas kecilnya, aman dari penglihatan siapa pun. Ia tahu, jika seseorang mencoba membuka tas itu, harus benar-benar membongkarnya hingga ke dasar untuk menemukan ponsel tersebut.
Rumah Oma terlihat besar dan megah. Meski tak sebesar rumahnya sendiri, rumah ini memiliki gaya klasik yang memberikan kesan hangat dan menenangkan. Mata Abel tak henti-hentinya mengamati setiap sudut rumah itu, dari ukiran di dinding hingga langit-langitnya yang tinggi. Namun kekagumannya tiba-tiba terhenti.
“Auh!” Abel terpekik kecil saat kakinya terselip.
“Hati-hati,” tegur Auriga cepat sambil menoleh. “Ada bagian lantai yang rusak di sini.”
Sebuah celah di lantai marmer tangga hampir membuat Abel kehilangan keseimbangan. Dalam refleks yang cekatan, Auriga meraih lengannya, menarik Abel agar tidak terjatuh.
Abel tertegun. Wajahnya mendongak, dan tanpa sadar pandangannya bertemu dengan mata Auriga yang dingin. Mereka berdiri begitu dekat, jarak di antara mereka hanya sejengkal. Dalam sepersekian detik, pikiran Abel melayang ke arah yang konyol. Ia membayangkan adegan film India, di mana sang perempuan jatuh ke dada prianya, disertai musik dramatis.
Cielahh kirain cuma di tontonan aja, ini ngalamin langsung!
Namun kenyataan langsung membuyarkan semua itu. “Gunakan matamu!” Auriga mendesis dingin, suaranya penuh teguran. Wajah Abel memerah, seolah tertangkap basah tengah melamun hal aneh. Auriga membantu Abel berdiri tegak kembali, lalu melepaskan pegangannya.
“Biasakan fokus! Apapun itu, fokus!” ulang Auriga, kali ini dengan nada lebih tegas.
Abel mengangguk kecil, merasa malu sekaligus kesal pada dirinya sendiri. “Iya, Mas,” gumamnya pelan. Tapi dalam hatinya, ia memaki kekonyolan imajinasinya barusan.
“Itu, di sana kamarnya,” ujar Auriga dengan nada dingin, menunjuk salah satu pintu di lantai atas. Tanpa banyak bicara lagi, ia berbalik dan turun tangga dengan langkah cepat, meninggalkan Abel yang masih mematung.
“Gini aja? Gue ditinggal?” Abel bergumam, menoleh ke arah pria itu yang sudah menghilang di balik tikungan tangga. Rasanya ia seperti barang kiriman yang hanya dititipkan begitu saja. “Pria aneh,” gumamnya sambil mendengus kecil.
Auriga memang terburu-buru. Cecil sudah menunggunya di lantai bawah, dan hari ini jadwalnya padat dengan pekerjaan yang menumpuk. Dalam benaknya, masalah wanita asing itu kini sudah selesai. Setidaknya, untuk sementara. “Masalah selesai sementara waktu,” pikirnya, berusaha menyingkirkan urusan wanita asing itu dari kepalanya.
Sementara itu, Abel melangkah masuk ke dalam kamar yang disebut-sebut sebagai miliknya. Kamarnya cukup besar dengan ranjang empuk yang terlihat nyaman. Setelah menyusun barang-barangnya seadanya, ia menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang, membiarkan keletihan merayap di tubuhnya.
Abel meraih ponsel dari dalam tas kecilnya. Tangannya gemetar sedikit saat membuka layar ponselnya, dan pikirannya langsung melayang pada sang ayah. “Besok ulang tahun aku, Pa,” batinnya. “Papa pasti sedih.”
Ia menatap layar ponselnya dalam diam, seakan mencari keberanian untuk mengetik pesan atau mungkin menelepon. Tapi ia hanya terdiam, memutar ulang kenangan di kepalanya. “Papa... Abel udah 18 tahun, izinin Abel ya sekali ini aja. Nggak jadi anak kesayangan Papa, nggak jadi Abel yang papa mau.” Bibirnya gemetar saat mengucapkan kata-kata itu dalam hati. “ lAbel aneh ya, Pa? Lakuin hal kayak gini.”
Matanya mulai terasa panas, tapi ia menahan tangisnya. “Maafin abel ya, Pa.”
Tak lama kemudian, suara lembut Oma memanggil Abel dari bawah. “Ana, turun dulu, kita makan siang bareng!”
Abel turun dengan langkah ragu. Di bawah, Oma menunggunya dengan senyum ramah, mengajaknya menuju ruang makan belakang. Ruangan itu terasa hangat, penuh dengan aroma makanan yang baru saja selesai dimasak.
“Ana, kamu suka makan ikan?” tanya Oma sambil menuangkan air ke gelas.
“Suka, Oma. Oma juga suka?” jawab Abel dengan senyum kecil, berusaha bersikap sopan.
“Suka sekali. Tapi Oma kalau makan harus ada telur juga. Eh, loh, ini telurnya nggak ada!” Oma mendadak berseru, menatap meja makan seolah ada sesuatu yang hilang. Lalu, dengan nada ceria, ia berkata, “Ana, bantu Oma ya. Tugas pertama kamu gorengin telur mata sapi dua.”
Abel terpaku sejenak. “Demi apa… goreng telur?” batinnya. Ia menarik napas panjang, mencoba tetap tenang meski pikirannya penuh dengan rasa panik. “Sumpah, gue nggak pernah masak. Bahkan bikin mie instan yang katanya instan dan gampang aja dibantu orang.” Abel menatap tangan kosongnya, mengingat bagaimana di rumah dulu, semua urusan dapur selalu diurus oleh pembantu.
Tapi ia tak ingin membuat Oma curiga. Jadi, dengan senyum penuh kepura-puraan, ia mengangguk cepat. “Oke, Oma. Aku buat sekarang.”
Abel segera menuju dapur, sambil memutar otak. “Telur mata sapi tuh kayak gimana ya? Bentuknya tahu, caranya nggak.” Ia membuka kulkas, mengambil beberapa telur, lalu berdiri mematung di depan kompor. “Astaga, gimana sih ini? Nyalainnya gimana? Minyaknya berapa banyak? Gue harus cari cara...”
Dengan cepat, ia masuk ke kamar mandi lalu merogoh ponsel dari saku. Jari-jarinya mencari nomor Ode.
Abel : Kasih tau gue cara buat telor mata sapi.
Ode langsung menghubungi Abel dan Abel segera mengangkatnya, "Abel? hey gimana sekarang akhirnya aktif juga."
"Cepat kasih tau gue, gimana! hal apa yang harus gue lakukan pertama kali." Bisiknya.
"Mata sapi, cuma buat mata sapi lo nggak bisa?"
"Cepat ode! berisik, gue nggak butuh komentar lo saat ini, kasih tau gue sekarang caranya!" Abel panik. "Gue di tungguin! ini menyangkut hidup dan mati."
"Astaga lebay banget, lo dengar! Ambil telor, pecahin..."
"Pancinya gimana?"
"Ya,panci penggorengannya lo siapin dulu. Baru pecahin telor."
"Gue Nggak bisa! telornya pasti ancur!"
Ode menghela napas dia jengah sekali dengan Abel, dia ini memang lain dari yang lain, "Ambil telor...."
"Udah, terus?"
"Terus dekatin sama kepala, lo. Ya. bentur di kepala lo biar pecahnya presisi nggak hancur."
"Kepala?"
"Terserah Abel, terserah! Mau di kepala pundak, lutut, kaki terserah! Cuma tinggal lo pecahin di mana terserah, masukin sedikit minyak ke penggorengan lalu masukin telornya setelah itu garam seujung kuku."
“Oke, Minyak sedikit, pecahin telur... duh, ini kok cipratannya kayak mau bakar rumah!” Abel tersentak mundur saat minyak sedikit meletup-letup, tapi ia tetap berusaha menyelesaikannya. "Garam seujung kuku? kuku yang sebelah mana?"
"Astaga Tuhan pantas saja dia di takdirkan jadi anak kaya, bentuknya kayak gini."
"Buruan ode sialan!"
"Lo dengar! lo dengar! Minyaknya jangan banyak-banyak." Ode pun mulai menjelaskan dengan benar dan pelan agar Abel mengerti, benar-benar menguras emosi dan tenaganya.
Hingga setelah beberapa menit penuh perjuangan, ia akhirnya berhasil membuat dua telur mata sapi. Bentuknya mungkin tidak sempurna, tapi cukup layak untuk disajikan.
Dengan penuh kebanggaan kecil bercampur lega, Abel membawa piring berisi telur itu ke meja makan. “Ini, Oma. Telurnya sudah jadi.”
Oma menatap telur itu dan tersenyum lebar. “Wah, bagus! Terima kasih, Ana. Kamu cepat belajar ya. Kalau gitu, ayo makan.”
Abel duduk di kursinya dengan napas masih sedikit berat. “Goreng telur aja gue ngos-ngosan. Gimana nanti kalau disuruh masak yang lain?” pikirnya. Tapi melihat senyum hangat Oma, ia merasa setidaknya usahanya tidak sia-sia.
km ketauan....
akhirnya,, cita² mu tercapai ya bell,, bikin Auriga penasaran..
gk sabar nunggu part² selanjutnya..