Menjalani rumah tangga bahagia adalah mimpi semua pasangan suami istri. Lantas, bagaimana jika ibu mertua dan ipar ikut campur mengatur semuanya? Mampukah Camila dan Arman menghadapi semua tekanan? Atau justru memilih pergi dan membiarkan semua orang mengecam mereka anak dan menantu durhaka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tie tik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perhatian Mertua
"Dek Mila, minta tolong ambilkan minum dong," teriak Sinta dari ruang keluarga.
Camila memejamkan mata setelah mendengar suara lantang kakak iparnya itu. Tangannya mencengkram spons cuci piring hingga busanya muncrat ke beberapa barang. Camila sangat kesal karena semenjak pulang dari Solo, Sinta selalu mengatakan jika tidak boleh terlalu sering bergerak. Alhasil, segala pekerjaan rumah Camila lah yang menghandle termasuk mengurus Zafi.
"Dek Mila. Minumnya teh hangat ya!"
"Astaghfirullah haladzim!" Camila melempar spons itu ke pencucian piring. "Lama-lama ngelunjak juga!" ujar Camila dengan napas yang memburu.
Tak berselang lama, Aminah datang ke dapur dengan menggendong Zafi yang sedang tantrum. "Nduk, teh hangatnya Mbakmu sudah kah? Biar ibu yang membawa ke ruang keluarga," tanya Aminah.
"Sebentar lagi, Bu. Biar saya saja yang mengantar." Camila pun tidak tega melihat mertuanya kesusahan mengurus bocah berusia tiga tahun itu.
Hampir satu bulan ini sikap Sinta berubah semakin tak karuan. Dia bersikap layaknya seorang majikan saat Arman tidak ada di rumah. Jika Arman sudah di rumah wanita berbadan dua itu tidak berani berkutik.
"Ini." Camila menyerahkan gelas berisi teh hangat kepada Sinta.
"Dek, sekalian ambilkan handphoneku di kamar ya." Sinta mengembangkan senyum tipis.
"Ambil saja sendiri! Masih punya kaki dan tangan 'kan?" Camila menatap sinis ke arah Sinta sebelum pergi dari ruang keluarga.
Wanita asal Surabaya itu kembali ke dapur. Dia duduk di kursi yang ada di sana. Kedua sikunya menjadi penopang saat telapak tangan memijat kepala. Dia kesal karena Sinta semakin bertingkah.
"Kalau seperti ini terus. Bisa penuaan dini aku. Pekerjaan rumah belum selesai, ndoro minta dilayani mulu. Setres aku!" gerutu Camila dengan diiringi helaan napas berat.
Keluh kesah Camila ternyata didengar langsung Pardi. Pria lanjut usia itu ternyata ada di dalam mushola yang ada didekat dapur. Pardi hanya bisa mendoakan agar Camila diberikan kesabaran. Setelah selesai ibadah dhuha, Pardi bergegas keluar dari mushola.
"Nduk, bantu bapak di sawah ya. Bawa bekalnya. Bapak berangkat dulu. Nanti ke sawah yang ada di kampung sebelah," ucap Pardi saat menghampiri Camila.
"Iya, Pak. Tapi saya mandi dulu ya, Pak." Camila menampilkan senyum yang sangat manis di hadapan ayah mertuanya.
Setelah kepergian Pardi dari dapur, Camila memijat kepalanya kembali. Dia tidak menyangka jika ternyata Pardi menambah beban berat dalam hidupnya. Selama ini Camila tidak pernah diminta bantuan untuk masalah sawah, tetapi kali dia harus terjun langsung ke sawah untuk membantu ayah mertuanya itu.
Detik demi detik telah berlalu begitu saja. Setelah bersiap hampir tiga puluh menit, Camila berangkat ke sawah dengan membawa bekal untuk Pardi. "Bu, saya berangkat dulu," pamit Camila saat menemui Aminah di halaman samping.
"Mau kemana, nduk?" tanya Aminah.
"Mau bantu bapak di sawah, Bu," jawab Camila.
"Loh. Bapakmu ini bagaimana? Kenapa kamu yang disuruh ke sawah? Gak usah berangkat! Ngawur bapakmu itu!" Tentu Aminah terkejut melihat menantunya di perlakukan seperti itu.
Perdebatan kecil terjadi di antara kedua wanita beda generasi itu. Pada akhirnya Camila lah yang menang. Dia berangkat ke sawah tanpa menghiraukan larangan ibu mertuanya. Setelah menempuh perjalanan beberapa menit, akhirnya Camila sampai di sawah milik Pardi.
"Pak, ini bekalnya ditaruh mana ya?" tanya Camila setelah menghampiri Pardi yang sedang memasang tali di batang pohon cabai.
"Taruh di gubuk sana saja, Nduk," ucap Pardi sambil menunjuk gubuk peristirahatan yang biasa dipakai berteduh.
"Saya bantu apa ya, Pak? Masang tali juga?" tanya Camila.
"Tidak perlu. Tunggu saja di gubuk sana. Kamu istirahat saja, Nduk," ucap Pardi tanpa menatap wajah Camila.
"Katanya tadi kan saya disuruh bantu Bapak. Masa saya istirahat, Pak?" Camila tak mengerti maksud ayah mertuanya.
"Lebih baik sekarang kamu taruh bekalnya di sana dan tunggu di gubuk sampai Bapak selesai." Kali ini Pardi menatap Camila penuh arti.
Camila tak mengerti apa tujuan Pardi menyuruhnya datang ke sawah hanya untuk istirahat. Dia pun tak mau bertanya lagi dan segera mengikuti perintah Pardi. Semilir angin pagi mulai menerpa Camila yang baru saja duduk bersandar di salah satu tiang gubuk. Camila mengamati keadaan yang ada di sekelilingnya. Hamparan hijau dari padi dan beberapa tanaman lain berhasil membuat pikiran Camila tenang.
"Kira-kira kenapa ya Bapak menyuruhku ke sini? Aku macam orang gak berguna saja kalau duduk santai di sini, sementara bapak sibuk mengurus cabai. Tapi aku juga gak bisa sih kalau disuruh mengikat pohon cabai," gumam Camila sambil menatap Pardi yang sedang sibuk dengan kegiatannya.
Hingga beberapa puluh kemudian, Camila hanya duduk santai di gubuk. Dia tidak diperbolehkan Pardi melakukan apapun. Camila semakin tidak mengerti. Berbagai praduga hadir dalam pikiran, tetapi tak ada satupun yang bisa menjawab rasa penasaran atas tujuan ayah mertuanya itu.
"Nduk, makanlah," ucap Pardi saat menghampiri Camila di gubuk.
"Saya tidak lapar, Pak. Lagi pula ini makanan untuk Bapak," sanggah Camila.
"Kamu tadi pasti belum sarapan 'kan? Makanlah dulu. Bapak tidak lapar," suruh Pardi lagi.
Camila tak segera menjawab. Dia menatap kotak bekal yang ada di sisinya. Memang benar apa yang disampaikan ayah mertua nya itu jika dirinya belum sempat sarapan. Namun, menikmati makanan di gubuk ini bukan solusi yang tepat.
"Pak, saya ini harus ngapain di sini? Katanya tadi disuruh bantu Bapak." Ya, sekali lagi Camila bertanya kepada Pardi.
Sementara Pardi hanya mengembangkan senyum tipis saat mendengar pertanyaan itu. Pria lanjut usia itu mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya, lalu disulut dengan api. Kepulan asap rokok mengudara di sana. Lantas, Pardi menoleh ke samping.
"Sebenarnya bapak tidak membutuhkan bantuanmu. Bapak hanya ingin meringankan bebanmu di rumah. Maaf jika bapak belum bisa memberikan kamu kenyamanan di rumah. Nikmati waktumu di sini karena hanya dengan membawamu ke sini, Bapak bisa meringankan beban yang kamu pikul di rumah," jelas Pardi sebelum beranjak dari gubuk. Pria lanjut usia itu kembali melakukan aktivitasnya di sawah.
Camila menitikkan air mata setelah mendengar penjelasan panjang dari Pardi. Dia tidak menyangka jika tujuan Pardi seperti itu. Camila menundukkan kepala saat tak mampu lagi menahan air mata. Dia terisak meratapi perjalanan hidupnya akhir-akhir ini.
"Terima kasih, Pak, atas perhatiannya. Maaf jika saya dan mas Arman belum bisa membahagiakan bapak," batin Camila seraya menatap Pardi yang ada di tengah sawah.
...🌹TBC🌹...
Arman mana tau,,berangkat pagi pulang sore
terimakasih
Anak sekarang benar2 bikin tepok jidat
Lagi musim orang sakit..
Fokus sama usahanya biar makin lancar..
Goprutnya ntar sampai hafal sama Mila 😀😀
Camila harus lebih tegas lagi
Yg g boleh itu jadi pengadu domba
Fokus saja sama keluarga dan usaha biar sukses