Desya yang terlahir dari keluarga sederhana ia dijodohkan oleh kedua orang tuanya dengan seorang lelaki yang dimana lelaki itu inti dari permasalahannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon veli2004, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengakuan Evan
Dengan terburu-buru aku segera turun dari lantai atas menuju lantai bawah yang dimana wanita itu berada.
Hatiku berdebar-debar, aku tau jelas siapa wanita yang sedang masuk ke rumah Evan dia tidak lain adalah putri dari pak tua itu.
"Kau mencari Evan? " Tanyaku kepada wanita itu dengan wajah yang serius.
Dia menyunggingkan senyumannya sambil menatapku dari atas hingga bawah kaki.
"Kau istri Evan? jujur kalau boleh aku bilang selera Evan sangat buruk, rendah sekali" umpat nya.
Aku terdiam, kulihat lagi wajah wanita yang berada dihadapanku dengan seksama.
"Kau bisa bilang begitu tapi kenyataannya aku sudah menjadi istri sah nya, tidak sepertimu seorang pelakor dan simpanan suamiku" ucapku sambil menunjuk kearah wanita tersebut.
Wajahnya merah padam menahan emosi, dia menatapku untuk kesekian kalinya dengan tatapan tajam seolah-olah tidak terima.
Sementara semua para pelayan serta para penjaga dan beberapa ajudan Evan terlihat diam hanya bisa menatap adu mulut yang terjadi.
"Apa? kau tidak bisa menjawab bukan? " ucapku dengan tenang.
"Kau!!!! " teriaknya lalu mendorong ku sampai terjatuh ke lantai.
"Nyonya! " teriak beberapa para pelayan.
Satu dari mereka lalu berlari menolongku agar berdiri, aku sangat tidak tau bahwa dia dengan cepat akan melakukan hal memalukan seperti ini.
"Kau sudah malu ketahuan jadi pelakor sekaligus simpanan Evan? " ucapku dengan nada amarah.
"Dia bukan simpanan, dia adalah kekasihku sejak belum bertemu denganmu" timpal Evan yang berjalan kearah wanita itu.
Deghhh....
Hatiku berdetak kencang, mendengar perkataan yang keluar dari Evan langsung membuatku hatiku hancur berkeping-keping, semuanya yang dengar hanya menunduk.
"Kau bisa dengar kan Desya, aku bukan wanita simpanan ataupun pelakor. Aku bilang sekali lagi aku adalah kekasih dari Evan dan kamu!!!! kamu adalah pelakor di hubungan kami" tegas wanita itu kepadaku.
Seketika tubuhku gemetar, apa yang terjadi sebenarnya aku tidak tau. Aku menatap wajah Evan namun, tatapan itu lagi yang ia berikan tatapan kosong.
Sontak saja aku berlari ke lantai atas dan membanting pintu kamar dengan sekeras mungkin.
Kututupi kedua telingaku dengan bantal, air mataku yang tadinya bisa kutahan sekarang sudah berlinang.
"Tidak!! tidak mungkin aku pelakor di kehidupan mereka!! TIDAAAAK!! " teriakku.
Aku frustasi, semua benda yang ada di meja rias ku hamburkan ke lantai semuanya tanpa tersisa.
Ku pegang kepalaku lalu menatap cermin,melihat rambutku yang sudah tidak karuan.
"Kau seorang pelakor Desya? Tidakk!!! " ucapku berbicara kepada diri sendiri.
Semua tidak benar, dan begitupun aku sedari awal tidak mengetahui kebenarannya. Dan hubungan mereka ku anggap hanya seorang wanita yang menjadi pengganggu di kehidupan ku.
"Sya, kalau bukan karna perjodohan yang kedua orang tuaku inginkan, aku tidak mungkin menikah denganmu pastinya aku akan menikah dengan kekasihku Isabel" ucap Evan yang tiba-tiba sudah berada di pintu kamar tengah berdiri memandangku.
"Aku bukan pelakor!! jikalau aku tau kau memiliki kekasih aku juga nggak mungkin akan menikah denganmu Evan Adikara" ucapku dengan suara lantang.
Sontak saja membuat Evan terheran-heran, saat aku menyebut nama panjangnya.
"Kenapa kau kaget? mau tanya kepadaku bagaimana aku bisa tau nama aslimu Evan Adikara? , bukan hanya itu aku juga tau kau mempunyai seorang saudara lelaki bernama Edward Adikara" ucapku dengan menyunggingkan senyumanku.
Dari ekspresi nya Evan terlihat gugup seperti ada yang ia sembunyikan, atau dia memang sedang takut kalau nama itu aku sebut.
Tak tak tak....
Suara langkah kakinya membuatku gemetar, aku berdiri di sudut ruangan kamarku dengan memegang kedua bahuku.
Tangan Evan menyentuh daguku, aku tak berani melihat wajahnya yang mengerikan.
"Apa? apa yang kau tau tentang Edward? " tanya Evan.
Tangannya langsung mencekik leherku dengan sangat kasar, sontak saja membuatku tak bisa bernafas.
"Ughhhhhh aaaa" ucapku.
Tanganku memegang kedua tangan Evan dan memukulnya, namun cekikan itu sangat kuat membuat mataku melihat keatas langit-langit kamar.
Seketika itu dia lalu melepaskan tangannya, tubuhku ambruk seketika dilantai.
"Uhuk uhuk uhuk".
Aku terbatuk-batuk sambil memegang leherku, nafasku sudah tak karuan satu dua tiga hampir saja malam ini menjadi malam terakhir bagiku.
" Turunlah makan" ucapnya.
Setelah Evan pergi aku terus menerus memegang leherku yang sakit sekali, dan berusaha mengatur nafasku.
”Tidak apa-apa yang penting bukan kedua orang tuaku yang di siksa olehnya” Gumamku setelah mengatur nafas menjadi lebih baik.
Aku sungguh tidak mengerti dengan sikap Evan yang kadang baik kepadaku, kadang menjadi jahat dan tidak peduli kadang peduli entahlah.
Tap tap tap...
Suara langkah kakiku saat turun dari tangga yang sangat tinggi itu, aku terus berjalan hingga tibalah aku ke lantai bawah lalu menuju ke ruang makan.
Saat diruang makan ternyata wanita sialan itu sudah duluan, dia duduk disamping Evan sementara aku memilih untuk duduk berjauhan dengan mereka.
Aku tidak peduli dengan mereka, kuambil nasi serta lauk pauk itu lalu aku melahap nya.
"Oh aku fikir kamu nggak akan ikut makan bareng kami" ucap wanita itu dengan menyunggingkan senyumannya.
"Bukan urusanmu, dan asal kamu tau aku nyonya dirumah ini " jawabku dengan tenang walau tenggorokan ku masih sakit.
"APA!!! dasar perempuan pelakor, tanpa Evan hidupmu nggak akan sebagus ini perempuan miskin" umpat nya kepadaku.
Evan hanya diam, menikmati makanannya dengan sangat tenang dan bahkan aku pun begitu tidak menghiraukan wanita itu mengoceh bahkan mengumpat ku.
“Sialan“Batinku kesal namun, semuanya aku tahan karena tidak mau terlihat lemah di hadapan wanita sialan ini.
Potongan daging itu ku ambil namun saat memasukkan nya kedalam mulut saat mengunyah tiba-tiba saja aku merasa mual.
"Hueeekk".
aku memuntahkan daging itu kembali, rasanya agak aneh.
" Menjijikkan, aku nggak mau makan nafsu makanku hilang" ucap wanita itu langsung pergi begitu saja.
Dengan secepat mungkin aku minum agar tidak terasa mual, Evan melihatku dengan tatapan yang aneh entah itu apa.
Aku berlari meninggalkan tempat makan itu, dengan menuju kamar mandi.
Kumuntahkan semuanya, namun yang keluar hanya air saja. Perutku tergoncang rasa mual ini semakin menjadi-jadi serta kepalaku yang terasa pusing seperti orang sakit.
"Nyonya mari saya bantu keatas" ucap seorang pelayan wanita kepadaku.
Dia memegang tanganku dengan hati-hati dia mengikuti langkah kakiku menaiki anak tangga yang sangat tinggi menuju kamarku.
setelah beberapa menit kami pun sampai, dia langsung membantuku baring.
"Terima kasih, kamu boleh pergi" ucapku kepadanya.
Dia mengangguk, lalu pergi meninggalkan kamarku.
Rasa kantuk ku serta mual, dan juga pusing di kepalaku menjadi satu. Aku memilih untuk beristirahat agar semuanya menjadi lebih baik saat aku bangun dari tidur.