Halimah, Seorang ibu muda yang tengah mengandung yang harus menerima kenyataan di gugat cerai oleh suaminya karena suaminya lebih memilih perempuan lain yang lebih cantik, lebih mudah dan lebih memperhatikan penampilan dari pada dirinya. dia pun menyetujui permintaan suaminya tersebut dengan syarat dia meminta waktu 40 hari kepada suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuri_Pen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kecemburuan Ridwan kepada Rasyid
"Selamat makan, semuanya!" Halimah menghidangkan beberapa masakan. Opor ayam, tempe, tahu, dan kerupuk udang. Aromanya menguar kuat, sepertinya lezat sekali.
Kami berkumpul bersama di meja makan. Jingga sudah dimandikan Rasyid, ia benar-benar seperti tidak mengenalku jika omnya ada di sampingnya.
"Ini buat, Mas." Dia menyodorkan sepiring nasi dengan porsi yang sudah disesuaikan dengan isi perutku.
"Ini buat, Jingga," lanjutnya menyodorkan piring apel ke hadapan Jingga. Anakku tersenyum menerimanya.
“Terima kasih, Bunda. Bunda hebat!” ujarnya tak terduga. Semakin hari, kosa katanya dalam berbicara semakin banyak dan beragam.
“Sama-sama, Sayang!”
"Ini buat, Abang." Halimah tersenyum kepada Rasyid. Aku memandangi mereka yang saling menatap. Ngapain si Rasyid pake dibawain segala? Dia kan bisa ngambil sendiri.
"Terima kasih, Dee," ujarnya sok cool. 'Lebay' batinku.
Jingga mulai menyuap makanannya, lahap sekali. Ia sudah terbiasa makan sendiri meski masih berantakkan. Limah selalu mengajarkannya mandiri setelah aku mengajaknya berpisah. Alasannya besok Jingga sekolah harus bisa sendiri.
Hari ini Limahku memang terlihat lebih ceria. Tapi sayangnya, bukan aku penyebabnya. Rasyid masih menjadi alasan kuat ia kembali tersenyum. Setelah banyak berbicara dengannya, pikirannya kembali terbuka dan kembali seperti biasa. Ah, andai saja aku adalah alasannya.
"Enak sekali makanannya." Rasyid kembali mencentong nasi juga lauk pauknya. Ia menyuap makanannya dengan lahap.
“Masakanmu tidak berubah, Dee. Masih sama kayak dulu,” pujinya.
"Iya, dong. Istri siapa dulu yang masaknya?"Sebelum Limah berbicara, aku langsung menimpali ucapannya yang lebai itu. Aku tak mau kalah, segera memasukkan makanan ke piringku yang sudah tandas.
Dia mengambil lagi, akupun sama, entah berapa kali aku kembali mencentong nasi dan lauk pauknya. Pokoknya aku gak mau kalah.
"Mas, Bang, istighfar! Jangan berlebih-lebihan! Ingat kata, Rosulullah : Makanlah sebelum lapar, berhentilah sebelum kenyang!" Kami terdiam, ucapan Limah memang benar.
Aku sebenarnya sudah kenyang sedari tadi, hanya saja Rasyid memulai duluan mengajakku bertanding.
Perutku benar-benar begah sekarang, lemak di perut sepertinya maju beberapa senti. Ini gara-gara pertandingan dengan Rasyid yang sama-sama gak mau kalah. Aku menatapnya sengit, dia tersenyum seolah menantang.
"Om, bobok sama Jingga, ya!" pinta putriku kepada orang rese ini.
"Eh, jangan, Sayang. Om boboknya sama Ayah Jingga. Bunda bobok sama Jingga." Limah segera menimpali. Mengehentikan aktifitas nya membereskan meja.
Apa? Aku harus tidur lagi sama dia?
"Yah, aku kan mau main sama, Om. Aku mau main semalaman sama Om!" Jingga merenggut.
"Mainnya besok lagi, Sayang! Sekarang udah malam, waktunya istirahat." Rasyid berujar lembut.
"Tapi besok Om main sama Jingga, ya! Atau Om tinggalnya di sini aja? Supaya bisa main telus sama Jingga." Permintaan Jingga semakin malam semakin terasa aneh. Ini tidak bisa dibiarkan!
"Siap, Tuan putri!" Rasyid mengambil sikap hormat. Jingga melompat kegirangan.
Nyatanya, tanpa ada akupun, dia masih bahagia. Hatiku perih melihat pemandangan hari ini.
“Tapi Om gak bisa tinggal di sini lama-lama, Sayang,” ujarnya lembut.
“Kok gitu? Om di sini aja sama Jingga!” Anakku sudah pandai merayu orang dewasa.
“Nanti rumah Om ditempati sama siapa dong kalau Om di sini? Tanyanya.
“Oh iya, ya, Jingga lupa.” Ia tersenyum manis. Ya Allah, hanya dengan ucapan sederhana saja, anakku sudah bahagia di pelukan selain ayahnya.
***
"Tuh bantalnya!" Aku memberikan dia dua bantal.
"Gulingnya mana?" tanyanya melihat dua guling yang ada di genggamanku.
"Enak aja, aku yang pakai guling. Kau pakai bantal aja. Dah syukur aku kasih dua," jawabku ketus. Aku tidak mau guling yang dipakai Limah, dipakai olehnya. Dan gulingku aku tak suka dipakai orang lain selain anak dan istriku.
"Baiklah," jawabnya pasrah, dia beranjak naik ke ranjang.
"Eits, ngapain?" tolakku bersidakep.
"Tidurlah, masa mau ke Pasar jam segini."
"Sana di sofa!"
"Ogah." Ia benar-benar menyengajakan diri berbaring di ranjangku.
"Ini kasurku dengan Limah," sengitku.
"Benarkah? Sepertinya itu tidak akan lama lagi. Bukan begitu, Bro?" Dia mengedipkan matanya. Jijik.
"Kata siapa?" tanyaku mendelik.
"Gak kata siapa-siapa. Aku hanya menangkap gurat wajahnya yang tak biasa," tebaknya so’ tahu.
"Kamu hanya sok tahu, Syid!" bantahku.
"Aku tidak sok tahu. Sudah lama aku mengenalnya. Bahkan jauh sebelum kau mengenalnya." Aku terdiam dengan penuturannya. Rasyid benar, ia lebih tahu semua tentang Halimah daripada aku.
Bahkan waktu lima tahun bersamanya, masih saja ada perilakunya yang tidak aku pahami.
"Kulihat gelagatmu ingin menyakitinya. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi, Wan!" sambungnya lagi. Dia tidur membelakangi di kasurku.
"Sudah kubilang kau terlalu sok tahu," cetusku. Padahal hatiku ketar-ketir dengan pengetahuannya.
"Sudahlah, Bro. Kalau gak sanggup ngurus, aku siap menggantikan peranmu menjaga mereka. Akan kucintai mereka sepenuh hati, meski Jingga dan calon anakmu bukan darah dagingku," tuturnya begitu percaya diri.
"Jangan kurang ajar, ya!" Aku tersulut emosi dengan ucapannya.
"Waktumu tinggal 20 hari, bukan?" Dia tersenyum. Darimana dia tahu?
"Kau ini seperti malaikat, Bro. Tapi bedanya, malaikat itu memang sudah tahu tugasnya apa, sudah dikasih tahu apa yang akan terjadi. Sementara kau hanya meraba dengan logika," ucapku tak mau kalah.
"Aku bukan malaikat, tapi aku sudah tahu urusannya," ucapannya kali ini membuatku jengah, namun kekhawatiran tetap ada.
"Apa maumu?"
"Aku? Mauku tak banyak. Melihat sepupu dan keponakanku tersenyum bahagia, kurasa itu sudah cukup," katanya yakin. Terdengar begitu berniat mulia, kalau saja orang yang diucapkannya adalah seorang janda dan seorang anak yatim. Sayangnya mereka punya aku yang masih bertahan menjaga keutuhan rumah tangga.
"Dan tugasmu selesai!" potongku cepat.
"Belum. Ada tugas yang harus kuselesaikan." Ia menarik napas berat, lalu mengembuskannya kasar. Tatapannya lurus ke atas langit-langit.
"Apa?"
"Menjaga mereka," tukasnya. Ia membalikkan tubuhnya menghadapku, lalu tersenyum sinis.
"Itu tugasku," jawabku sengit.
"Ya, itu tugasmu. Tapi itu enggak lama lagi bukan? Setelah semuanya berakhir, aku akan mengganti posisimu. Menikahlah dengan ia yang membuat hatimu bergetar hebat ketika di dekatnya! Bukankah begitu Tuan Ridwan?" ejeknya sambil tertawa. Aku terdiam, sungguh aku takut memang benar hal itu terjadi.
Apakah Limah sudah menceritakan banyak hal kepadanya? Kenapa ia banyak mengetahui hal-hal yang berusaha kami jaga berdua saja?
"Kata siapa? Aku suami dan ayah mereka. Sampai kapanpun tidak akan berubah," jelasku.
"Baiklah, aku capek berdebat dengan mu. Kita lihat saja nanti, ya!" ujarnya tenang.
"Lihat apa?"
"Siapa yang mengambil peran, dan siapa yang kehilangan peran," tekannya. Aku terhenyak beberapa saat.
"Oh, kau mau bersaing denganku?"
"Kupikir, aku tak perlu bersaing," ucapnya pongah sembari memainkan alisnya yang tebal.
"Sombong!" tukasku.
"Bukan sombong, aku hanya muak dengan kelakuanmu. Andai kamu menjadi aku sekali saja, niscaya kamu akan membenci dirimu sendir Tuan Ridwan!"
"Kau tak pernah tahu apa yang aku lakukan. Lantas mengapa berkata demikian?"
"Aku tahu. Bahkan lebih tahu darimu.
"Darimana?"
"Dari sorot matamu." Dia tertawa. Memang menyeramkan teman tidurku kali ini. Apa dia bisa membaca pikiran seseorang? Tapi sepertinya pikiranku tidak seburuk itu.
"Buktikan!"
"Siapa takut."
"Kita lihat kedepannya! Siapa yang akan Limah pilih," tantangku tak kalah sengit.
Meski sebenarnya aku tidak yakin ia akan memilihku.
"Oke. Tidurlah terlebih dahulu. Aku tak mau tenagamu habis sebelum bertempur." Ingin sekali aku menyerangnya. Namun kekerasan bukanlah jalan terhormat bagi orang terpelajar.
Tak lama, kudengar dengkurannya halus, baguslah cepat juga dia tidur.
Aku memikirkan percakapan dengannya, apa yang harus kulakukan kedepan? Nyatanya sainganku bukan orang sembarangan kali ini.
Apakah Limah dan Jingga akan memilihku? Atau mereka memilih Rasyid? Sementara tanpa kehadiranku pun, mereka terlihat bahagia.
Kupandangi wajah nya sekilas. Ketampanan tersirat dari wajahnya, meski ia sedang tertidur sekalipun. Aku berharap agar Limah tidak terpesona dengan ketampanannya.
Bagaimanapun aku merasa kalah saing secara fisik, meski Limah pernah begitu menggilaiku.
'Limah, semoga kau tidak tertarik dengan pesonanya.' Aku menanamkan kuat pikiran itu, agar Limah pun begitu. “Allah sesuai dengan prasangka hamba-Nya.” Maka aku harus berprasangka yang baik-baik.
Jam menunjukkan pukul 22.00 WIB, namun aku belum juga bisa memejamkan mata. Apa yang harus kulakukan sekarang? Kerongkonganku terasa kering. Dapur adalah tujuanku sekarang.
"Dik, sedang apa?" Kulihat Limah keluar dari kamar mandi, wajahnya masih menyisakan sisa air wudhu.
"Eh iya, Mas." Dia tersenyum, manis sekali.
Sayang sekali aku baru menyadarinya kali ini.
"Ngapain?" tanyaku mengulang pertanyaan.
"Ngambil wudhu. Mas sendiri ngapain?" tanyanya membalikkan pertanyaan.
"Iya?"
"Mas ngapain?" Aku gelagapan. Kenapa jadi deg-degan gini ya? Duh.
"Ngambil minum, Mas haus." Aku segera mengambil segelas air, untuk menutupi rasa grogi.
"Mas, gak ngambil wudhu sekalian?" Ia masih berdiri di depan pintu kamar mandi menunggu jawabanku.
"Oh, iya. Mas nanti ambil wudhu setelah minum," ucapku canggung. Limah menunduk menyembunyikan senyumnya.
“Oh, aku duluan ya, Mas!” pamitnya halus. Aku mengangguk meski sebenarnya ingin menahan kepergiannya. Ia berlalu.
Kupastikan jantungku kali ini aman.
Bergegas kuambil wudhu. Katanya Jika kita tertidur dalam kondisi suci, malaikat akan menjaga dan mendoakan sampai kita terbangun kembali.
Setelah berwudhu, kulangkahkan kaki menuju kamar Jingga. Pelan-pelan membuka pintu takut mengganggu mereka yang terlelap.
"Mas? Ngapain kesini?" Aku terkejut dengan pertanyaan Limah yang tiba-tiba. Kupikir mereka sudah terlelap.
"Oh, eum… Baca Al-mulk baren, yuk!" ucapku grogi karena tertangkap basah. Untungnya aku menenteng Al-Quran sebelum ke kamarnya.
"Oh, iya boleh, Mas!" Limah mengangguk.
Dengan ragu aku melangkahkan kaki mendekatinya. Rasanya setiap langkah napasku semakin berat, jantungku berdetak lebih cepat. Ah, kenapa seperti pengantin baru gini?
Aku jadi ingat awal pengantin baru. Limah menunduk malu-malu, aku yang grogi meski tidak ada rasa melangkah canggung mendekatinya. Sepanjang malam akhirnya kami habiskan dengan mengobrol untuk perkenalan. Jika dipikir manis juga untuk dikenang.
"Tabarakaladzii biyadihil mulku wahuwa 'alaa kulli syaiin qodiir..." Lantunan ayat bergema, dadaku bergetar hebat. Ini adalah kebiasaan kami dulu. Membaca Al-mulk sebelum tidur.
Dalam riwayat Abdullah bin Mas'ud, Rasulullah SAW bersabda, "Siapa yang membaca Tabarokalladzi bi yadihil mulk (Surat Al Mulk) setiap malam, maka Allah SWT akan menyelamatkannya dari siksa kubur."
Kutatap wajahnya, 'sungguh Mas rindu, Dik.'
.