Anzela Rasvatham bersama sang kekasih dan rekan di tempatkan di pulau Albrataz sebagai penjaga tahanan dengan mayoritas masyarakat kriminal dan penyuka segender.
Simak cerita selengkapnya, bagaimana Anz bertahan hidup dan membuktikan dirinya normal
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ruang Berpikir, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23_Jalanan Buntu
Sayang maaf! Aku tidak berniat mengkhianatimu, batin Anz menjerit.
"Pak, apakah perjalanan kita masih jauh?" Merasakan perjalan yang mereka tempuh sudah lumayan lama namun tujuan yang di tuju belum terlihat sama sekali "rekan-rekanku pasti sekarang sedang khawatir padaku."
Hembusan napas ringan keluar dari mulut Ahmed "saya terlupa nona. Tolong pegang tali ini sebentar," menyerahkan tali kekang kuda pada Anz.
"Saya tidak bisa."
"Pegang saja dengan tenang, kendurkan talinya seperti ini."
Anz mengangguk mengerti dan mengambil alih tali kekang tersebut. Sedangkan Ahmed mengambil Handy talky yang ia selipkan di pinggang celananya "tes, tes, tes satu, kosong satu pendatang baru," ucap Ahmed dengan mendekatkan handy talky nya itu ke mulutnya.
Di lain sisi, Abi dan Albert sudah setengah jam lebih memutari lapas mencari keberadaan Anz yang kemudian langkah mereka pun keluar lapas "kita harus cari kemana Anz. Anz," terjeda "takut kegelapan," ucap khawatir Albert dengan menatap Abi dengan tatapan gelisah.
Abi melihat Albert intens tanpa sepatah kata yang terucap dari mulutnya.
"Kenapa kamu melihatku seperti itu?"
"Anz bukan takut gelap tapi matanya rabun dalam gelap."
Langkah mereka yang terus berjalan dalam seketika berhenti "bagaimana kamu tahu? Anz selalu bersamaku, dia tidak pernah mengeluh apapun tentang dirinya, kesehatannya atau apapun itu."
Abi diam malas menanggapi.
Mereka terus berjalan menapaki jalanan yang mereka tapaki di atas jalanan aspal hitam pekat tanpa ada sinar yang menyinari sama sekali.
Abi dan Albert memilih rute berlawanan dengan jalanan yang pernah mereka lewati bersama Anz sehari sebelumnya dan juga bukan rute perjalanan mereka dari pelabuhan ke lapas.
Tidak ada satu lampu yang menerangi perjalanan mereka dan tidak ada setitik cahaya sinar bulan mendampingi mereka.
Dedaunan kering pada berjatuhan terasa tebal di atas jalanan aspal yang mereka tapaki itu.
Sorot senter yang mereka pegangi, semaikin menggelap. Hembusan napas panjang secara bersamaan berhembus di antara mereka, Abi dan Albert, pandangan mata mereka bertemu, sinaran cahaya senter mereka perlahan meredup dan kemudian mati, menghilang.
"Yahhh," ucap kesal mereka berdua.
"Sepertinya di depan jalanan buntu."
"Iya," jawab Abi seadanya "tidak mungkin Anz ada di sini.
Lirihan angin terdengar syahdu dari hayunan bambu yang saling bergoyang bersama diiringi angin yang berhembus lembut. Dan juga suara dedaunan kering yang tanpa sengaja mereka tapaki.
Abi memegang lengan Albert dan tangan kirinya ia letakkan di bibirnya itu.
Dalam kegelapan memaksa penerangan mata mereka untuk terus melihat, lantas Albert mengerti dengan isyarat yang Abi berikan.
Suara merdu angin kini beriringan dengan suara binatang yang saling bersahutan. Kiri dan kanan mereka terdapat banyak pepohonan besar dan juga ranting dari pepohonan besar itu bagaikan memayungi jalanan.
Albert yang belum sempat mengganti seragam dinasnya itu, masih ada Handy Talkg yang terselip di antara pinggang celananya "kosong satu, tes, kosong satu."
Albert mengangkat Handi Talkynya itu namun terlebih dahulu ia mengecilkan volume dari benda tersebut "siap, kosong satu."
"Nona Anzela Rasvatham, ikut bersama saya, asistem pimpinan lapas Batsya Oren Ahmed, menjalani tugas penyelidikan. Laporan selesai."
"Laporan di terima."
Dua pasang mata itu saling memandang, hembusan napas panjang saling berhembus bersamaan. "Kenapa tidak pas mereka pulang saja pemberitahuannya," ucap malas Albert memutar bola matanya malas.
Abi menepuk pelan pundak Albert, meredakan emosi mulai terlihat meningkat. Langkah Abi kembali melangkah santai hendak menuju ke lapas kembali, beristirahat di barak lebih baik pikirnya dan juga langkah Abi itu tentu diikuti oleh Albert.
perlahan Abi memelankan langkahnya sedangan Albert juga mengikutinya dari belakang. Suara-suara halus seperti decitan terdengar dari atas. Abi mengigit gigi gerahamnya sendiri kuat.
"Kenapa berhenti?"
Abi mengangkat tangan kanannya sejajar bahunya sendiri yang kemudian mengarahkan jari telunjuknya mendekati bibirnya itu.
Albert diam tidak menjawab dan juga tidak ada pergerakan apapun dari tubuhnya itu. Beberapa saat kemudian, Albert mendengar sesuatu dari atas kepalanya, lantas Albert mendongakkan kepalanya ke atas bersamaaan dengan Abi. Kelopak mata mereka berdua terbuka lebar sekan-akan bola mata mereka akan meloncat keluar.
Tali berbentuk nyaring berukuran besar jatuh di atas tubuh Abi dan Albert yang kemudian mereka berdua masuk dalam jaring tersebut.
"Hey," meronta-ronta dalam nyaring itu yang kian sudah membungkus tubuh Abi dan Albert dan perlahan mengangkat tubuh Abi dan Albert ke atas "HEY," teriak Albert lagi "lepaskan kami."
Abi diam, menyeimbangkan tubuhnya yang terombang ambing akibat pergerakan bebas yang diakukan Albert. Matanya terus menelisik kesana kemari. "Al tenanglah," ucap Abi akhirnya kala merasakan pusing terhayun-hayun dan berputar-putar dalam nyaring yang bergelantungan dan terikat di salah satu ranting pohon besar.
Albert tenang sementara. Tubuh mereka berdua bagaikan menyatu, saling menempel satu sama lain. "Jika aku tidak bergerak, tubuh kita akan bergempetan begini."
Abi masih diam, tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulutnya.
"Abi, kamu tidak suka akukan?"
Abi menatap Albert intens dalam keadaan badan Albert mulai bergerak kembali, meronta-ronta ingin melepaskan diri.
"Al, tolong tenanglah."
"Gak bisa aku tenang dalam keadaaan begini."
Helaan napas panjang Abi lakukan yang entah sudah keberapa kali di keadaan mereka yang seperti itu "lihatlah ke bawah," menunjuk dengan ekor mata.
Albert mengikuti arahan dari Abi. Perlahan matanya menelusuri titik tujuan yang Abi maksudkan. Albert terdiam, matanya menunjukan sorot kecemasan, bibirnya mulai memucat dan badannya pun ikut bergetar.
Senyum simpul Abi lakukan sekalian dengan pandangan matanya yang teralihkan ke atas. "Takut!" menatap Albert kembali.
Albert mengangguk mengiyakan.
"Tenang ya."
Telinga Abi menangkap suara tawa yang begitu keras dari kejauhan. Suara-suara itu bukan hanya berasal dari satu orang melainkan "satu," lirih Abi "bukan, dua," menjeda kalimat, fokus mendengar kembali "bahkan lebih," lirihnya akhirnya.
"Hah," bingung Albert, memegang nyaring tali lebih kuat "kamu ngomong sama siapa? Dan apa yang sedang kamu hitung!"
"Tenang dan tunggu kurang dari lima menit dari sekarang mereka sudah sampai."
"Apaan sih Bi. Jangan ngaco kamu! Kita hampir mati di sini tahu. Siapa yang akan sampai di hutan belantara seperti ini."
"Tenang Al."
Suara tawa dan tapakan langkah cepat bagaikan tapakan larian semakin dekat suaranya. Abi menghembuskan napasnya lega, yang datang bukanlah binatang buas melainkan manusia.
"Bi, ada suara orang," ucap Albert pada Abi girang.
"Tahu," jawab Abi singkat padat dan jelas.
Decakan kesal Albert lakukan. "TOLONG!" Teriak Albert.
"Diamlah Al. Sudah berulangkali kukatakan tenang. Tenang," menatap tajam Albert.
Dalam seketika Albert terdiam tidak ada kata ataupun setitik suara lagi yang terdengar dari mulutnya itu namun kala pandangan matanya melihat ke bawah, saat itulah badannya mulai bergetar kembali.