realita kehidupan seorang gadis yang dari kecil cacat akan kasih sayang yang sebenarnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uppa24, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
dia bukan orang yang mudah di hadapi!!
Mery terdiam, menyimak penjelasan temannya itu. "Jika dia memang berbahaya, aku tidak akan membiarkan dia menganggu lagi. Tidak satu pun orang berhak memperlakukanmu seperti itu," Mery akhirnya berkata dengan tegas. "Kau punya hak untuk hidup bebas dari masa lalu yang kelam itu. Kalau perlu, kita bisa mencari cara untuk mengatasinya bersama-sama."
Aluna hanya mengangguk lemah, tak mampu mengungkapkan perasaannya sepenuhnya. Perasaan takut dan cemas yang telah terpendam bertahun-tahun masih sulit untuk diterjemahkan dalam kata-kata. Namun, ada satu hal yang Aluna sadari: meskipun Jeksen hadir kembali dalam hidupnya, ia tidak akan menghadapi semua ini sendirian. Setidaknya, di sisinya sekarang ada Mery walaupun mereka baru kenal kurang dari 2 bulan, yang siap untuk melindunginya.
Namun, jauh di dalam hatinya, ada suara kecil yang berbisik bahwa Jeksen tidak akan berhenti mencari jawaban. Ia tahu bahwa pria itu akan selalu punya cara untuk kembali dalam hidupnya—terlepas dari apa yang terjadi di masa lalu.
...~||~...
Beberapa menit berlalu....
Aluna kembali menatap Mery setelah lamunanya selama beberapa menit dengan tatapan yang penuh harap, matanya seolah meminta pengertian, namun ada rasa takut yang begitu dalam terpancar di baliknya. "Mery..." Aluna memulai dengan suara yang agak terbata, mencoba mencari cara untuk berbicara tanpa membuat semuanya terasa lebih berat dari yang sudah terjadi.
“Mungkin lebih baik kalau… kau tidak terlalu ikut campur, ya?" lanjutnya pelan, menghindari tatapan Mery yang semakin tajam. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan kekhawatiran yang semakin merayap dalam dirinya. “Aku tidak ingin ada orang lain yang terlibat dalam urusanku dengan Jeksen. Ini… aku akan pikirkan sendiri.”
Namun, kata-kata itu terdengar lemah, dan hati kecil Aluna terasa tercekat. Ia tahu, dengan atau tanpa bantuan orang lain, rasa takut dan kekhawatirannya tetap akan ada. Jeksen masih punya cara untuk membuatnya merasa terkekang, tak peduli berapa lama waktu berlalu.
Mery, meski sudah mendengar penolakan halus dari Aluna, tak bisa menutupi rasa cemasnya. Ia memandang temannya dengan hati yang penuh pengertian. “Aluna... aku hanya ingin membantumu. Kamu tidak harus menghadapi semua ini sendirian.” Mery berkata dengan nada yang lembut, berusaha menjangkau sisi hati Aluna yang tampaknya tertutup rapat. “Kamu tidak sendiri lagi. Jika dia mencoba mengusikmu lagi, aku tidak akan tinggal diam. Aku tidak akan membiarkan dia menyakiti kamu lagi.”
Aluna menarik napas panjang dan menggigit bibirnya. Itu benar, apa yang Mery katakan. Tapi… tapi kenapa terasa begitu sulit untuk menerima bantuan? Kenapa hati kecilnya meronta setiap kali ada yang mencoba menyentuh masalah ini lebih dalam?
“Jeksen… dia… dia bukan orang yang bisa dihadapi dengan cara biasa,” jawab Aluna akhirnya dengan suara rendah. “Aku hanya… aku hanya tidak mau melihat orang lain terjebak dalam kekacauan yang dia ciptakan, Mery. Aku takut, takut sekali kalau kalian juga menjadi korban...”
Mery menundukkan kepala, menahan diri untuk tidak bersuara terlalu keras. Perasaan takut itu jelas, terasa seperti awan gelap yang menutupi langit jiwa Aluna. Namun, ia juga tahu bahwa dengan terus-menerus bersembunyi, Aluna tidak akan pernah bisa melangkah maju.
“Kalau kamu merasa takut, aku akan ada di sini untukmu,” jawab Mery dengan senyum lembut, tetapi penuh komitmen. “Dan jangan lupa, Aluna… bahkan di dunia yang penuh rasa takut seperti ini, ada orang yang peduli padamu. Kamu bisa bergantung pada kami.”
Aluna menundukkan kepalanya dan menarik napas dalam-dalam. Suasana hening, dan dalam kesunyian itu, Mery bisa merasakan pergolakan batin yang tengah dialami Aluna. Aluna begitu rapuh, begitu penuh dengan rasa takut yang menyelubungi dirinya.
“Terima kasih, Mery,” akhirnya Aluna mengucapkan kata-kata itu pelan. Suara itu seakan bergetar sedikit. “Aku… aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya berharap semuanya akan segera berakhir. Agar aku bisa pergi, melupakan semuanya.”
Mery tersenyum, meski itu sedikit pahit. Ia tahu betul, bahwa berusaha melupakan bukanlah hal yang mudah bagi siapa pun. Tapi setidaknya, Aluna sudah mulai membuka sedikit pintu hatinya. Ia hanya berharap gadis itu tak lagi menanggung beban seorang diri.
“Apa pun yang kamu putuskan, aku akan mendukungmu. Aku tahu kamu kuat, Aluna.” Mery menatap Aluna dengan keyakinan yang tulus.
Di dalam hati Aluna, meskipun takut, ada sedikit cahaya—entah dari mana—yang memberi secercah harapan bahwa ia tidak harus sendirian dalam perjalanan berat ini.Suasana di sekitar mereka kembali terasa canggung setelah perbincangan panjang antara Aluna dan Mery.
Ketika Elvanzo muncul secara tiba-tiba di hadapan mereka, ia mendekat dengan langkah cepat, membawa kabar tentang ledakan pasien yang tiba-tiba di klinik. Pemandangan seharusnya penuh dengan kebersamaan, namun ketika Aluna menatap Elvanzo, ia malah menjaga jarak dengan jelas, sesuatu yang tidak biasa dilakukan belakangan ini.
Elvanzo bisa merasakan perubahan sikap itu, meskipun ia berusaha untuk tetap tampak tenang. "Aluna, kita harus segera ke klinik, pasiennya datang bertubi-tubi," ujarnya dengan nada yang biasa, tetapi ada sedikit penekanan pada kata 'kita'. Ia berharap setidaknya hal itu bisa membangun kembali sedikit kedekatan yang tampaknya telah menghilang.
Namun, meskipun Elvanzo mendekat, Aluna bergerak mundur dengan cepat, menundukkan kepalanya, mencoba menyembunyikan perasaan yang datang begitu mendalam. Dia berjalan menjauh, memberikan ruang seolah ada dinding tak terlihat yang memisahkan mereka.
Elvanzo terdiam, bingung. Ia hanya semalam melihat Aluna dengan kehangatan yang mulai terbentuk kembali. Tetapi sekarang, ada jarak yang begitu terasa, lebih jauh daripada yang bisa dijelaskan dengan kata-kata.
"Mari kita pergi, Aluna. Mereka pasti membutuhkan kita sekarang," ucap Elvanzo, berusaha tetap menunjukkan perhatian, meskipun dia merasa ada kekosongan antara mereka yang semakin membesar.
Aluna mengangguk pelan, tidak mengatakan apapun, hanya bergerak tanpa sepatah kata pun. Sesuatu yang hampir mengganggu keseimbangan Elvanzo. Mereka berdua berjalan keluar dari kampus dalam keheningan yang tebal, langkah kaki mereka terdengar bergantian namun sama sekali tidak bersambung seperti sebelumnya. Ada kesunyian yang menambah berat pada langkah-langkah mereka.
Dalam perjalanan menuju klinik, Aluna kembali terbungkam. Wajahnya menatap ke luar jendela mobil, seolah dunia di luar sana bisa memberi jawaban untuk rasa kosong yang melanda dirinya. Elvanzo, yang duduk di sampingnya, merasa semakin tertekan. Ia tahu, ini bukan soal pekerjaan atau pasien yang harus ditangani di klinik—ini tentang sesuatu yang jauh lebih pribadi dan mendalam.
"Aluna..." Elvanzo memulai kalimatnya dengan hati-hati, "apa yang terjadi? Mengapa kita tiba-tiba seperti ini lagi? Bukankah kemarin... kita hampir melewati semuanya?"
Aluna hanya diam, bibirnya terkatup rapat seolah ingin menjaga dirinya sendiri dari setiap pertanyaan yang mungkin ada. Elvanzo tidak bisa mendesak lebih jauh, namun hatinya terasa tergerogoti oleh rasa ingin tahu yang semakin membuncah. Apa yang terjadi dengan gadis yang selalu tertutup itu? Mengapa ada ketakutan yang terpendam begitu mendalam di balik sikap dinginnya?
Pintu klinik akhirnya terbuka begitu mereka sampai, tetapi rasa hampa antara mereka masih terpelihara dalam hening. Seolah semakin banyak waktu berlalu, semakin sulit untuk menjelaskan jarak yang terbentuk di antara keduanya. Dan di balik kepedulian Elvanzo, Aluna masih merasa tak ingin membuka dirinya terlalu jauh.