"Jika kamu ingin melihat pelangi, kamu harus belajar melihat hujan."
Pernikahan Mario dan Karina sudah berjalan selama delapan tahun, dikaruniai buah hati tentulah hal yang didambakan oleh Mario dan Karina.
Didalam penantian itu, Mario datang dengan membawa seorang anak perempuan bernama Aluna, yang dia adopsi, Karina yang sudah lama mendambakan buah hati menyayangi Aluna dengan setulus hatinya.
Tapi semua harus berubah, saat Karina menyadari ada sikap berbeda dari Mario ke anak angkat mereka, sampai akhirnya Karina mengetahui bahwa Aluna adalah anak haram Mario dengan wanita lain, akankah pernikahan delapan tahun itu kandas karena hubungan gelap Mario dibelakang Karina?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh
Mario membuka pintu rumahnya dengan harapan yang berdebar. Dia berharap Karina sudah pulang, siap memaafkan dan melupakan kesalahannya. Tapi, keheningan menyambutnya.
"Karina!" Mario panggil, suaranya bergetar. "Karina, aku pulang!"
Tidak ada jawaban. Mario mencari-cari seluruh ruangan, berharap menemukan bayangan istri tercinta. Tapi, dia hanya menemukan kesunyian.
Dia terduduk lemah di sofa, menatap ruang kosong yang pernah dihiasi tawa Karina. Air mata mengalir, membawa penyesalan dan kesadaran.
"Aku telah kehilangan segalanya," Mario berbisik, suara hatinya terdiam. "Aku telah kehilangan cinta sejati."
Mario mengingat malam itu, saat dia memilih Zoya daripada Karina. Dia mengingat senyum Karina yang pernah membuatnya bahagia.
"Aku bodoh," Mario menyesali. "Aku telah menghancurkan kebahagiaan kita."
Tangis Mario pecah, membanjiri ruang sunyi. Dia menangisi kesalahannya, menangisi kehilangan cinta sejati.
"Karina, maafkan aku," Mario berteriak, suaranya terdiam. "Aku cinta kamu, Karina."
Tapi, tidak ada jawaban. Hanya kesunyian yang menjawab. Aluna yang tadi masuk ke kamar kembali keluar karena tak melihat adanya Karina.
Aluna menghampiri Mario, mata kecilnya penuh kekhawatiran. "Papi, Bunda di mana?" tanyanya dengan suara kecil.
Mario terhenti menangis, mencari kata-kata yang tepat. "Bunda ... sedang pergi, Sayang," jawabnya tergagap.
Aluna memandang Mario dengan rasa tidak percaya. "Pergi kemana, Papi?"
Mario menarik napas dalam-dalam. "Bunda sedang pergi untuk ... beristirahat, Sayang. Bunda perlu waktu untuk memikirkan banyak hal."
Aluna mengangguk, tapi mata kecilnya masih penuh pertanyaan. "Kapan Bunda pulang, Papi? Bunda tak akan meninggalkan Nuna'kan?"
Aluna kembali bertanya. Sepertinya takut jika Karina meninggalkan dirinya seperti Mami Zoya.
Mario merasa terhimpit. Dia tidak tahu bagaimana menjelaskan kehilangan cinta sejati kepada anaknya. "Aku ... aku tidak tahu, Nak," jawabnya lemah.
Aluna memeluk Mario. "Papi, aku mau dekat Bunda. Tak akan lama'kan Bunda perginya?" tanya bocah itu lagi untuk meyakinkan.
Mario memeluk Aluna erat, merasa bersalah atas kehilangan cinta dan kepercayaan Karina. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk memperbaiki kesalahan dan memenangkan kembali cinta Karina.
"Karina, aku akan berusaha merebut hatimu kembali. Kau adalah milikku dan akan tetap milikku selamanya."
Mario lalu masuk ke kamar. Tubuhnya terasa letih dan tak bersemangat karena cintanya telah pergi.
**
Pagi itu, Mario terbangun dengan semangat. Dia membuka mata, merasakan sinar matahari yang hangat menembus jendela. Tanpa berpikir, dia melompat dari tempat tidur dan berjalan menuju dapur, berharap menemukan Karina sedang memasak sarapan pagi.
"Aku ingin sarapan nasi goreng seperti kemarin," Mario berpikir, perutnya berteriak lapar.
Saat memasuki dapur, Mario terhenti. Meja kosong, tidak ada sarapan. Dia mencari-cari, berharap menemukan Karina di sudut dapur. Tapi, tidak ada.
Baru saat itu, Mario teringat. Karina sudah pergi. Kesadaran itu memukulnya seperti palu godam.
Mario merasa kehilangan keseimbangan. Dia terduduk di kursi dapur, menatap kekosongan. Sarapan pagi yang biasanya dibuat Karina dengan cinta, kini tidak ada.
"Aku bodoh," Mario menyesali. "Aku tidak menyadari kehilanganmu, Karina."
Dia mengingat malam sebelumnya, saat Karina pergi tanpa pamit. Dia mengingat tangisannya sendiri, penyesalan yang tidak terucapkan.
Mario berdiri, berjalan mondar-mandir di dapur. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dia merasa kehilangan arah.
"Tapi, aku harus menemukanmu, Karina," Mario berjanji pada dirinya. "Aku harus memperbaiki kesalahan."
Saat itu, Aluna memasuki dapur. "Papi, aku lapar," katanya dengan suara kecil.
Mario terhenti, menatap Aluna. Dia harus menjadi ayah yang kuat untuk anaknya.
"Papi yang akan membuat sarapannya, Sayang," Mario berusaha tersenyum. "Papi akan membuat sarapan terbaik untukmu."
Mario mulai memasak, berusaha mengalihkan perhatian dari kehilangan Karina. Tapi, hatinya tetap terasa kosong.
**
Mario akhirnya berinisiatif membuat sarapan sendiri. Dia mencoba memasak nasi goreng seperti yang biasa Karina masak.
Sarapan yang dibuat Mario telah siap. Dia menyajikan nasi goreng dan telur dadar di meja makan, berharap Aluna menyukainya. Tapi, reaksi Aluna tidak seperti yang diharapkan.
"Papi, ini tidak enak," kata Aluna dengan polos, meninggalkan sendoknya.
Mario merasa sedikit kecewa. "Kenapa, Nak? Papi sudah berusaha membuatnya enak."
Aluna memandang Mario dengan mata jujur. "Bunda Karina lebih enak masaknya, Papi."
Mario merasa tertusuk. Dia menyadari bahwa tidak ada yang bisa menggantikan kehadiran Karina.
"Kapan Bunda pulang, Papi?" Aluna bertanya lagi, mata kecilnya penuh harapan.
Mario menarik napas dalam-dalam. "Papi ... Papi tidak tahu, Nak. Bunda sedang perlu waktu untuk memikirkan banyak hal."
Aluna mengangguk, tapi mata kecilnya masih penuh pertanyaan. "Aku rindu Bunda, Papi. Bunda tak akan pergi lama seperti Mami Zoya'kan, Pi?"
Mario memeluk Aluna erat. "Papi juga, Nak. Papi juga rindu Bunda."
Mereka berdua diam sejenak, menikmati sarapan yang kurang pas. Tapi, kehadiran Aluna membuat Mario merasa lebih kuat untuk menghadapi kehilangan Karina.
"Papi akan mencari Bunda, Nak," Mario berjanji. "Papi akan membuatnya kembali ke rumah."
Aluna tersenyum, memberikan harapan baru bagi Mario. Dia tahu, cinta sejati tidak pernah berakhir. Dia yakin Karina pasti akan kembali. Mungkin saat ini dia butuh waktu untuk menyendiri.
Mario lalu mengajak Aluna untuk kembali masuk ke kamar. Dia bersiap-siap akan berangkat kerja.
Sementara itu di tempat lain Karina telah bangun. Dia melihat ke cermin. Matanya tampak bengkak karena semalam menangis terus. Sekuat apa pun dia berusaha menerima semua yang terjadi, tetap saja hatinya sakit dan terluka saat menyadari jika dirinya telah dibodohi dan dibohongi selama lima tahun. Itu bukanlah waktu yang singkat, bukan?
Setelah berpakaian dan sarapan, Karina keluar dari hotel. Tujuannya tetap satu, ke pantai. Dia memang sangat menyukai keindahan alam di sana.
Karina berjalan di tepi pantai, menikmati angin laut yang sejuk dan debur ombak yang merdu. Dia mengambil batu kecil dan melemparkannya ke arah laut, tanpa sengaja mengenai seorang pria.
Melihat seseorang yang memegang kepalanya karena batu yang dia lempar, Karina merasa sangat bersalah. Dia lalu berjalan mendekati pria itu
"Maaf! Aku tak sengaja. Apakah kamu terluka?" tanya Karina dengan berlari menuju korban lemparan batunya.
Saat mendekati, Karina terkejut. Pria itu tidak asing. Dia adalah Nathan, teman sekolahnya dulu. Mereka berpisah setelah lulus SMA.
"Nathan ...?"
"Karina ...?"
Klo dari dulu tegas ga akan berlarut masalahmu mario..
Terima kasih mam tetap 💪💪🤗😍