Riin tak pernah menyangka kesalahan fatal di tempat kerjanya akan membawanya ke dalam masalah yang lebih besar yang merugikan perusahaan. Ia pun dihadapkan pada pilihan yang sulit antara kehilangan pekerjaannya, atau menerima tawaran pernikahan kontrak dari CEO dingin dan perfeksionis, Cho Jae Hyun.
Jae Hyun, pewaris perusahaan penerbitan ternama, tengah dikejar-kejar keluarganya untuk segera menikah. Alih-alih menerima perjodohan yang telah diatur, ia memutuskan untuk membuat kesepakatan dengan Riin. Dengan menikah secara kontrak, Jae Hyun bisa menghindari tekanan keluarganya, dan Riin dapat melunasi kesalahannya.
Namun, hidup bersama sebagai suami istri palsu tidaklah mudah. Perbedaan sifat mereka—Riin yang ceria dan ceroboh, serta Jae Hyun yang tegas dan penuh perhitungan—memicu konflik sekaligus momen-momen tak terduga. Tapi, ketika masa kontrak berakhir, apakah hubungan mereka akan tetap sekedar kesepakatan bisnis, atau ada sesuatu yang lebih dalam diantara mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Coffeeandwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
A Sign of Affection (2)
Pagi itu, Jae Hyun melangkah masuk ke dalam kantor, mengenakan jas hitam yang rapi dengan dasi biru tua yang mempertegas wibawanya. Tubuhnya memang belum sepenuhnya pulih, tetapi ia tidak pernah membiarkan kelemahan terlihat, terutama di tempat kerja.
Koridor kantor yang terang dan modern dipenuhi aktivitas pagi seperti biasa. Para pegawai yang melihat Jae Hyun segera berdiri tegap, menundukkan kepala mereka sedikit sebagai tanda hormat. Tidak terkecuali Riin, yang tengah berdiri di depan meja kerjanya dengan setumpuk dokumen di tangannya.
Namun, Jae Hyun hanya meliriknya sekilas dan berlalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Wajahnya tetap datar, seperti biasa. Riin, yang sudah paham dengan kebiasaan itu, tidak merasa tersinggung. Mereka telah sepakat untuk menjaga profesionalisme di kantor.
Saat tiba di ruangannya, Jae Hyun membuka pintu dan langsung disambut oleh sesuatu yang tidak biasa di atas mejanya. Sebuah termos makanan yang terlihat bersih dan elegan berdiri tegak di samping sebuah paper bag. Ia meletakkan tas kerjanya, lalu berjalan mendekat untuk melihat lebih jelas.
Di atas paper bag terdapat secarik kertas kecil dengan tulisan tangan yang sangat dikenalnya:
"Maaf terlambat mengembalikan jaketmu. Aku buatkan sedikit sarapan sebagai ucapan terima kasih."
Jae Hyun mengangkat alis, membaca pesan itu dua kali, lalu menyentuh jaket denim di dalam paper bag. Itu adalah jaket favoritnya, yang terakhir ia pinjamkan pada Riin saat kencan mereka beberapa waktu lalu. Tanpa sadar, bibirnya membentuk lengkungan kecil.
Ia membuka termos makanan itu perlahan, dan aroma hangat langsung menyapanya_bubur abalon. Matanya sedikit membulat. Ia mengingat bahwa ibunya sempat memberikan beberapa abalon pada Riin saat makan malam bersama. Gadis itu ternyata memutuskan untuk membagikannya kembali dalam bentuk bubur yang sederhana namun menghangatkan.
Mengambil sendok yang telah disertakan di sana, Jae Hyun mencicipi suapan pertama. Rasanya lembut, gurih, dan sangat pas di lidah. Matanya seolah berbinar, dan ia terkekeh kecil.
"Rupanya dia pintar memasak," gumamnya sambil melanjutkan makan. Setiap suapan terasa lebih lezat, dan tanpa sadar, bubur itu habis hanya dalam hitungan menit.
Namun, keasyikannya terganggu oleh suara ringan dari ambang pintu. “Ya ampun, apakah masakan calon istrimu seenak itu sampai kau makan dengan begitu lahap?”
Jae Hyun langsung menoleh dan mendapati Ah Ri berdiri di sana, menyandarkan tubuhnya dengan santai di kusen pintu. Wanita itu menatapnya dengan senyum jahil, mata berkilat penuh godaan.
“Sejak kapan kau di sana?” tanyanya, mencoba mengalihkan rasa salah tingkahnya.
Ah Ri melangkah masuk, membawa beberapa dokumen yang ia letakkan di meja kerja Jae Hyun. “Cukup lama untuk melihat ekspresi bahagiamu saat makan. Jangan khawatir, aku tidak akan memberi tahu Riin bahwa kau terlihat seperti anak kecil yang baru saja diberi permen.”
Jae Hyun berdeham, mencoba menutupi kekikukannya. “Aku hanya tidak ingin membuang makanan. Lagipula, ini bentuk penghargaan untuk usahanya,” kilahnya, meskipun ia tahu itu tak akan meyakinkan Ah Ri.
“Tentu saja,” jawab Ah Ri sambil menyeringai. “Kau harus menghargainya. Dia bangun pagi-pagi untuk membuat bubur itu dan datang ke kantor lebih awal agar tidak ada yang melihatnya meletakkannya di ruang kerjamu.”
Jae Hyun menatap Ah Ri, sedikit terkejut mendengar detail itu. Ia tidak menyangka Riin akan berusaha sejauh itu. Namun, ia segera menutupi rasa terima kasih yang mulai menghangatkan dadanya.
“Setelah ini, panggilkan Riin untukku,” katanya dengan nada datar, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Ah Ri menyipitkan mata, senyumnya semakin lebar. “Oh, kau mau berterima kasih secara langsung? Apa kau akan memberinya pelukan?” godanya.
Wajah Jae Hyun mengeras, meskipun ia tidak benar-benar marah. “Berhentilah bicara omong kosong. Aku hanya ingin memberinya pekerjaan baru.”
Ah Ri terkekeh kecil, tidak terganggu oleh sikap dingin sahabatnya itu. “Kalau aku perhatikan, kalian sudah mulai saling memberi perhatian. Bukankah itu tanda kasih sayang?” katanya sambil mengangkat alis.
“Shin Ah Ri,” ucap Jae Hyun dengan suara tegas, “lakukan saja apa yang aku perintahkan!”
“Baiklah, baiklah.” Ah Ri mengangkat tangan seperti menyerah, tetapi sebelum keluar ruangan, ia berbalik dengan senyum jahil. “Aku hanya ingin kau dan Riin menyadari sesuatu.”
Jae Hyun hanya menggelengkan kepala, berusaha tidak memikirkan ucapan Ah Ri. Namun, setelah ia sendiri di ruangan itu, pikirannya kembali pada bubur abalon yang telah ia habiskan, dan pesan sederhana yang menyertai makanan itu.
Di balik semua sikap dinginnya, ia tak bisa menyangkal bahwa perhatian kecil dari Riin telah meninggalkan jejak hangat di hatinya. Sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya, tetapi diam-diam ia nikmati.
***
Riin berjalan pelan menuju ruangan Jae Hyun. Di tangannya terdapat buku catatan kecil, siap mencatat tugas baru dari atasannya.
Saat membuka pintu kaca besar itu, ia mendapati Jae Hyun duduk di kursinya dengan ekspresi serius. Jas hitam yang tadi ia kenakan tergantung rapi, menunjukkan sikap perfeksionisnya. Di sudut ruangan, termos makanan yang ia bawa tadi pagi terlihat diletakkan di meja kecil. Riin memperhatikan benda itu sejenak, bertanya-tanya apakah bubur buatannya benar-benar dimakan.
"Silakan duduk," ucap Jae Hyun tanpa menoleh, suaranya tenang tapi penuh otoritas.
Riin duduk dengan hati sedikit berdebar. Ia tahu Jae Hyun tidak pernah berbasa-basi, tetapi entah mengapa ia berharap hari ini akan berbeda.
"Pekerjaan terakhirmu, apa sudah selesai?" tanya Jae Hyun, akhirnya menatap Riin dengan ekspresi dingin seperti biasa.
Lamunan Riin buyar. “Draft terakhir sudah saya serahkan ke editor Kim. Jika tidak ada koreksi, buku itu siap diproduksi,” jawabnya sambil menjaga nada formal.
Jae Hyun mengangguk tipis, lalu mengambil sebuah buku dari mejanya. Itu adalah kumpulan puisi dengan desain sampul klasik. “Aku akan memberimu tugas baru. Terjemahkan puisi-puisi ini. Pastikan pesan aslinya tetap tersampaikan, meskipun dalam bahasa yang berbeda. Gunakan kata-kata yang halus dan tetap terasa puitis, tapi jangan sampai terkesan aneh.”
Mendengar tantangan itu, Riin mengangguk. “Baik, saya akan mencoba sebaik mungkin. Jika ada bagian yang sulit, saya akan meminta masukan dari editor Kim.”
Jae Hyun mengangkat alis, tampak puas dengan responsnya. “Bagus. Lalu, jangan lupa tentang tenggat waktu untuk audisi penulis. Kalau kau terlambat sedikit saja, naskahmu tidak akan diterima oleh panitia.”
Riin sedikit terkejut mendengar peringatan itu. Bukan karena ia lupa, melainkan karena ia tidak menyangka Jae Hyun akan mengingatnya. “Saya sedang mengerjakannya,” jawabnya, berusaha tetap tenang meski hatinya sedikit hangat.
Namun, rasa hangat itu segera tergantikan oleh kecewa kecil ketika Jae Hyun kembali memasang ekspresi datarnya. “Apa ada hal lain lagi?” tanya Riin dengan nada profesional, seolah percakapan mereka hanyalah urusan pekerjaan.
Jae Hyun menggeleng pelan. “Tidak ada. Kau bisa kembali bekerja.”
Riin bangkit, membungkuk sedikit sebagai tanda hormat, lalu berjalan keluar dengan perasaan yang sulit ia jelaskan. Bagian kecil dari dirinya merasa kecewa_ia berharap pria itu setidaknya berterima kasih atas bubur yang ia buat dengan susah payah pagi tadi. Namun, seperti biasa, Jae Hyun adalah sosok yang sulit ditebak.
***
Di mejanya, Riin menatap buku puisi yang baru saja diberikan Jae Hyun. Dengan helaan napas panjang, ia membuka halaman pertama untuk mulai mempelajari isinya. Tapi matanya langsung tertuju pada sesuatu yang tidak biasa. Sebuah kertas kecil tertempel di salah satu halaman, dengan tulisan tangan yang sangat rapi:
"Terima kasih untuk obatnya semalam dan juga bubur abalon yang enak."
Mata Riin membelalak sejenak. Ia membaca pesan itu berulang kali, memastikan dirinya tidak salah lihat. Hatinya yang tadi sedikit kecewa kini meluap dengan kebahagiaan sederhana. Sebuah senyum kecil muncul di wajahnya, berkembang menjadi senyum yang lebih lebar.
Di tengah kebahagiaannya, suara yang akrab tiba-tiba terdengar di belakangnya. “Apa ada hal baik yang terjadi?”
Riin hampir melompat dari kursinya. Ia buru-buru menyembunyikan kertas itu di antara halaman buku sebelum menoleh. “Astaga, Editor Kim! Kau mengejutkanku!” ucapnya sambil berusaha menenangkan diri.
Kim Seon Ho, editor senior di perusahaan itu, menyeringai kecil. “Kau terlihat sangat bahagia barusan. Aku penasaran apa yang membuatmu sebahagia itu.”
Riin tertawa kecil, sedikit gugup. “Tidak ada hal spesial. Aku hanya menemukan ide baru untuk naskah yang ingin aku daftarkan di audisi,” jawabnya, mencoba mengalihkan perhatian.
“Oh, begitu.” Seon Ho mengangguk dengan ekspresi mendukung. “Kalau begitu, semangat, ya! Aku yakin kau bisa menghasilkan karya terbaik.” Ia menepuk bahu Riin dengan lembut sebelum berjalan pergi.
Saat Seon Ho menghilang dari pandangan, Riin membuka kembali buku puisi itu dan menatap pesan kecil tadi. Sebuah kalimat sederhana, tetapi cukup untuk membuatnya merasa dihargai.
“Pria itu memang sulit ditebak,” gumamnya pelan. Tapi, untuk kali ini, Jae Hyun berhasil membuatnya tersenyum tanpa banyak usaha.
***