"Kamu harus menikah dengan Seno!"
Alea tetap diam dengan wajah datarnya, ia tidak merespon ucapan pria paruh baya di depannya.
"Kenapa kamu hanya diam Alea Adeeva?"
hardiknya keras.
Alea mendongak. "Lalu aku harus apa selain diam, apa aku punya hak untuk menolak?"
***
Terlahir akibat kesalahan, membuat Alea Adeeva tersisihkan di tengah-tengah keluarga ayah kandungnya, keberadaannya seperti makhluk tak kasat mata dan hanya tampak ketika ia dibutuhkan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Favreaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14
Makan malam yang seharusnya dilakukan dengan khidmat, tiba-tiba menjadi ricuh dan heboh karena Alea yang tiba-tiba limbung dan jatuh tak sadarkan diri.
"Seno apa yang terjadi?" Eyang Elaine bertanya dengan panik.
Seno yang sedang mendekap Alea dalam pangkuannya bisa merasakan dengan jelas suhu tubuh Alea yang sangat tinggi.
"Dia demam," jawab Seno pelan.
Eyang Elaine segera meraba kening Alea dan benar, sangat panas seperti bara api.
"Kenapa diam saja, cepat bawa ke rumah sakit!" bentak Eyang Elaine.
"Sini, biar aku yang membawanya!" Paman Emir menengadahkan tangan meminta Alea yang berada dalam dekapan Seno untuk diserahkan padanya.
Seno bergeming, enggan menyerahkan calon istrinya disentuh orang lain.
Eyang Elaine menggeram marah. "Cepat berikan Alea pada pamanmu, Seno. Suhu tubuhnya tidak akan turun meski kau mendekapnya begitu erat. Dia bisa kehabisan nafas jika terus kau bersikeras memeluknya!" omel Eyang jengkel.
Jika tidak ingat dimana dirinya berada, mungkin Paman Emir sudah menjulurkan lidahnya untuk mengejek Seno.
Seno hanya diam dan memandang tak rela ketika Paman Emir mengambil Alea dari pangkuannya.
"Makanya, gunakan kakimu untuk berjalan. Menyesal dan kesal di waktu bersamaan sangat tidak enak bukan?" ejek Paman Emir.
Seno mendengus dan menatap Paman Emir penuh permusuhan.
Seno tidak menderita lumpuh permanen yang membuatnya tidak bisa berjalan selamanya, tetapi anak itu yang enggan berobat dan menghentikan terapi yang dilakukan dengan alasan yang tidak masuk akal. Mungkin dengan begini, bisa mengembalikan keinginannnya untuk sembuh.
'Kenapa mereka sangat peduli pada Alea dan begitu mengkhawatirkannya,' batin Bianca geram sekaligus heran. Bianca tak senang, meski begitu ia hanya terus memperhatikan kepanikan keluarga Ravindra dalam diam.
Paman Emir membawa Alea dalam gendongannya menuju mobil diikuti Eyang Elaine. Namun, Arka menghentikan langkah mereka.
"Tunggu, Alea adalah putri saya, biar saya yang membawanya ke rumah sakit!"
Eyang Elaine berbalik. "Maaf, Nak Arka. Saya tidak bisa percaya, dari sekian banyaknya anggota keluarga Wicaksana tapi tak satupun dari kalian yang tahu bahwa Alea sedang tidak enak badan. Saya tidak bisa menyerahkan calon istri cucuku di rawat oleh kalian!" Eyang Elaine berucap tegas lalu menyuruh Paman Emir segera menuju mobil.
Arka merasa tertohok dan lidahnya kelu tak mampu membela diri, hingga Alea menghilang dari pandangan pun Arka masih berdiri mematung diam membisu.
Ilyas mendorong kursi Seno berniat meninggalkan meja makan. Namun, sebelum pergi Seno sempat berkata.
"Mulai malam ini, aku memutus hubungan Alea dengan keluarga ini dan Alea tidak akan tinggal di sini lagi. Besok, orang-orangku akan mengambil barang-barang miliknya!"
Arka yang masih mematung, sadar dari keterpakuan ketika mendengar suara Seno yang tegas dan dingin berbicara tentang pemutusan hubungan keluarga.
"Tidak, bagaimana mereka bisa memutuskan suatu hal tanpa diskusi!" Arka berniat menyusul Seno dan menyatakan keberatan serta penolakannya.
"Mas!" Raya menghentikan pergerakan Arka dengan mencekal lengan pria itu.
"Sudahlah, Ka. Biarkan mereka membawa Alea pergi agar beban keluarga kita berkurang. Alea juga bukan yang menginginkannya!" ucap Nyonya Camelia santai, bahkan ia kembali menyantap hidangan di piringnya yang belum sempat tersentuh.
"Mama benar, Mas!" seru Raya.
Arka berdecak sebal seraya mendudukkan tubuhnya ke kursi dengan gerakan kasar. "Semua tidak sesederhana itu, Ma, Yang! Kalian lihat, keluarga Ravindra begitu peduli pada Alea, jika kita tetap memiliki hubungan yang baik kita bisa memanfaatkan kepedulian mereka untuk mendapatkan lebih dari apa yang mereka beri sekarang!"
Nyonya Camelia yang hendak menyuapkan makanan ke mulutnya terhenti dan menoleh ke arah Arka.
"Apa kamu juga tidak lihat, jika anak harammu itu sudah berubah. Dia mulai memberontak, bahkan berani menggunakan keluarga Ravindra untuk memutuskan hubungan dengan keluarga kita!"
"Mama benar, Mas. Anak itu merasa sudah mendapatkan keluarga baru, jika keluarga Ravindra bersikap baik padanya, aku yakin dia akan merendahkan kita setiap datang kemari, sudah bagus dia keluar dari rumah ini dan tidak lagi tinggal di sini!" timpal Raya mendukung Nyonya Camelia.
Nyonya Camelia mengangguk setuju sembari menyeruput kuah iga sapi di depannya.
Arka menghembuskan napas kasar, tidak ada satu orang pun yang setuju dengannya, semua orang ingin Alea keluar dari rumah ini dan dirinya tidak bisa apa-apa selain menghela nafas pasrah.
"Tapi, Bianca penasaran. Sepertinya keluarga Ravindra sangat peduli pada Alea, sedikit aneh karena ini pertama kalinya keluarga Ravindra bertemu Alea!" Bianca bersuara setelah sejak tadi diam.
Nyonya Camelia tersenyum kecil. "Kamu masih terlalu muda, Bianca. Tanyakan ibumu, bagaimana keluarga kalangan atas bekerja!"
Bianca menoleh pada sang ibu.
"Mereka sudah menyelidiki keluarga kita hingga ke dalam-dalamnya sebelum mengajukan perjodohan ini."
"Sama seperti almarhum kakekmu, dia juga menyelidiki dari mana keluarga ibumu berasal, memastikan jika menantu di keluarga ini bukan wanita yang tidak jelas asal-usulnya!" terang Nyonya Camelia lagi.
Bianca mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti.
'Jika memang sesuai apa yang dikatakan mama dan Oma, berarti keluarga Ravindra sudah tahu jika keluarga Wicaksana memiliki dua Putri. Melihat bagaimana mereka tidak menolak dan bersikap sangat terlalu peduli pada Alea, kemungkinan besar mereka memang menargetkan Alea!' ucap Bianca dalam hati menarik kesimpulan.
Genggaman tangannya dalam sendok semakin mengerat, ia merasa terhina dan untuk pertama kalinya ia merasa ditolak dan tak diinginkan. Ia ingin keluarga Ravindra mengemis meminta dirinya, dengan begitu ia bisa menolak dengan dagu terangkat lalu menyerahkan Alea sebagai ganti. Keluarga Ravindra akan merasa kecewa lalu melampiaskan kekecewaan itu dengan memperlakukan Alea begitu buruk.
'Aku tidak akan membiarkan Alea hidup dengan baik!' batin Bianca penuh tekat.
Selesai makan malam, Arka mengurung diri di ruang kerjanya dengan alasan ada pekerjaan yang harus segera diselesaikan.
Tahu sang ibu sendirian di kamar, Bianca mendatanginya.
"Mah!" Bianca membuka pintu lalu masuk menghampiri Raya yang sedang duduk di depan meja rias.
"Ada apa?" tanyanya sembari menatap pantulan Bianca dari cermin.
Tangannya menuangkan pembersih wajah ke atas kapas lalu menyapukannya dengan lembut ke wajahnya.
Bianca mendekat dan bersandar disisi kanan meja menghadap ke arah Raya.
"Mama yakin membiarkan Alea keluar dari rumah ini begitu saja, mendapatkan kehidupan yang lebih baik bersama keluarga Ravindra?"
Gerakan tangan Raya terhenti, ia mendongak menatap Bianca serius. "Maksud kamu?"
"Alea harus menanggung kesalahan ibunya yang telah berani berselingkuh dengan papa, kita tidak boleh membiarkan Alea hidup bahagia, Ma," ujar Bianca mencoba menghasut sang ibu.
"Ibunya merusak rumah tangga Papa dan Mama yang bahagia, untuk itu keluarga Ravindra tidak boleh memperlakukan Alea dengan baik, dia harus menderita baik di sini maupun di keluarga Ravindra?"
Raya terdiam dengan pandangan lurus ke depan menatap cermin yang memantulkan bayangan dirinya sendiri, benaknya sedang berpikir mencoba mempertimbangkan ucapan Bianca.
"Ma, dia juga beberapa kali membuat aku putus dengan kekasih-kekasihku, aku tidak rela jika dia hidup bahagia dengan cepat!"
Raya mendongak. "Apa yang akan kamu lakukan?"
Bianca mengembangkan senyum, merasa sang ibu mendukungnya. Ia menunduk mendekatkan bibirnya ke telinga Raya lalu berbisik cukup lama. Raya mendengarkan dengan seksama dan sesekali menganggukkan kepalanya mengerti.
"Bagaimana dengan Omamu?"
"Tidak perlu beritahu Oma. Mama percaya saja pada Bianca!" ujar Bianca yakin.
Raya mengangguk. "Baiklah. Jadi, kita ke rumah sakit sekarang?"
"Iya!"
"Tapi mama tidak tahu ke rumah sakit mana mereka membawa anak haram itu!"
"Biar Bianca yang minta Papa untuk menelpon mereka!"
"Kamu yakin?"
Bianca mengangguk yakin. "Bianca ke ruang kerja Papa dulu!"
Raya mengangguk lalu melanjutkan rutinitas malamnya setelah Nara keluar dari kamarnya.
"Mbak Sella?" sapa Bianca dengan dahi mengernit ketika berpapasan dengan sella di depan pintu ruang kerja Arka.
"E-eh, Non Bianca. Mau masuk ya, Non, bapak ada di dalam!" ujarnya sedikit gugup.
Bianca memicing. "Mbak Sella ngapain di sini?"
"Oh, anu. Tadi bapak minta bikinin kopi katanya kepalanya sakit. Nih!" Sella mengangkat nampan kecil ke hadapan Bianca.
Bianca mengangguk-anggukkan kepala sembari ber-oh-ria.
"Kalau gitu Mbak pergi dulu ya, Non!"
Bianca mengangguk lagi dan Sella segera melipir meninggalkan Bianca yang terlihat sedang mengetuk pintu lalu masuk ke ruangan Arka.
"Huh, selamat!" Sella mengelus dadanya lega dan segera pergi ke kamarnya.
"Loh, Bianca? Tumben, ada apa?" tanya Arka.
'Apa Bianca bertemu dengan Sella?' batin Arka was-was. 'Semoga tidak dan kalaupun iya, aku harap Sella membuat alibi yang tidak akan menimbulkan kecurigaan!'
Bianca mendekat dan berdiri di depan meja Arka. "Tolong hubungi keluarga Ravindra, Pa. Tanyakan ke rumah sakit mana mereka membawa Alea. Kita harus menjenguknya agar keluarga Ravindra tidak benar-benar berpikir kita keluarga yang buruk, citra keluarga kita akan buruk jika berita ini tersebar keluar!"
Arka menghela nafas menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. "Niat kamu sangat baik, Bianca tapi kamu dengar sendiri kalau Seno memutuskan hubungan kekeluargaan kita dengan Alea!"
"Kita tidak boleh membiarkan itu terjadi, Pa. Jika kita tetap berhubungan baik dengan keluarga Ravindra kita juga yang diuntungkan!"
Arka terdiam sejenak, berpikir menimbang apa yang dikatakan Bianca.
"Kalau Papa kurang yakin biar Bianca yang melakukannya. Berikan Bianca kontak mereka, Papa punya 'kan?"
"Ada, tapi nomor asisten keluarga mereka!"
"Tidak masalah, Bianca akan mencobanya. Percaya pada Bianca!"
Melihat keyakinan dan kegigihan Bianca, Arka memberikan sebuah kartu nama yang mana tertera nomor Ilyas di sana.
"Bianca ke kamar dulu, Pa. Ponsel Bianca di kamar!"
Arka mengangguk dan membiarkan Bianca pergi.
***
"Dokter bagaimana keadaan cucu saya?"
Eyang Elaine bertanya pada dokter yang menangani Alea di Instalasi gawat darurat.
"Nona Alea kelelahan, banyak pikiran dan kurangnya asupan makanan. Tubuhnya mengalami dehidrasi tapi Nyonya tidak perlu khawatir, cucu Anda bisa pulang jika cairan infusnya sudah habis dan demamnya sudah turun!"
Dokter pamit pergi setelah memberi penjelasan singkat pada Eyang.
"Gimana perasaanmu sekarang, Nak?"
Eyang bertanya lembut pada Alea yang sudah sadar.
"Aku ... Merasa lebih baik!" Alea mengulum senyum.
Eyang turut tersenyum. "Istirahatlah, jika demammu turun dokter memperbolehkan pulang!"
Alea mengangguk lalu memejamkan mata, mungkin efek obat dia terlelap dengan cepat karena rasa kantuk yang tidak bisa ia tahan.
"Eyang!"
"Sstt!!" Eyang menaruh jari telunjuknya di atas bibir meminta Seno diam. "Keluar sana, ayo bicara diluar. Suaramu bisa mengganggu Alea dan pasien lainnya sedang istirahat!"
Seno memberengut. Eyangnya pikir dirinya akan berbicara sambil berteriak, sampai-sampai dikatakan bisa mengganggu Alea dan pasien lain. Namun, ia tetap menurut dengan meminta Ilyas mendorong kursi rodanya kembali keluar.
"Alea kelelahan, dehidrasi dan banyak pikiran," angkat Eyang cerita persis seperti ucapan dokter. "Eyang tidak tahu keluarga Wicaksana memperlakukannya seperti apa."
Menghela nafas panjang Eyang mendudukkan dirinya di kursi tunggu.
"Tidak tahu kenapa, Eyang merasakan perasaan yang sulit dijelaskan pada Alea."
"Ck... Perasaan seperti apa, Eyang hanya terlalu mendramatisir rasa simpati pada gadis itu!"
Bugh!
Eyang memukul bahu Seno dengan keras lalu mendelik. "Kamu itu, nggak pernah sekali aja mendukung dan bikin eyang seneng!"
"Aku mau menikah dengan gadis asing pilihan Eyang, apa itu namanya kalau bukan membuat Eyang seneng?" Seno menyangkal tak terima.
"Halah, kamu juga suka 'kan. Saat Alea turun dari tangga Eyang lihat kamu melotot terpesona, mulutmu menganga lebar dan air liurmu hampir jatuh kalau Eyang tidak menegurmu!" ledek Eyang dengan mimik wajah menyebalkan.
Paman Emir memandang Eyang dan Seno yang sedang beradu mulut secara bergantian, matanya memicing seolah tak terima dirinya ketinggalan informasi tentang keponakannya itu.
Sedangkan Seno, membuang wajahnya kesamping menghindari tatapan menyelidik Paman Emir dan tatapan mengejek milik Eyang.
'Menyebalkan,' gerutunya dalam hati.
Ilyas yang menyaksikan hanya ikut tertawa kecil dan tak lama ponsel dalam sakunya bergetar disertai dering khas ponsel berlogo apel, yang berhasil menginterupsi obrolan mereka.
Dahinya mengernyit melihat nomor asing di sana. Namun, ia tetap mengangkatnya.
"Benar!"
Sekali lagi Ilyas mengerutkan alisnya mendengar seseorang di seberang telepon berbicara.
"Ada apa?" bisik Eyang pelan.
Ilyas menggenggam ponselnya dengan kedua tangan.
"Nona Bianca, Kakak Non Alea ingin datang ke sini untuk menjenguk saudaranya. Beliau meminta alamat rumah sakit!"
"Biarkan dia ke sini, aku ingin lihat apa yang ingin dilakukan Gadis itu dan seperti apa hubungannya dengan Alea!"