NovelToon NovelToon
Surai Temukan Jalan Pulang

Surai Temukan Jalan Pulang

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Sci-Fi / Fantasi Timur / Spiritual / Dokter Genius / Perperangan
Popularitas:246
Nilai: 5
Nama Author: Hana Indy

[Sampul digambar sendiri] Pengarang, penulis, penggambar : Hana Indy

Jika ada yang menganggap dunia itu penuh dengan surga maka, hanyalah mereka yang menikmatinya.
Jika ada yang menganggap dunia penuh dengan kebencian maka, mereka yang melakukannya.

Seseorang telah mengatakan kepada lelaki dengan keunikan, seorang yang memiliki mata rubah indah, Tian Cleodra Amarilis bahwa 'dunia kita berbeda, walau begitu kita sama'.

Kali ini surai perak seekor kuda tunggangnya akan terus memakan rumput dan berhagia terhadap orang terkasih, Coin Carello. Kisah yang akan membawa kesedihan bercampur suka dalam sebuah cerita singkat. Seseorang yang harus menemukan sebuah arti kebahagiaan sendiri. Bagaimana perjuangan seorang anak yang telah seseorang tinggalkan memaafkan semua perilaku ibundanya. Menuntut bahwa engkay hanyalah keluarga yang dia punya. Pada akhirnya harus berpisah dengan sang ibunda.

-Agar kita tidak saling menyakiti, Coin-

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hana Indy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9 Berjas Merah

...“Kain yang membungkus manusia terkadang hanyalah selembar, juga terkadang berbentuk pahala semata.” – Surai....

Berdiri di depan pintu kayu pagar berlumut ringan. Seorang wanita menoleh kepada lelaki menunggu kabar masuklah engkau. Melihat nama dada serta jabatan yang dia panggul, sudah membuat wanita separuh baya itu hilang senyumnya.

Seakan sudah tahu apa yang terjadi, seorang kepolisian datang mencarinya. Tidakkah akan berhubungan dengan suaminya?

Nyonya Bon berjalan mendekati. Meninggalkan bayi yang masih berada dalam gendongan Kakak Kupu-kupu. Saling mengadu pandang, mengerti akan tugasnya masing-masing. “Masuklah, Tuan Mallory. Apakah kamu datang akan menangkapku karena membunuh suamiku sendiri?”

Mallory berjalan mengikuti wanita itu melangkah ke dalam rumah. Sedangkan, Idris masih banyak keraguan. Dirinya tidak pernah seragu itu, tetapi jika menyangkut dirinya akan banyak keraguan. “Akankah bayi itu tumbuh sehat?” Seakan mempertanyakan masa depan masih misteri.

Idris berjongkok kepada wanita yang membawa bayi. “Aku Idris. Salah satu Forensik yang bekerja dalam kasus ini. Apakah kamu tahu jika Tuan Bon meninggal?”

Wanita itu menatap bayinya. “Tahu, bahkan wanita itu sudah mengatakan segalanya.”

Idris sempat menelisik seluruh dandanan Kakak Kupu-kupu. Ada yang menonjol dalam gelungan rambutnya. Tusuk emas perak berharga ratusan koin suci.

Menunduk kepala Idris sedih.

...***...

Hal yang paling menggelikan dalam dunia yang dia tinggali adalah menjadi tawanan. Perlahan namun pasti melangkah untuk menguping setiap pembicaraan dua lelaki yang menjadi pioner utama dalam dunia penelitian menjijikkan ini.

Lelaki bermata rubah kini menyembulkan sedikit kepalanya. Masih dia amati Tuan Poppin berbincang dengan Tuan Bond sembari menyeret seorang gadis muda.

Terbelalak mata Tian. Gadis yang kemungkinan masih memiliki umur panjang. Apakah dia juga akan berakhir dalam dunia hitam?

Tian dibebaskan dengan alasan untuk membuat Phoen menunduk kepada Tuan Poppin. Sejauh ini imunitas makhluk itu adalah yang terbaik. Dan akan terus diambil untuk penelitian berikutnya.

“Aku ingin kamu menjadikannya boneka.”

“Bukankah sangat mustahil. Kita sudah pernah melakukannya.”

“Aku juga punya hadiah khusus jika berhasil?”

“Apa gerangan?”

“Kepercayaan Tuan Demon untuk mengedarkan Opium dalam jumlah besar-besaran.”

Tian terkejut. Opium. Pernah dia ingati kata Barang Surga yang beredar mesra dalam Kerajaan Eudoria. Itu menjadi perdagangan ilegal untuk memberi makan Agensi Surga, dan mereka yang menghuninya.

Opium adalah candu, begitu yang Tian tahu. Mengedarkan untuk mengecoh halusinogen keadaan masyarakat? Apa tujuannya?

“Kalau begitu akan aku kerjakan.”

“Mana hasil penelitian yang sudah kamu katakan berhasil itu?”

“Ah benar juga.”

Mendengar suara langkah kaki mendekat kepada Tian. Berpura cepat Tian bermain dengan Phoen. Mengusap tangannya yang sedikit membekas luka. Tian dan Phoen memiliki ruang khusus. Dimana hanya ruangan lebar dengan beberapa gambar hutan yang dipajang. Ada juga pohon yang ditebang untuk dijadikan pajangan.

Tian selalu menelisik ke dalam mata Phoen. Mencoba menyadarkan lelaki itu betapa mengerikannya tubuhnya saat ini.

Melihat Tuan Bond membuka pintu membuat Phoen mengerang. Hendak menerjang lelaki itu cepat. Tuan Bond sempat terjatuh karena takut serta kaget. Hal yang ingin membuat Tian tertawa lepas.

“Phoen?”

Seketika Phoen berhenti. Dia menghinggap pada pohon. Melipat sayapnya. Beruntungnya jika Phoen memiliki pakaian manusia. Jadi, hanya tangan sana yang berbeda dengan bagian tubuh yang lainnya.

“Bukankah dia lelaki yang kamu beli di pelelangan?” Tuan Bond bersusah payah berdiri dibantu oleh Tuan Poppin. Masih waspada akan burung manusia terbang.

“Iya, dengan melihat mata rubahnya itu aku yakin para ilmuan di sana telah mengembangkan manusia sempurna.”

Tian memicing. “Selain gila, pemikiran Anda juga sempit.”

Begitu yang diketahui banyak orang. Ras langka, mitologi apalagi mereka tidak akan tahu. Bagaikan vivid diangan.

“Katakan lagi!” teriak Tuan Poppin.

“Aku pikir kamu tidak mendengar,” ejek Tian.

Tuan Bond mendekati Tian. Menuju lelaki itu dengan tangannya. “Kekurangan makhluk ini hanya satu. Dia tidak bisa berpikir logis seperti Tian.”

Tian mengarahkan jemari Tuan Bond pada Phoen. “Dia ada di sana.”

“Ya, aku juga tahu.”

Tuan Poppin berpikir sejenak. “Tian, siapakah ilmuan yang menciptakanmu?”

Sejenak ide licik mampir di otaknya. “Hm, aku lupa. Aku sangat buruk dalam mengingat nama. Tetapi, dia berada di Kerajaan Argania.”

Tuan Bond menampar Tian. “Jangan bercanda.”

Tuan Poppin menghentikan tangan Tuan Bond yang akan meninju Tian kembali. "Aku pernah mendengarkannya, jika Kerajaan Argania memiliki obat yang melimpah, dokter di sana juga bagus dan pintar. Mungkin anak kecil itu berkata sejujurnya."

Tuan Bond merasa menyangkal, walau begitu dia tetap menghargai perkataan Tuan Poppin. "Kita bisa ke sana," putusnya.

"Kita harus memiliki koneksi untuk ke Kerajaan Argania."

"Apakah Tuan Demon akan membantu?" Tuan Poppin mengusulkan.

Tian memegangi pipinya panas. Hanya tersenyum licik. Melihat dua orang yang pergi meninggalkannya setelah berbincang mengenai Kerajaan Argania. "Tuan Demon, siapa dia?" Tian mengernyit. Ada berbagai rangkaian ide didalam otak terus merangkai, salah satunya adalah menunggu kapal dilayarkan.

Tian kemudian melirik ke arah Phoen. Lelaki itu masih menjilati tangannya. Tian menggunakan kekuatannya untuk menghubungkan dirinya dengan Phoen.

Dirasakan ada sentakan dalam otaknya, Phoen seakan disadarkan dari tidur. Lelaki itu melihat Tian dengan tatapan sendu. “Kewarasannya sudah hilang sepenuhnya.” Tian hanya meratapi sedih.

Mencengkeram kuat pohon tempat Phoen bertengger. “Dua lelaki itu!”

...***...

Menuruni kereta kudanya. Menatap bangunan Panti Asuhan Tangan Tuhan milik ayahnya. Hari ini katanya akan ada murid baru. Biasanya Idris akan memeriksa guna menyatakan dia bisa dicampurkan oleh anak lain atau tidak.

Semua yang dijalan itu kotor, menurutnya.

Idris terkejut ketika menyadari Panti Asuhan sangat sepi. Bukankah jam makan siang? Namun, kemana orang-orang.

“Paula, Zeta.”

Idris berlarian panik. Segera membuka seluruh pintu. Terkejut bukan kepalang ketika menyadari jika panti asuhan sedang ada bakti sosial di masyarakat. Idris meremas poster bakti sosial itu sebal.

“Astaga,” keluhnya.

Idris berjalan menuruni tangga belakang dekat dapur. Jarak yang ditempuh lumayan jauh. Sekitar satu kilometer. Tersenyum ketika melihat anak panti bercengkerama dengan tetangga sekitar.

Maniknya terpaku pada rambut abu-abu sejak lama dia terpana. Coin memiliki aura yang unik. Walau dia terdiam, tetapi begitu menyayangi hewan. Kuda Surai perak yang selalu dirawat oleh Idris justru kini berjingkat karena senang membantu.

“Surai!” Panggil Idris dari kejauhan. Beberapa yang mendengar juga menoleh barang sebentar.

“Lihat Tuanmu sudah datang. Jangan mengganggu dan duduk saja ya.”

Idris terhenti langkah kakinya melihat senyum paling lebar yang pernah dia lihat dari lelaki paling terdiam. Sejenak ada suasana dihatinya yang menghangat. Seperti apa perasaan sudah lama tidak dia dapatkan.

“Tuan Idris,” panggil Coin masih dengan senyuman itu.

Apakah begitu dunia kejam menarik senyumnya? Idris tahu, anak panti hanyalah wadah sementara untuk dijadikan tumbal. Mengedarkan pandangannya, begitu mendengar tawa anak panti menggugah hatinya. Selalu berkonflik gemuruh di sana. Bagaimana para petani yang selalu bangga dengan anak-anak panti karena kehebatan mereka.

Coin memegang tangan Idris. Mengajaknya untuk mengikuti dirinya. “Lihat, beberapa warga membuat harpa tiruan.”

“Hah?” Idris tidak mengerti.

“Apakah kamu tidak tahu jenis alat musik?”

Coin mengangkat alat musik buatan itu. Harpa yang asli hanya akan dibuat dengan ketelitian tinggi, biaya yang mahal, namun, tidak banyak diminati. Sehingga hanya beberapa rumah yang benar-benar memilikinya dan mampu membeli.

Perlahan jemari Coin memetik Harpa buatan itu. Sumbang suaranya namun, masih bisa didengar.

“Ini parah sekali.” Coin tertawa mengejek alat itu.

Sedikit membenarkan nada juga kekencangan senar. Mengulangi lantunan musiknya. Beberapa anak mulai berkerumun akibat perhatian Coin.

“Apakah kalian bisa menyanyi?” tanya Coin kepada teman-teman panti.

“Dia memiliki suara unik,” celetuk seorang anak menunjuk temannya yang lain. Idris menikmati sesaat momentum itu. Begitu indah menurutnya. Dia yang tidak memiliki banyak teman bisa dengan nyaman bercengkerama.

“Hm, apa kalian bisa  menyanyikan London Bridge?”

Beberapa anak mengangguk.

“London Bridge is falling down

Falling down, falling down

London Bridge is falling down

My fair lady

Build it up with iron bars

Iron bars, iron bars

Build it up with iron bars

My fair lady

Iron bars will bend and break

Bend and break, bend and break

Iron bars will bend and break

My fair lady

London Bridge is falling down

Falling down, falling down

London Bridge is falling down

My fair lady”

Suara tangan bertepuk riang, begitu juga Idris yang mendengarkan dendangan indah ditelinga. Senyum terpatri diwajahnya.

Seakan tidak mau berakhir pagi ini.

Idris terpaku pada gadis yang duduk sendirian di tepian sungai kecil untuk mengairi sawah. “Siapa dia Coin?’

“Ah, dia datang hari ini. Namanya Silvia.”

Idris mendekati gadis itu. Dengan cepat Silvia beralih menuju perawat yang sudah dia akrab beberapa jam yang lalu.

“Paula,” panggil Idris meminta agar dia menyingkir.

“Nona Silvia sepertinya ketakutan, Tuan.”

“Perkenalkan, aku Idris.”

Silvia hanya mengangguk. Tidak mau berbicara, tidak mau bergabung dengan anak lainnya. Idris tahu jika Silvia adalah anak yang akan masuk hari ini. Termasuk pelanggan naratama sehingga dia akan mendapat jatah penelitian dahulu. Namun, mengapa anak itu ada di sini?”

“Apa kamu senang berada di Panti?”

Hanya anggukan kecil.

“Begitu ya,” jawab Idris. Melihat anak tanpa cacat itu terus membuat pertanyaan samar.

Setelah acara ditutup barulah Idris buru-buru pulang ke rumah. Menemui ayahandanya yang masih membaca koran sore. Idris segera duduk dihadapan ayahnya.

“Ayah,” panggil Idris dengan wajah cemberut.

“Apa keinginanmu? Pasti kamu ingin meminta sesuatu, bukan?”

“Siapa anak bernama Silvia?”

Ayahnya hanya mengangguk. Memberikan sejumlah uang. “Ayah belum memberikan kamu uang jajan minggu ini.”

Idris mengangguk. “Ayah aku bertanya.”

“Dia ‘permen’. Dokter Poppin sedang banyak urusan. Dia ditunda.”

“Tapi dia tidak cacat. Wajahnya cantik. Kulitnya bagus. Tidak ada luka. Tidak ada apa pun,” sangkal Idris.

“Dia istimewa. Dia tidak bisa melihat angkasa dengan benar.”

Idris hanya mengernyit. Tidak bisa melihat angkasa terus berputar dalam otaknya. Memangnya apa yang dimaksudkan oleh ayahnya? “Matanya tidak buta.”

“Hari ini Tuan Mallory tidak memberi perintah, hm?”

Begitulah akan mengalihkan pembicaraan. Idris menyahut segepok uang lalu berjalan menaiki tangga. Sedangkan, ayahnya hanya menghela nafas. “Anakku sangat tidak suka dengan orang sempurna.”

Pemikiran gila.

...***...

Larilah langkah kaki jauh menjauhi sesuatu. Ada yang menggenang, berteriak kencang dalam cekatan. Lelaki bisu yang diketahui memiliki kegiatan sehari-hari menjala tambak kini ketakutan dalam diam. Berusaha menjelaskan tangan mulutnya tentang apa yang dia lihat.

Seorang pedagang kecil menghentikan langkahnya. Topi bundar khas miliknya terjatuh. “A-gha,” coba jelaskannya lelaki nelayan tambak.

“Ada apa? Kamu seperti melihat hantu.”

Menunjuk-nunjuk. Terus bergeliat tidak nyaman. Berusaha menyeret pedagang kecil. Ditunjuknya lelaki mengambang dengan jas merah di dalam tambaknya.

“Mengapa kamu tidak memanggil polisi?” sedikit nada amarah.

Berteriak pun lelaki itu tidak akan tahu apa yang harus dia katakan.

Pelaporan sudah diberikan kepada kantor kepolisian terdekat. Setelah menutup kasus pembunuhan Tuan Bon dan lelaki mutilasi. Kini saatnya, Mallory bertugas kembali. Mengambil sarung tangan hitamnya lalu berjalan diantara kerumunan. Bersiap untuk melihat siapa yang terbaring terbujur kaku.

Beberapa relawan juga tim pencarian sudah menaikkan mayat lelaki berjas merah. “Idris dalam perjalanan,” teriak Mallory kepada timnya.

“Tuan Mallory saya sudah mewawancarai dua orang saksi.”

Berpaling kepada lelaki bisu juga pedagang kecil. Menjelaskan ulang apa mereka lihat. Mallory mengiyakan semua penemuan itu.

Kereta kuda mengalihkan pembicaraan Mallory dengan dua orang saksi. Berpamitan dengan mereka berdua.

Idris menuruni kereta kudanya. Menuju mayat yang sudah di evakuasi sepenuhnya. Lelaki berjas merah yang tidak pernah dia kenal, mati dengan cara mengenaskan.

Memeriksa barang sebentar kaki tangannya. “Sekitar 8 jam.”

“Korban masih mengalami lebam. Tetapi, tubuhnya mengambang. Secara umum, ketika seseorang meninggal akan mengambang setelah tiga hari kematian. Namun, sepertinya ini lebih cepat. Berat badannya sekitar 70 kg dan tinggi badan 165 cm. Cukup pendek.”

Sempat ia melirik Mallory berjongkok di sampingnya. “Kapan penemuannya?” tanya Idris kembali. Seakan curiga dengan jasad yang mengambang lebih cepat dari klinis. Menemukan ada setidaknya dua busa yang berasal dari saku kanan-kiri celananya.

“Dua jam lalu,” jawab Mallory cepat.

Manik Idris mengamati sekeliling. “Tambak ini terletak di ruang terbuka. Sedikitnya pohon.” Idris menoleh kepada pedagang kecil. “Bila malam apakah udara dingin, pak?”

Idris melihat ada psikolog yang menerjemahkan dalam bahasa isyarat kepada lelaki yang pertama kali menemukannya. “Dia mengatakan suhu lumayan dingin, karena angin berembus langsung menuruni bukit.”

“Lebam ini berwarna merah gelap. Menunjukkan jika korban mengalami kekurangan oksigen sebelum meninggal. Kita hanya perlu memeriksa tanda lainnya seperti tercekik, atau tenggelam. Namun, paru-parunya belum mengembang. Wajahnya juga masih utuh.”

Mallory mengambil identitas dari saku lelaki itu. Merogoh setiap saku menemukan sebuah identitas berupa kartu nama.

[24/11 09.56] Aku: Part 9

“Fadel Bond.”

Idris terkesiap. “Bond? Dia menggunakan nama Bond?” Tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Mallory, Idris meraih kartu nama itu cepat. Nama Fadel Bond terpampang nyata di depan matanya.

“Ada apa dengan wajahmu?”

“Bond marga ayahku,” bisik Idris.

Mallory terdiam.

"Ah Fadel Bond. Aku dengar putrinya juga diculik oleh orang tidak diketahui."

"Oh iya, Nyonya Bond juga sempat berteriak."

"Tetapi, Tuan Bond tidak mendengar saat itu."

"Apakah Tuan Bond mencari putrinya lalu tenggelam di sini?"

Banyak pertanyaan berputar. Mengapa, semua kasus belakang ini berhubungan dengan panti asuhan itu. Sedangkan, Tuan Berjas Merah yang pernah disebutkan dalam pelayaran adalah Tuan Fadel.

Tuan Bon

Tuan Bond

Tuan Fadel

Dan Panti asuhan.

Juga Agensi Surga.

Idris menggeleng menyingkirkan segala kemungkinan terburuk. Bisakah ayahnya juga salah satu pengguna jalur pelayaran ilegal? Selama ini dia begitu percaya. Namun, kepercayaan itu terkadang harus dipertanyakan.

Idris kembali menaiki kereta kudanya setelah memberikan perintah kepada anak buah tim untuk membawa tubuh Tuan Fadel ke rumah sakit kepolisian.

Mallory melihat kepergian bocah itu dengan tatapan penuh arti. Sedikit memicingkan matanya. “Terkadang memang yang terdekat itu mencurigakan,” lirihnya.

...*...

Sekali lagi Coin tidak pernah menyentuh makanannya. Sore ketika bau besi masih menempel mesra di dalam nasi. Coin mengacak-acak makanannya. Membiarkan penghuni panti asuhan juga ikut nimbrung dalam makanannya.

Sejenak melihat semua anak panti dalam makan malam. Gadis bernama Silvia enggan memakan makanannya kala itu. Coin mendekati Silvia perlahan. Gadis itu jelas menjauhi dirinya. Beruntungnya Nona Paula dan Zeta sedang menikmati makanannya juga di dapur bersama koki.

“Mengapa kamu tidak makan?” tanya Coin ramah. Dia hanya menginginkan dekat dengan gadis itu. Diusianya yang ke 19 tahun normalnya dia sudah menemukan kedewasaan, namun tidak dengan gadis yang manjanya melebihi dirinya.

Gadis itu hanya menggeleng.

“Aku juga tidak suka dengan lauknya. Apakah kita harus memasak sendiri di kebun?” Coin tipikal yang tidak akan memilih makanan, namun setidaknya hanya untuk di panti.

“Apakah kamu bisa memasak?” tanya Silvia sedikit berbinar ternyata, gadis itu suka dengan masakan.

“Aku jarang memasak, dan lebih tidak bisa sih.” Coin menggaruk tengkuknya kaku.

“Kalau begitu aku ajari.”

Gadis itu seakan menemukan kembali dirinya sendiri. Sepanjang hidupnya memasak adalah hal yang paling dia inginkan sepanjang masa.

“Kalau begitu ayo membujuk Nona Paula dan Nona Zeta,” ajak Coin.

“Kamu duluan,” rengeknya.

Coin mengangguk.

Berjalanlah kedua anak yang kelaparan menuju dapur. Menyembulkan kedua kepala mereka. Tertawa ketika melihat Nona Paula ternyata memiliki porsi makan besar. “Hehe, ada apa anak-anak?”

“Nona Paula, bolehkah jika kita memasak sendiri?” Tanya Coin ragu.

“Ada apa dengan makanannya? Apakah kalian tidak suka sayur?” tanya Nona Paula peduli. Sedangkan, Nona Zeta mulai mencari sesuatu yang lain.

“Bagaimana jika daging?” Tanya Nona Zeta ketika menemukan sepotong daging sapi.

Silvia menggeleng. “Aku tidak memakan daging. Tetapi, aku juga tidak memakan kembang kol. Aku tidak suka. Jika boleh aku ingin memasak sawi ungu dan membuat salad sederhana.”

“Ah, boleh. Gunakan saja dapurnya. Tapi, nanti dibersihkan sendiri ya.” Nona Paula kemudian memberi akses.

Coin hanya mengangguk.

“Coin memasak juga?”

“Hm,” angguknya mantap sebagai jawaban.

“Pergilah ke kebun. Jangan petik buah malam-malam ya, gunakan yang sudah ada di kulkas. Itu akan membuat tanaman layu.” Saran Noma Zeta.

“Siap!” jawab mereka serempak.

Silvia dan Coin menuju kebun. Menyiapkan diri dengan pisau juga keranjang. Malam begitu indah ditemani dengan sedikitnya kunang dan bintang. Coin tidak menyangka jika melihatnya secara langsung akan membuat matanya cerah.

Walau sebenarnya Coin menyimpan sedikit rahasia dalam sebelah matanya. Menyentuh penutup mata itu perlahan. Lalu tertawa setelahnya.

“Coin,” panggil Silvia.

Gadis dengan rok pendek itu terlihat terjingkat ketika tidak sengaja menyentuh benda kenyal.  “Kamu tahu namaku?”

“Kamu berkenalan denganku. Lagian anak-anak panti juga memangilmu Coin.”

Coin hanya tersenyum menanggapi cerita itu. “Apa yang akan kamu ambil?”

“Ah, ini. Sayur ini juga.” Tunjuk Nona Silvia. “Aku ingin memetik bayam juga. Tapi di sana.”

Coin mengikuti arah pandang Nona Silvia. Berada dekat dengan gubuk yang digunakan sebagai penyimpanan alat. Setiap malam, hanya gubuk itu yang paling benderang. Alasannya sederhana, hanya karena Tuan Idris takut mengambil barang malam-malam.

Dalam perjalanan cukup panjang dalam mengambil bayam. “Nona Silvia. Apakah kamu merasa heran dengan bau makanan panti asuhan?” tanya Coin pelan. Berharap jika dia tidak dicurigai sebagai penuduh.

“He,” terkejutnya gadis itu.

“Tidak, hanya saja aku merasa tidak enak.”

“Apakah kamu juga menyadarinya?”

“Nona Silvia juga menganggap itu aneh kan?” Coin mendongak cepat, menatap ke alam wajah Silvia yang berparas cantik disinari rembulan itu.

“Iya,” jawabnya.

Keduanya saling berpandangan. Merasuki dalam benak masing-masing betapa pintarnya lawan bicaranya. Walau terlihat lemah Silvia memiliki segudang pengetahuan didalam otaknya.

“Jika kamu tahu, mengapa kamu di sini?” 

Silvia tersenyum. “Karena aku ini lemah dan bodoh. Seseorang menaburkan bubuk putih yang tidak aku ketahui awalnya. Dan setelah aku sadar aku berakhir di sini.”

Sebuah berita kehilangan akan jati diri sesaat sudah sampai di telinga Coin. Sejenak merutuki bahwa lelaki yang mereka hormati sebagai Tuan Bond berwajah mengerikan itu sungguh menjijikkan.

“Jika aku melawan, maka anak panti akan terkena masalah. Kamu sendiri bagaimana?”

Coin terdiam dengan pertanyaan itu.

Ya, aku sendiri bagaimana?

...***...

...Bersambung.. ...

1
Galaxy_k1910
ilustrasi karakternya keren
@shithan03_12: Wuahh makasih ya
total 1 replies
༆𝑃𝑖𝑘𝑎𝑐ℎ𝑢 𝐺𝑜𝑠𝑜𝑛𝑔
dia cewek apa cowok thor?
@shithan03_12: kalau Tian cowok..
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!