Memiliki kehidupan yang nyaris sempurna, Marsha memiliki segudang prestasi, ia juga terampil dalam seni lukis dan percintaan yang bahagia bersama Reno─sepupunya sendiri. Mereka telah membangun rencana masa depan yang apik, namun siapa yang akan menyangka takdir tidak selalu mengikuti semua rencana.
Marsha tiba-tiba harus menggantikan Maya─kakaknya yang kabur karena menolak menikahi Alan─pria pilihan orang tuanya berdasarkan perjanjian bisnis. Masa depan perusahaan orang tuanya yang diambang kebangkrutan sebagai konsekuensinya.
Bagai simalakama, terpaksa Marsha menyetujuinya. Statusnya sebagai pelajar tidak menunda pernikahan sesuai rencana diawal. Alan adalah pria dewasa dengan usia yang terpaut jauh dengannya ditambah lagi ia juga seorang guru di sekolahnya membuat kehidupannya semakin rumit.
Menjalani hari-hari penuh pertengkaran membuat Marsha lelah. Haruskah ia berhenti mengukir benci pada Alan? Atau tetap melukis cinta pada Reno yang ia sendiri tidak tahu dimana ujung kepastiannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rieyukha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
JANGAN NANGIS
Sayup-sayup Alan mendengar suara isakan, ia melirik Marsha dengan heran. "Kamu nangis?" tanyanya kemudian.
"Nggak!" jawab Marsha ketus dengan suara serak, ia masih setia memalingkan wajahnya dari Alan. Menatap keluar jendela dengan air mata yang sudah terurai di wajahnya.
Marsha mengernyit tiba-tiba mobil yang dikendarai Alan berhenti, lalu memutar balik tidak jadi masuk kedalam gerbang perumahannya. Marsha ingin bertanya tapi ia enggan karena air matanya masih berserak di pipinya membuat ia tidak mau menoleh pada Alan memperlihatkan pipinya yang basah.
"Kemana?" tanya Marsha akhirnya.
"Kamu nangis, nggak mungkin saya bawa kamu pulang dalam keadaan mata sembab." Alan kembali melajukan mobilnya memecah jalanan didepannya, ia belum tahu akan membawa Marsha kemana.
"Kamu kenapa nangis sih?" tanya Alan bingung, ia merasa sangat aneh tiba-tiba Marsha menangis.
"Nggak!" jawab Marsha ketus, kini tangannya terulur menghapus air matanya.
"Leher kamu nggak pegal apa ngelihat kesana terus?" tanya Alan lagi.
"Nggak!" masih ketus, Alan menghela napas berat, ia memijit pelipisnya pusing menghadapi Marsha yang semakin uring-uringan tidak jelas.
Mobil yang dikendarainya itu pun sampai di tepi pantai yang mana disana banyak permukiman penduduk tinggal disana, rata-rata mereka bekerja sebagai nelayan.
"Ayo turun, jangan nangis terus." perintah Alan sambil membuka seat belt nya.
"Nggak!"
"Ayolah," Alan mulai frustrasi, "Marsha," panggilnya seraya berusaha menggapai tangan Marsha.
"Nggak usah pegang-pegang!" hardik Marsha sambil menjauhkan dirinya dari jangkauan Alan.
"Oke, oke," Alan mengangkat tangannya. "Kalau gitu ayo turun," bujuknya lagi. Marsha masih bergeming.
Alan menghela napas berat dan menghempaskannya dengan kuat, "Ya udah kalau kamu nggak mau turun, saya lapar mau makan. Kalau kamu mau tetap disini silahkan." akhirnya Alan turun meninggalkan Marsha sendirian.
Marsha melirik Alan berjalan kesebuah rumah kecil yang didepan terbentang pantai lepas, tidak lama ia keluar bersama seorang pria paruh baya yang menghantarkannya ke sebuah pondok di tepi pantai, persis tidak jauh disamping rumah yang baru disambangi Alan.
Marsha menghela napas pelan, ia mengambil tissue dan menghapus sisa air mata serta membuang ingusnya. Dari jauh ia bisa melihat Alan sudah duduk lesehan diatas pondok dengan beberapa makanan yang di antarkan kesana. Sebenarnya Marsha lapar, tapi ia masih bertahan dengan gengsinya. Lagian ia juga masih sakit hati ditegur perkara taksi.
Marsha kaget ponselnya ditangannya bergetar, ia melihat si penelpon lalu matanya terarah jauh lurus didepannya, Alan sedang menatap ke arahnya dengan ponsel yang menempel di telinganya.
Satu kali Marsha mengabaikannya, telepon kedua ia masih bertahan, ia juga sudah mulai gerah didalam mobil dengan mesin yang mati.
Alan: [Ngapain kamu panas-panas didalam, ayo turun]
Marsha masih dengan harga dirinya, tapi perutnya mulai berteriak dan memberontak sehingga memberikan reaksi pergerakan. Marsha menekan perutnya. "Ck! Perut lo kan habis gue isi biskuit sebelum pulang tadi!" makinya pada perutnya sendiri.
"Ayo turun." Marsha terkesiap Alan sudah membuka pintu dan berdiri disampingnya.
Marsha cemberut ia masih enggan menatap ke arah Alan.
Alan menggapai tangan Marsha dan menggenggamnya erat sehingga Marsha yang ingin memberontaknya justru kesakitan. "Lepas, ih!" ucapnya setengah berteriak. Alan mengalah, ia melepaskan genggamannya.
"Saya minta maaf kalau kamu tersinggung," akhirnya Alan mengatakan apa yang ditunggu Marsha dari tadi, tapi ia masih dengan harga dirinya. "Saya hanya khawatir kalau kamu pulang sendirian," sambungnya lagi.
Alan menundukkan kepalanya melihat kearah Marsha, "Udah nggak nangis kan?" tanyanya penasaran karena Marsha benar-benar menjauhkan wajahnya dari Alan. "Sha," ucap Alan sambil memegang dagu Marsha,
"Nggak usah pegang-pegang!" ketus Marsha seraya menepis tangan Alan dengan kesal.
Kini Alan bisa melihat wajah Marsha yang dengan mata sedikit sembab, tapi sudah tidak menangis.
Kruk... Kruk... Kruk...
Perut Marsha kembali berteriak, Alan tersenyum simpul mendengarnya. 'Perut sialan.' batin Marsha mengumpat pada perutnya sendiri, ckckck.
"Ayo turun, nanti makanannya dingin nggak enak."
"Nggak!"
"Tapi perut kamu bilang iya, atau saya gendong kamu kesana." Marsha mendelik menatap Alan, Alan hanya diam lalu bersikap seolah-olah akan menggendong Marsha.
"Iya! Saya turun." jawabnya cepat. Marsha pun turun bersama harga dirinya yang turut turun karena lapar.
"Kamu nggak ada alergi seafood kan?" tanya Alan begitu mereka sudah duduk berhadapan diatas pondok. Marsha menggeleng.
"Ya udah, kalau gitu makan yang banyak. Ini masakan rumah dengan hasil tangkapan yang segar, kamu pasti suka." terang Alan semangat. Marsha hanya diam, namun begitu makanan itu masuk ke mulutnya ia setuju dengan ucapan Alan ia menyukainya.
***