Akibat trauma masa lalu, Chaby tumbuh menjadi gadis yang sangat manja. Ia hidup bergantung pada kakaknya sekaligus satu-satunya keluarga yang peduli padanya.
Di hari pertamanya sekolah, ia bertemu dengan Pika, gadis tomboi yang mengajaknya loncat pagar. Kesialan menimpanya, ia tidak tahu cara turun. Matanya berkaca-kaca menahan tangis. Disaat yang sama, muncul pria tampan bernama Decklan membantunya turun.
Decklan itu kakaknya Pika. Tapi pria itu sangat dingin, dan suka membentak. Tatapan mengintimidasinya selalu membuat Chaby menunduk takut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28
Decklan bisa melihat keterkejutan di mata Chaby. Gadis itu terlihat mengelus-elus dadanya karena kaget.
"Kak Decklan ngagetin." ucapnya cemberut.
Decklan terkekeh.
"Kenapa di liatin doang ice creamnya?" tanyanya kemudian.
Tatapannya lembut. Ia melihat Chaby menekuk wajahnya. Dahinya berkerut bingung.
"Kenapa hmm?" sebelah tangannya terangkat menyentuh pipi tembem gadis itu dan mengelusnya lembut dengan ibu jari. Chaby balas menatap pria itu. Ekspresinya terlihat,
Kesal?
"Aku nggak punya uang kak Decklaaann.." serunya sebal.
Entah kenapa ia jadi lupa akan ketakutannya pada pria itu. Efek karena pria itu mulai bersikap lembut padanya.
Decklan tersenyum tipis
"Mau nggak aku bayarin?" tawarnya.
Kasihan juga gadis itu lama-lama.
Chaby menatapnya ceria dan mengangguk kuat-kuat.
"Mau banget." serunya senang.
Tanpa aba-aba ia cepat- cepat mengambil ice cream yang sejak tadi diincarnya.
Lagi-lagi gadis itu membuat seorang Decklan menjadi pria yang murah senyum.
Sehabis ia membayar di kasir, mereka duduk di sebuah bangku depan supermarket.
Pria itu setia menemani Chaby yang tengah menikmati ice creamnya, tangannya sesekali terangkat membersihkan mulut gadis itu yang belepotan. Ia menggeleng-geleng kepala sambil berdecak. Ckckck, gadis ini benar-benar deh.
"Kesini sama siapa?"
Pertanyaan itu membuat Chaby mengangkat wajah menatapnya lama. Kelihatan sekali raut wajah gadis itu langsung berubah seketika seperti menyadari sesuatu.
Ia melihat Chaby memukul kepalanya sendiri.
Aduhhh gimana nih,
Chaby teringat ucapan kakaknya tadi yang melarangnya jangan pergi kemana-mana. sebelum ia menjawab Decklan matanya membelalak kaget karena kakaknya sudah berjalan setengah berlari kearah mereka. Tuhkan. Malah wajah kakaknya kelihatan panik begitu lagi. Biasanya kalau kakaknya panik, setelah itu ia akan dimarahi.
***
Danzel sibuk berbincang dengan kliennya sejak tadi. Ia bahkan tidak sadar kalau adiknya sudah tidak ada di tempatnya. Saat menoleh ke samping kiri, jantungnya berdebar keras karena tidak mendapati keberadaan adiknya.
Pria itu langsung bangkit dari kursinya. Ia tidak menghiraukan kliennya yang ikut kebingungan menatapnya. Pandangannya mencari-cari ke seluruh ruangan.
Pria itu bolak-balik memutar kepalanya dan terus mencari tapi adiknya sama sekali tidak kelihatan batang hidungnya.
Astaga, ia bisa stres kalau Chaby sampai kenapa-napa. Kakinya bergerak cepat menghampiri pelayan yang berjaga didepan pintu.
"Kalian lihat kemana gadis yang datang bersamaku tadi?" tanyanya.
Nada bicaranya terdengar mulai panik. Dua pelayan itu saling menatap bingung lalu menggeleng tidak tahu.
Danzel mengusap wajahnya frustasi. Pria itu berkacak pinggang dan kembali menatap berkeliling.
Saat matanya menatap keluar jalan, pandangannya terpaku pada sosok yang tengah duduk di bangku depan supermarket yang ada diseberang restoran itu.
Rasa lega langsung membanjiri dirinya. Ia cepat-cepat berlari keluar menghampiri gadis itu.
"Kamu nggak denger kakak bilang apa tadi!" sentak Danzel yang sekarang sudah berdiri didepan Chaby.
Tangannya memegangi kedua bahu gadis itu kuat-kuat. Matanya menunjukkan amarah dan kekhawatiran.
Decklan bisa lihat itu
Ia makhlum Danzel bersikap seperti itu. Pasalnya Chaby berbeda dengan kebanyakan gadis lainnya.
Sementara Chaby?
Gadis itu hanya menunduk takut-takut dan merasa bersalah. Ia tahu kakaknya khawatir, tapi ia juga takut dimarahi.
"Maafin Chaby kak." gumamnya pelan meminta maaf, wajahnya ditekuk.
Danzel mendesah pelan. Tangannya menggapai pergelangan tangan gadis itu.
"Kamu tahu kan kakak cuma punya kamu, jangan bikin kakak khawatir lagi." ucapnya lembut mengusap-usap puncak kepala Chaby penuh sayang. Tindakannya tak luput dari perhatian Decklan.
Pandangan Danzel berpindah ke Decklan. Alisnya terangkat. Ia penasaran kenapa pria itu bersama Chaby. Sepertinya mereka saling kenal.
"Kenalin ini kak Decklan, yang beliin Chaby ice cream." seru Chaby polos.
Decklan mendengus pelan menatap gadis itu. Perkenalan apaan tuh, yang ada kakaknya bakalan mikir kalo dia cuma pria brengsek yang mau mengambil untung dari gadis cantik yang polos. Sih Chaby ini minta di jitak kepalanya kali yah.
"Gue kakaknya Pika." ucap Decklan menjelaskan. Ia tidak mau Danzel salah paham dengan mengira yang bukan bukan.
Danzel berpikir sebentar kemudian tersenyum tipis.
"Oh iya gue inget. Pika pernah nyebutin nama lo." ujar Danzel setelah mengingat penjelasan Pika tentang seragam olahraga yang dipakai Chaby tadi siang yang ternyata milik pria didepannya ini.
Perasaan curiganya mendadak hilang. Entah kenapa ia bisa merasakan ada ketulusan di mata pria itu.
"Thanks udah temenin adek gue." katanya lagi. Decklan balas tersenyum. Matanya beralih ke Chaby lagi.
"Dengerin tuh kakak kamu, jadi anak yang patuh." katanya ke gadis itu lalu mengusap pelan rambutnya. Chaby membalas dengan cengiran lebar di wajahnya.
Decklan kembali melirik Danzel.
"Gue balik duluan." pamitnya.
Danzel mengangguk menatapi Decklan yang berbalik pergi. Tangannya menjinjing sebuah kantong plastik besar, entah apa isinya.
Danzel tersenyum tipis. Tampaknya ada pria yang tertarik pada adik kesayangannya ini.
Ia bisa menebak dengan sekali melihat perlakuan pria itu. Pandangannya berpindah ke Chaby.
Gadis ini memang menarik dan manis tapi sikapnya kekanakkan, penakut dan sangat manja. Danzel tidak menyangka seorang pria yang tampaknya tak tersentuh itu memiliki selera seperti adiknya ini.
"Kakak udah kelar meetingnya?"
Pertanyaan itu menyadarkan Danzel. Pandangannya turun ke Chaby tapi otaknya sibuk berpikir. Ia baru ingat sudah meninggalkan kliennya tadi karena khawatir mencari adiknya ini.
Tangannya merogoh saku celana, mengambil hpnya dan menelpon seseorang. Mungkin kliennya tadi, pikir Chaby yang melihat kesibukan kakaknya sekarang. Ia bisa mendengar Danzel berbicara tentang bisnis dengan orang diseberang sana.
Gadis itu memainkan bibirnya maju mundur sambil menunggu kakaknya selesai menelpon, tangannya menggenggam sebelah tangan Danzel yang tak pegang apa-apa dan memain-mainkan jari-jari tangan pria itu seperti yang biasa ia lakukan kalau tidak ada kerjaan.
Pandangan Danzel turun ke Chaby yang masih sibuk sendiri dengan kegiatannya. Otaknya berpikir keras. Sebenarnya ia bingung harus bagaimana sekarang, ia punya urusan penting yang harus ia urus malam ini diluar kota dan Galen sedang tidak ada di Jakarta. Pastinya ia tidak bisa menggantikannya menemani Chaby.
Pria itu tidak mungkin meninggalkan adiknya sendirian kan? Tadi saja ketemu klien dia harus bawah. Tapi akan lebih sulit lagi kalau Chaby ikut dia ke luar Kota. Ia akan sibuk sekali dengan pekerjaannya disana dan tidak ada waktu menjaga adiknya disaat yang bersamaan.
"Kakak, kita nggak pulang?"
Pertanyaan itu menyadarkan Danzel. Pandangannya turun menatap adiknya namun otaknya masih sibuk memikirkan jalan keluar.
Tiba-tiba ia teringat teman Chaby yang bernama Pika itu.
😭😭😭😭😭😭