dayn seorang anak SMA intorvert yang memiliki pandangan hidup sendiri itu lebih baik daripada berinteraksi dengan orang lain, tapi suatu hari pandangan hidupnya berubah semenjak bertemu dengan seorang gadis yang juga bersekolah di sekolah yang sama, dan disinilah awal mula ceritanya dayn merubah pandangan hidupnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hamdi Kun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah baru yang cukup sulit
Setelah beberapa saat menenangkan diri di belakang sekolah, bel masuk berbunyi, memecah suasana hening di antara kami bertiga. Meira berdiri dari bangku kayu dengan senyum tipis, sedangkan Rika merapikan rambutnya sambil melirik ke arahku.
“Kita harus kembali ke kelas,” ucap Meira pelan, suaranya sedikit menyesal karena harus mengakhiri momen tenang ini.
Rika mengangguk setuju, lalu melirikku dengan ekspresi khawatir. “Dayn, aku antar kamu ke kelas, ya? Biar aku pastikan kamu aman sampai di sana.”
Aku menggeleng, memberikan senyuman kecil untuk meyakinkan mereka. “Nggak perlu. Aku bisa sendiri. Lagi pula, seperti yang aku bilang tadi, sekarang aku sudah tahu cara menghadapi mereka.”
Meira tampak ragu, tapi akhirnya mengangguk. “Baiklah, kalau itu maumu. Tapi kalau ada apa-apa, langsung panggil kami, ya.”
“Jangan terlalu keras kepala, Dayn,” tambah Rika dengan nada serius. “Kamu memang sudah berani melawan, tapi itu bukan berarti kamu harus menghadapi semuanya sendirian.”
Aku hanya mengangguk kecil sebelum berbalik menuju kelasku. Rika dan Meira pun berjalan menuju kelas mereka masing-masing, meski aku bisa merasakan tatapan mereka yang masih khawatir saat aku melangkah menjauh.
Namun, saat aku berjalan di lorong menuju kelas, sesuatu yang tidak kuinginkan terjadi. Seseorang menyandung kakiku dengan sengaja. Aku terjatuh, buku-buku yang kubawa berserakan di lantai. Terdengar tawa keras dari belakangku.
“Lihat, si pecundang jatuh lagi!” suara salah satu dari mereka mengejek, diikuti oleh suara tawa lainnya.
Aku bangkit perlahan, menahan rasa sakit di lututku akibat terjatuh. Ketika aku menoleh, aku mengenali wajah-wajah mereka. Mereka adalah beberapa murid dari kelasku sendiri. Salah satu dari mereka, seorang siswa dengan tubuh besar dan sikap arogan, melipat tangan sambil menyeringai puas.
“Heran, ya,” katanya sambil melirik sinis. “Cowok cupu kayak kamu bisa bikin Rika dan Meira peduli. Apa mereka kasihan sama kamu?”
Tawa mereka kembali meledak, dan aku merasakan kemarahan mendidih di dadaku. Tapi kali ini, aku tidak berniat untuk diam saja. Aku mengepalkan tangan, menatap mereka tajam.
“Kenapa kalian selalu merasa lebih baik dengan merendahkan orang lain?” tanyaku, suaraku sedikit gemetar, tapi aku mencoba tetap tenang. “Apa itu satu-satunya cara kalian merasa berarti?”
Salah satu dari mereka, yang berdiri di samping siswa bertubuh besar, menatapku dengan tatapan meremehkan. “Berarti? Kami cuma nggak suka lihat orang kayak kamu dapat perhatian lebih dari dua cewek populer. Itu nggak adil.”
“Kalau kalian nggak suka, itu urusan kalian,” kataku tegas. “Tapi berhenti mengganggu aku. Aku tidak punya urusan dengan kalian.”
Sikapku yang lebih berani membuat mereka terkejut sesaat, tapi siswa bertubuh besar itu segera mendekat, menatapku dengan tatapan penuh amarah. “Kamu berani ngomong kayak gitu, hah? Kamu pikir kamu siapa?”
Aku tidak mundur. “Aku Dayn. Dan aku nggak akan membiarkan kalian terus memperlakukan aku seperti ini.”
Ketegangan di antara kami semakin meningkat. Beberapa siswa lain yang lewat di lorong mulai memperhatikan. Bisikan-bisikan mulai terdengar, tapi aku tidak peduli. Aku sudah lelah menjadi sasaran ejekan mereka.
Salah satu dari mereka mengulurkan tangan, seolah-olah ingin menarik kerah bajuku. Aku mundur selangkah, mencoba menjaga jarak. Namun, sebelum situasi menjadi lebih buruk, suara lantang dari arah lain memotong suasana.
“APA YANG KALIAN LAKUKAN DI SANA?!”
Semua orang di lorong menoleh ke arah sumber suara. Seorang guru laki-laki berjalan cepat mendekati kami dengan ekspresi marah. Wajahnya tegas, matanya menatap kami satu per satu.
“Kalian pikir ini tempat untuk berkelahi?” bentaknya. “Kalian seharusnya sudah di kelas sekarang! Bel sudah berbunyi!”
Aku segera menunduk, mencoba menenangkan diri. Para siswa yang menggangguku terlihat gelisah, tapi mereka mencoba menyembunyikannya dengan sikap acuh.
“Kembali ke kelas kalian sekarang juga!” perintah guru itu dengan nada tegas.
Tanpa banyak bicara, mereka segera pergi, meninggalkanku dengan sisa-sisa kemarahan yang masih terasa di dadaku. Aku menghela napas panjang, merasa lega sekaligus frustrasi. Guru itu menatapku sejenak sebelum berkata dengan nada lebih lembut, “Kamu baik-baik saja?”
Aku mengangguk. “Ya, Pak. Terima kasih.”
“Kalau ada masalah lagi, langsung lapor ke guru, ya,” katanya sebelum berjalan pergi.
Aku mengumpulkan buku-bukuku yang berserakan di lantai, lalu melanjutkan langkah menuju kelas. Di dalam hati, aku merasa lega karena berhasil melawan, tapi aku tahu ini belum berakhir. Mereka mungkin akan mencoba lagi di lain waktu.
Ketika aku sampai di kelas, suasana di dalam ruangan sudah tenang. Aku duduk di kursiku, mencoba fokus pada pelajaran. Namun, pikiranku masih dipenuhi oleh kejadian tadi. Bagaimanapun, aku tahu ini adalah bagian dari proses. Langkah kecil untuk menjadi lebih kuat.
Aku menoleh ke arah jendela, melihat langit cerah di luar. Dalam hati, aku berjanji pada diriku sendiri untuk terus maju. Untuk Rika, untuk Meira, tapi yang paling penting, untuk diriku sendiri.
episode 21 bersambung......