Hujan deras di tengah malam menyatukan langkah dua orang asing, Dasha dan Gavin di bawah payung yang sama. Keduanya terjebak di sebuah kafe kecil, berbagi cerita yang tak pernah mereka bayangkan akan mengubah hidup masing-masing.
Namun hubungan mereka diuji ketika masa lalu Gavin yang kelam kembali menghantui, dan rahasia besar yang disimpan Dasha mulai terkuak. Saat kepercayaan mulai retak, keduanya harus memilih menghadapi kenyataan bersama atau menyerah pada luka lama yang terus menghantui.
Mampukah Dasha dan Gavin melawan badai yang mengancam hubungan mereka? Ataukah hujan hanya akan menjadi saksi bisu sebuah perpisahan?
Sebuah kisah penuh emosi, pengorbanan, dan perjuangan cinta di tengah derasnya hujan. Jangan lewatkan perjalanan mereka yang menggetarkan hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Di sebuah rumah megah dengan taman luas, Gavin dan Clara menjalani kehidupan pernikahan mereka yang bahagia. Gavin adalah pria pekerja keras, pemimpin perusahaan keluarga yang ia bangun bersama ayahnya. Sementara itu, Clara adalah wanita penuh semangat, yang mendedikasikan waktunya sebagai ibu rumah tangga.
“Clara, kamu tahu apa yang membuatku paling bahagia?” tanya Gavin suatu malam, saat mereka duduk di ruang keluarga sambil menatap langit berbintang dari jendela besar rumah mereka.
Clara tersenyum, menatap Gavin dengan tatapan penuh cinta. “Apa itu?”
“Melihat kamu tersenyum seperti ini. Dan membayangkan kehidupan kita bersama Nathan yang akan segera lahir.”
Clara meraih tangan Gavin, menggenggamnya erat. “Aku juga bahagia, Gav. Aku tahu kamu selalu bekerja keras untuk keluarga kita. Aku beruntung punya kamu.”
Beberapa bulan kemudian, kebahagiaan mereka semakin lengkap dengan kelahiran Nathan, bayi laki-laki dengan mata biru cerah yang menjadi pusat dunia mereka. Clara menghabiskan waktu untuk mengasuh Nathan dengan penuh kasih sayang, sementara Gavin terus bekerja keras untuk memastikan keluarga kecil mereka memiliki segalanya.
Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama.
Beberapa bulan setelah Nathan lahir, perusahaan keluarga Gavin menghadapi masalah besar. Salah satu mitra bisnis utama mereka menarik diri dari proyek besar, menyebabkan kerugian finansial yang tidak terduga. Gavin harus bekerja siang dan malam untuk menyelamatkan perusahaannya, sementara gaya hidup mewah keluarga mereka perlahan mulai berubah.
“Gavin, aku nggak percaya kita nggak bisa pergi liburan tahun ini,” kata Clara dengan nada kesal suatu malam. “Kita selalu pergi, bahkan sebelum Nathan lahir.”
Gavin menatap Clara dengan lelah. “Clara, aku tahu ini sulit. Tapi kita harus fokus menyelamatkan perusahaan. Aku berjanji, semuanya akan kembali seperti dulu.”
Clara mendesah panjang, tangannya memeluk Nathan yang tertidur di pangkuannya. “Kamu selalu bilang begitu. Tapi kapan? Aku lelah hidup seperti ini.”
Gavin merasa sakit mendengar keluhan istrinya, tapi ia tahu tidak ada jawaban mudah untuk masalah ini. Ia berharap Clara bisa bersabar.
Namun, harapan itu pupus. Semakin hari, Clara semakin murung. Ia mengurung diri di kamar, menghindari berbicara dengan Gavin, bahkan jarang mengurus Nathan. Gavin berusaha keras menjaga keluarganya tetap utuh, tetapi Clara seolah semakin jauh.
Suatu pagi, Gavin bangun lebih awal dari biasanya. Ia turun ke ruang makan untuk membuat kopi, tetapi yang ia temukan hanyalah sebuah surat di atas meja.
"Gavin, maafkan aku. Aku nggak sanggup lagi menjalani hidup ini. Aku harap kamu dan Nathan bisa bahagia tanpa aku. Jangan cari aku."_
Surat itu membuat Gavin terduduk lemas. Ia tidak bisa mempercayai apa yang ia baca. Ia mencoba menghubungi Clara berkali-kali, tetapi semua usahanya sia-sia. Clara benar-benar pergi.
Hari-hari setelah itu terasa seperti mimpi buruk bagi Gavin. Ia harus mengurus Nathan sendirian sambil tetap berjuang membangkitkan perusahaannya. Ia tidak tahu dari mana ia mendapatkan kekuatan, tetapi Nathan adalah alasan utamanya untuk terus maju.
Beberapa bulan setelah kepergian Clara, seorang pria tak dikenal datang ke rumah Gavin membawa kabar buruk.
“Mr. Gavin?” pria itu menyapa dengan nada formal.
“Iya, saya Gavin,” jawab Gavin, meskipun ia sudah merasa firasat buruk dari wajah dingin pria itu.
“Saya datang atas nama Clara. Ini surat cerai untuk Anda. Dia meminta Anda untuk menandatanganinya.”
Gavin membuka amplop itu dengan tangan gemetar. Matanya terpaku pada tulisan tangan Clara yang ia kenali dengan baik. Clara ingin mengakhiri semuanya, termasuk hubungan mereka sebagai keluarga. Dalam surat itu, ia menegaskan bahwa ia telah memulai hidup baru dan tidak ingin kembali.
Hati Gavin remuk. Tetapi ia tahu, tidak ada gunanya memohon pada seseorang yang hatinya sudah tidak ada di tempat itu. Dengan berat hati, ia menandatangani surat tersebut dan memutuskan untuk melanjutkan hidup bersama
Di tengah perjuangannya sebagai ayah tunggal, Gavin bertemu Dasha, seorang karyawan baru di perusahaannya. Awalnya, hubungan mereka murni profesional. Namun, Dasha menunjukkan perhatian khusus pada Nathan. Ia sering datang ke rumah Gavin untuk membantu merawat Nathan saat Gavin harus lembur di kantor.
“Dasha, aku tahu ini bukan tugasmu, tapi terima kasih sudah membantu Nathan,” kata Gavin suatu malam saat Dasha menidurkan Nathan.
“Gavin, Nathan itu anak yang luar biasa. Aku senang bisa ada untuknya. Dan... kamu tidak perlu selalu merasa sendiri,” jawab Dasha dengan senyuman lembut.
Perlahan, hubungan mereka berkembang. Nathan mulai memanggil Dasha “Mama,” sesuatu yang membuat Gavin tersentuh. Dasha tidak pernah mencoba menggantikan Clara, tetapi ia memberikan cinta dan perhatian yang Nathan butuhkan. Kehadiran Dasha membawa kedamaian baru dalam hidup Gavin.
Namun, kebahagiaan itu terusik saat Clara tiba-tiba muncul kembali di depan rumah Gavin, bertahun-tahun setelah ia pergi.
“Gavin,” panggil Clara, matanya penuh penyesalan. “Aku ingin Nathan kembali. Aku ibunya.”
Gavin menatap Clara dengan tajam. “Ibu? Kau meninggalkannya saat dia baru berumur tiga bulan. Apa kau tahu bagaimana sulitnya aku membesarkannya sendiri?”
“Aku tahu aku salah, Gavin,” kata Clara dengan suara bergetar. “Tapi aku berubah. Aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin Nathan mengenal ibunya.”
Dasha, yang mendengar percakapan itu dari dalam, keluar dengan wajah tegas. Ia berdiri di samping Gavin, memeluk Nathan yang terlihat bingung melihat wanita asing itu.
“Clara,” kata Dasha dengan tenang, “Nathan adalah anak yang bahagia sekarang. Jangan merusak itu.”
Konflik pun dimulai. Gavin dan Dasha harus melindungi Nathan dari ancaman Clara yang kini berusaha mendapatkan kembali anak yang pernah ia tinggalkan. Namun Gavin tahu, tidak ada yang lebih penting selain kebahagiaan dan keamanan Nathan, apa pun yang terjadi.
.
.
.
.
Clara memandang ke arah Nathan yang meringkuk di sudut ruangan. Mata anak itu sembab, isaknya masih terdengar meskipun sudah semakin pelan. Seluruh ruangan terasa hampa, sepi, dan penuh dengan ketegangan.
"Kenapa kamu nggak bisa lihat aku sebagai ibumu, Nathan? Aku ini ibumu! Aku yang melahirkanmu!" Clara berkata dengan nada putus asa, tapi Nathan hanya menggigil ketakutan, tidak berani menatapnya.
"Bunda Dasha aku mau Mama Bunda." gumam Nathan sambil menangis pelan, memeluk boneka kecil yang selalu ia bawa.
Hati Clara terasa seperti dihantam batu besar. Mendengar nama Dasha keluar dari mulut Nathan, ia merasakan sakit yang begitu dalam. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini adalah hal yang benar, bahwa ia berhak atas Nathan. Tapi apa yang ia dapatkan? Anak itu tidak memanggilnya "Mama," bahkan tidak mau mendekatinya.
“Aku melakukan ini untukmu, Nathan...” bisik Clara, lebih kepada dirinya sendiri. "Aku ingin kita bersama lagi... seperti seharusnya."
Namun, saat Clara menatap Nathan yang terus menangis, ia mulai menyadari sesuatu. Anak ini tidak bahagia. Semua tindakannya, semua usahanya untuk merebut Nathan kembali, tidak membawa kebahagiaan apa pun, hanya ketakutan dan trauma.
"Clara, apa yang kamu lakukan?" ia berbisik kepada dirinya sendiri, tangan gemetar. Ia duduk di lantai, menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
Bayangan masa lalunya menyeruak ke pikirannya. Ia ingat bagaimana Gavin selalu berusaha mempertahankan keluarganya, bagaimana ia sendiri yang memilih untuk pergi. Ia meninggalkan Nathan di saat anak itu membutuhkan ibunya, dan sekarang ia kembali, berharap segalanya akan berjalan sesuai keinginannya.
Clara menangis tersedu-sedu. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya. Ia merasa seperti monster.
"Nathan, aku minta maaf." suaranya hampir tidak terdengar. Ia merangkak mendekati anak itu, tetapi Nathan semakin mundur, matanya penuh ketakutan. "Aku minta maaf, sayang Aku tidak bermaksud membuatmu takut."
Nathan tidak menjawab, hanya semakin memeluk bonekanya erat-erat.
Saat itu, suara sirene polisi terdengar dari kejauhan. Clara tahu, Gavin pasti sudah mencarinya. Ia menatap Nathan, yang kini memandangnya dengan air mata bercucuran. Dalam hati, Clara tahu satu hal: Nathan tidak pantas menjalani ini.
Ketika Gavin dan Dasha masuk ke rumah dengan hati-hati, mereka mendapati Clara terduduk di lantai, wajahnya penuh air mata. Nathan langsung berlari ke arah Dasha, memeluknya erat.
"Bunda! Bunda Dasha!” Nathan menangis, membuat Dasha semakin mengeratkan pelukannya.
Clara menatap pemandangan itu dengan pilu. "Aku aku minta maaf" katanya, suaranya bergetar.
Gavin berdiri di depan Clara, matanya penuh kemarahan. "Kamu pikir dengan menculik Nathan, kamu bisa mendapatkan apa yang kamu mau? Kamu sudah cukup menghancurkan hidupnya!"
"Aku tahu!" Clara membalas dengan suara parau. "Aku tahu aku salah, Gavin. Aku tahu aku egois. Tapi aku hanya ingin dia tahu siapa ibunya"
"Dia tahu," potong Dasha tegas. "Dia tahu siapa yang merawatnya, siapa yang ada untuknya saat kamu meninggalkannya. Itu yang dia anggap sebagai ibunya."
Clara terdiam. Air matanya mengalir semakin deras. Ia tahu semua kata-kata itu benar.
"Aku tidak pantas menjadi ibunya" gumam Clara akhirnya. "Aku meninggalkannya. Aku meninggalkan kalian. Aku cuma ingin memperbaikinya, tapi aku malah merusaknya lebih jauh."
Gavin menatap Clara dengan tajam, tetapi ada secercah rasa iba dalam hatinya. "Kalau kamu benar-benar mencintai Nathan, Clara, kamu harus belajar melepaskannya. Dia butuh kebahagiaan, bukan kekacauan."
Clara menunduk, menatap tangannya yang gemetar. Ia merasa begitu kecil, begitu tidak berharga. Ia tahu Gavin benar.
Polisi masuk ke ruangan, dan Clara tidak melawan ketika mereka membawanya pergi. Sebelum pergi, ia sempat menoleh ke arah Nathan yang berada di pelukan Dasha. "Nathan Mama minta maaf Mama cuma ingin kamu bahagia."
Nathan hanya menatapnya dengan bingung, terlalu muda untuk memahami semuanya.
Hari-hari berikutnya dihabiskan Clara dalam refleksi mendalam. Ia mengikuti terapi yang disarankan pengacaranya, mencoba memperbaiki dirinya, meskipun ia tahu tidak akan ada jalan kembali.
Gavin dan Dasha terus menjaga Nathan, memastikan anak itu merasa aman dan dicintai. Mereka memutuskan untuk tidak menyembunyikan keberadaan Clara dari Nathan, tetapi juga tidak memaksanya untuk memahami terlalu dini.
Di sebuah sesi terapi, Clara menangis di hadapan konselornya. "Aku hanya ingin Nathan tahu bahwa aku menyesal. Aku tidak ingin dia membenciku meskipun aku tahu aku pantas dibenci."
Penyesalan Clara menjadi pelajaran pahit baginya, tetapi ia tahu, mencintai Nathan berarti membiarkannya tumbuh dengan orang-orang yang bisa memberinya kebahagiaan. Sementara itu, Gavin dan Dasha memastikan Nathan tumbuh dengan penuh cinta, tanpa harus terikat oleh masa lalu yang menyakitkan.
.
.
.
Ini sedikit kisah tentang Clara dan Gavin ya gaiss.....