Di Bawah Umur Harap Minggir!
*****
Salahkah bila seorang istri memiliki gairah? Salahkah seorang istri berharap dipuaskan oleh suaminya?
Mengapa lelaki begitu egois tidak pernah memikirkan bahwa wanita juga butuh kepuasan batin?
Lina memiliki suami yang royal, puluhan juta selalu masuk ke rekening setiap bulan. Hadiah mewah dan mahal kerap didapatkan. Namun, kepuasan batin tidak pernah Lina dapatkan dari Rudi selama pernikahan.
Suaminya hanya memikirkan pekerjaan sampai membuat istrinya kesepian. Tidak pernah suaminya tahu jika istrinya terpaksa menggunakan alat mainan demi mencapai kepuasan.
Lambat laun kecurigaan muncul, Lina penasaran kenapa suaminya jarang mau berhubungan suami istri. Ditambah lagi dengan misteri pembalut yang cepat habis. Ia pernah menemukan pembalutnya ada di dalam tas Rudi.
Sebenarnya, untuk apa Rudi membawa pembalut di dalam tasnya? Apa yang salah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: Misteri Pembalut yang Hilang
"Ini kita beneran mau menerima ajakan Dara, Mas? Kita kan ada jadwal cek kesehatan," ujar Lina sembari menyisir rambutnya.
"Itu kan bisa kapan-kapan dilakukan. Ajakan tetangga juga tidak setiap hari. Kita ikuti saja untuk menghormati," tutur Rudi yang sibuk memilih pakaian untuk dikenakan.
"Tapi pemeriksaan lanjutan ini juga penting, Mas. Apalagi kamu kelihatannya semakin parah. Masa susah berdiri," ucap Lina.
Rudi berhenti memilih baju dalam lemari. Akhirnya ia mengambil salah satu secara sembarang. Ucapan Lina barusan benar-benar menohok.
Ia mengenakan kaosnya lalu menghampiri Lina seraya berlutut di hadapan sang istri. Ia raih tangannya sembari menatapnya sungguh-sungguh.
"Maaf ya, Sayang. Aku sering membuatmu kecewa," ucapnya dengan raut wajah memelas.
"Bukan begitu maksudku, aku tidak sedang menyalahkanmu, Mas. Tapi, semakin cepat kita tahu masalahnya apa, semakin cepat diobati," kata Lina. Ia tak ingin membuat suaminya salah paham.
Rudi tersenyum. "Iya, Sayang. Aku tahu kamu sangat peduli padaku. Tapi, sementara ini, kita abaikan hal itu dulu, ya! Lebih baik kita bersiap-siap untuk jalan-jalan dengan tetangga," bujuknya.
Lina mengalah. Ia menganggukkan kepala menyetujui kemauan Rudi.
"Ayo kita pergi sekarang!" ajak Rudi.
"Iya, kamu duluan saja. Aku mau ke toilet dulu sebentar," ucap Lina.
"Kalau begitu, aku ke depan duluan menemui Dara dan Trian," kata Rudi.
Lina mengangguk setuju. Ia berjalan ke arah kamar mandi sedangkan Rudi keluar dari kamar.
Setelah selesai buang air kecil, Lina mengambil tasnya dari atas ranjang. Ia cek isinya, sudah ada ponsel dan dompet. Ia beralih ke arah rak dikamarnya. Ia tarik laci untuk mengambil pembalut.
Ia mengernyitkan dahi. "Kok sudah berkurang? Perasaan kemarin masih penuh. Aku kan baru membelinya?" gumamnya.
Ia heran kenapa pembalut di rumahnya cepat habis. Padahal setiap kali datang bulan juga tidak sebanyak itu ia memakainya.
"Masa Mas Rudi, sih ...." pikirnya.
Di rumah itu, hanya ada dia dan Rudi. Tapi, Rudi seorang lelaki. Aneh jika memakai pembalut. Untuk apa? Setahu dia lelaki tidak mungkin datang bulan.
Lina sampai berpikir keras. Kalau bukan suami pelakunya, mana mungkin ada hantu yang doyan pembalut baru.
"Apa mungkin ada kuntilanak datang bulan? Masa iya?" Lina tertawa geli sendiri dengan pikirannya yang aneh.
"Ah, sudahlah!" Lina tak mau memperpanjang kepusingan memikirkannya. Ia mengambil satu pembalut dan memasukkannya ke dalam tas.
Lina menyusul suaminya keluar rumah. Tak lupa ia mengunci pintu. Di depan rumah sudah ada mobil Trian yang siap berangkat. Rudi juga sudah masuk ke dalam. Lina menyusul masuk.
"Jadi kita kan, ke taman hiburan?" tanya Dara memastikan. Ia dan trian duduk di depan sementara Rudi dan Lina duduk di belakang.
"Boleh, tapi jangan ajak aku naik wahana yang ekstrem," pinta Lina.
"Hahaha ... Kenapa? Kamu takut, ya?" ledek Dara.
"Kita kan mau ke taman hiburan, bukan ke taman ketakutan, Dara. Jadi nanti cari saja wahana-wahana yang menyenangkan," pinta Lina.
"Oke, demi tetangga yang baik aku turuti. Ayo jalan!" kata Dara dengan penuh semangat.
***
Setibanya di tempat tujuan, Trian yang membayar seluruh tiket mereka. Suasananya cukup padat karena akhir pekan.
Lina memperhatikan keceriaan Dara yang enerjik dan tidak melepaskan tangannya dari lengan Trian. Melihat pemandangan seperti itu, Lina tak bisa percaya seperti apa kelakuan Dara di balik sikapnya. Ia juga heran kenapa Trian begitu santai dan tanpa beban menghadapi Dara.
"Hey, kok kamu melamun? Kenapa?" tegur Rudi.
Lina segera menepis pikirannya kemana-mana. Ia mengeratkan pelukannya pada lengan Rudi.
"Tidak apa-apa, Sayang. Aku hanya kaget di sini sangat ramai," kilah Lina.
Rudi menjadi tergugah jika selama pindah ia belum sempat mengajak Lina kemanapun. Ini pertama kalinya mereka jalan-jalan. Tapi, mereka jalan berempat.
"Lain kali kita pergi berdua ke tempat-tempat yang bagus, ya! Tunggu aku kalau ada libur kerja. Aku akan mengajakmu ke pantai, gunung, akuarium, dan kebun binatang. Atau ada tempat lain yang ingin kamu kunjungi di kota ini?" tanya Rudi.
Lina tersenyum senang. "Kemana saja boleh. Kamu sudah ada waktu luang untuk bersama aku juga sudah senang."
"Hei, kita naik sampan, yuk! Kayaknya seru!" ajak Dara penuh semangat.
Ia menunjukkan jarinya ke arah kanan, ada wahana perahu sampan yang bisa disewa dengan tarif 25 ribu per sampan.
Mereka menyewa dua sampan untuk berkeliling kanal buatan di taman hiburan itu. Dara dan Trian ada di perahu depan sedangkan Lina dan Rudi ada di perahu belakang.
Lina menyandarkan kepalanya pada bahu Rudi. Ia senang sekali bisa menikmati akhir pekan secara romantis sembari menikmati pohon tabebuya di pinggiran kanal yang sedang berbunga.
"Kalau kita punya anak nanti, aku ingin mengajaknya naik perahu bersama seperti ini. Di sini bagus sekali," ucap Lina.
"Kenapa sih tiba-tiba bahas anak?" celetuk Rudi. Ia heran kenapa Lina bisa berpikiran seperti itu padahal mereka sedang berlibur.
"Memangnya kenapa? Aku kan hanya berharap. Kamu jangan salah paham, ya. Aku bukan memaksa untuk cepat-cepat punya anak," tepis Lina. Ia tidak menyangka jika perkataannya yang spontan bisa membuat Rudi seperti tersinggung.
"Sebenarnya kamu mau punya anak atau tidak?" tanya Lina.
"Aku mau," jawab Rudi.
"Jadi, kenapa kamu tidak suka setiap kali aku membahas tentang anak?" protes Lina.
"Bukan kesal, tapi aku rasa ada waktu yang tepat untuk membahasnya. Kita kan sedang liburan, kita mau bersenang-senang. Masalah anak kan sering membuat kamu sedih. Jadi, aku rasa masalah anak jangan kita bahas di sini. Lebih baik kita fokus bersenang-senang," pinta Rudi.
"Iya sih, kamu benar juga," ucap Lina. Ia mencoba memahami perkataan suaminya. Memang apa yang dikatakannya benar.
Rudi mengusap kepala Lina seraya mencium dahinya. "Kalau memang sudah waktunya, kita akan memiliki anak," ucapnya.
"Iya, Mas." kata Lina.
"Kamu lihat deh, Dara dan Trian yang sudah lebih lama menikah dari kita. Mereka sudah menikah lima tahun, tapi belum memiliki anak. Mereka kelihatan baik-baik saja, bahkan sangat romantis. Kita kan belum ada satu tahun menikah, jadi bersabarlah dulu. Toh aku dan keluargaku juga tidak pernah menuntutmu untuk cepat hamil," nasihat Rudi.
Lina terdiam. Ia ikut memperhatikan keromantisan Dara dan Trian yang ada di depannya. Mereka memang tampak sangat bahagia. Akan tetapi, karena ia sudah tahu ceritanya, ia tak bisa menjadikan mereka sebagai sumber motivasi. Ia benar-benar ingin memiliki anak. Ia ingin mengurusi anak dan mengurusi rumah juga mengurusi suami dengan tangan sendiri.