Seorang arsitek muda bersedia mengikuti rencana iseng temannya dalam sebuah perjodohan atas dasar peduli teman. Namun siapa sangka, rencana tersebut malah menyebabkan konflik serta membongkar kasus yang melibatkan beberapa oknum pengusaha dan aparat. Bahkan berujung pada terancamnya kerajaan bisnis dari sebuah keluarga keturunan bangsawan di Perancis.
Bagaimana akhir dari rencana mereka? Simak kisah seru mereka di novel ini. (un) Perfect Plan. Semoga terhibur...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puspa Indah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGIAN 21
"Eh, Mbak Mita sudah datang ya? Mari Mbak, silahkan masuk. Maaf, anak saya kayaknya lagi rewel nih", ucap Zaki tak enak sambil tangannya masih menimang-nimang Chika.
Mita hanya mengangguk seraya tersenyum lalu beranjak dari tempatnya berdiri. Belum sampai kakinya menyentuh teras, terdengar lagi komplain dari mulut Rizal.
"Kamu ngapain ngundang dia ke sini?! Ada urusan apa dia kemari?" memang Rizal bermaksud bicara pada Zaki, tapi jelas sekali kata-katanya bahkan pandangannya tertuju pada Mita.
Mita merasa dongkol karenanya. Dia tak menyangka kalau mulut Rizal sepedas cabai Californian Ripper.
"Nanti kita omongin bang, sekarang masuk dulu. Masa tamu dibiarin di luar, kan gak sopan. Mari Mbak"
Mita kemudian meneruskan langkahnya mengikuti Zaki dan Mama Chika. Tak lupa ia meninggalkan tatapan sinis untuk Rizal. Rizal benar-benar kesal dibuatnya.
"Silakan duduk dulu Mbak. Oh, ya kenalkan ini isteri dan anak saya. Kalau itu.. kakak ipar saya, abangnya Mama Chika. Mbak sudah pernah ketemu kan? Anggota Bareskrim, baik, ganteng, dan yang paling penting, masih bujangan Mbak", ucap Zaki terkekeh menatap Rizal yang membalas dengan melotot ke arahnya.
Mita hanya tersenyum tipis, dalam hatinya dia baru mengerti kebingungan yang sempat dialaminya di luar tadi. Ternyata polisi galak itu masing bujangan.
Eh, memangnya kenapa kalau dia masih bujangan? Apa urusannya dengan dirinya?
"Bicaranya nanti aja yang Mbak, sekarang kita makan dulu. Mama Chika dah siapin makan siang istimewa buat kita", Zaki terlihat antusias.
"Eh Zak, kamu lupa ya siapa dia? Mungkin bagi kita itu menu istimewa. Tapi bagi dia cuma menu biasa sajian sehari-hari di rumahnya. Gak usah berlebihan kamu" Rizal merasa jengah dengan Zaki yang sepertinya menganggap Mita tamu istimewa.
"Oh, Mm.. maaf Mbak. Saya kok gak kepikiran begitu tadi ya? Tapi... biar menu biasa, semoga Mbak Mita suka. Mama Chika pintar masak loh", puji Zaki sambil memandang isterinya.
Mita menghela nafasnya.
"Kamu ngundang aku ke sini mau ngomongin masalah Arya atau latar belakangku Zak?", Mita sudah tak bisa menahan kekesalannya.
"Dan kamu Tuan Sok Tahu. Lebih baik kamu diam sebelum kamu menyesal akibat ocehan kamu sendiri. Aku masih menahan diri karena kamu saudaranya Zaki", ancam Mita dengan tatapan tajam ke arah Rizal.
Zaki mulai panik melihat situasi di hadapannya. Sementara isterinya bingung melihat sikap Mita dan Rizal yang sepertinya tak akur.
"Ah ha! Lihat siapa yang bicara. Nona Sok Kuasa yang merasa bisa berbuat semaunya kapan saja dan dimana saja", Rizal tak terima dan mendekati Mita dengan tatapan tak kalah sengit.
"Kamu kira aku takut dengan ancaman begitu hah?! Kamu salah orang!", bentaknya kasar.
Mita mundur selangkah sambil menelan ludahnya. Menghadapi sikap Rizal yang seperti itu jujur membuatnya sedikit gentar. Matanya pun kini mulai terasa panas. Tak pernah dia mengalami perlakuan kasar dari orang lain sebelumnya.
"Eh.. stop, stop. Sudah Bang, Mbak. Jangan berantem lagi. Kita kan di sini mau makan-makan. Ayo Mbak Mita, silahkan ke ruang makan"
Zaki gugup melihat perseteruan keduanya, kemudian memberi isyarat pada Mama Chika untuk mengajak Mita ke meja makan.
Setelah kedua wanita itu berlalu, Zaki menghampiri Rizal.
"Bang, please.. aku perlu dia untuk membuktikan kalau Arya gak bersalah", Zaki memelas pada Rizal.
"Tapi sikapnya itu benar-benar bikin aku jengkel Zak"
"Iya.. iya.. aku tahu Bang", Zaki mencoba menenangkan Rizal yang masih terlihat emosi.
"Dia tumbuh di lingkungan keluarga yang jauh berbeda dengan kita Bang. Walau sikapnya gitu, sebenarnya dia orangnya baik kok. Kumohon Abang bisa lebih sabar ke dia, karena sebenarnya dia sekarang juga ada di situasi yang gak enak. Ada dugaan kalau Ayah tirinya yang jadi dalang semua kejadian ini, tapi di sisi lain saudara kandungnya yang dijadiin kambing hitamnya"
Rizal menatap tajam ke arah Zaki, tapi hatinya mau tidak mau membenarkan apa yang barusan didengarnya.
"Oke, aku akan menahan diri. Tapi kalau dia yang mulai, kamu jangan protes kalau aku harus mempertahankan harga diriku", tegas Rizal masih dengan tatapan tajamnya.
"Siip... setuju Bang. Laki-laki kan memang harusnya begitu", Zaki berusaha terlihat bahwa dia berada di pihak Rizal.
Kemudian Zaki mengajak Rizal ke ruang makan dimana Mama Chika tengah sibuk menata hidangan dan alat makan di meja. Sementara Mita yang tak menyadari kedatangan mereka tengah asyik bercanda dengan Chika yang berada di kursi bayi.
Melihat itu Rizal sedikit kaget. Raut Mita sungguh berbeda dari yang biasa dia lihat. Dia tak menyangka ada ekspresi selucu itu dibalik wajah angkuhnya.
"Wah.. Chika senang ya, main sama Tante Mita?", tanya Zaki mengejutkan Mita yang spontan melihat ke arah kedua lelaki itu. Seketika wajahnya kembali ke setelan pabrik.
"Iya tuh Pa.., dari tadi Chika ketawa terus..", sahut Mama Chika turut senang.
"Sama kalau sudah asyik becanda sama Omnya, senangnya bukan main. Kadang kalau Bang Rizal pulang, dia malah jadi nangis"
"Iya, nanti kalo Bang Rizal sama Mbak Mita sudah punya anak, pasti anaknya bakalan hepi terus punya ortu kayak kalian", sahut Zaki tersenyum, kemudian terdiam lalu panik sendiri menyadari kalimatnya barusan dan juga tatapan setajam katana dari dua pasang mata.
"Mm.. maksudku.. ya.. anak kalian masing-masing gitu.. Gak mungkin anak sama-sama kan... Iya kan Mama Chika?", ucap Zaki gugup minta dukungan dari isterinya.
"Iya.. Tapi kita kan juga gak pernah tahu ke depannya gimana.. Jodoh itu biar didempet-dempetin kalo memang bukan, ya gak bakalan jadi. Tapi biar ditolak mati-matian kalau sudah takdir, ya tetep aja jadi. Kayak saya dulu, pokoknya gak ada niat sama sekali mau sama Papanya Chika. Eh, malah kejadian", celoteh Mama Chika polos yang malah membuat kedua tamu mereka semakin merasa gerah.
"Kalian ini ngomong apa hah?! Ini jadi gak makannya?! Kalau gak, mending aku pulang sekarang! Mana udah batalin jadwal basket lagi buat bela-belain datang ke sini", sahut Rizal sewot.
"Jadi.. jadi lah Bang.. ayo duduk. Sini..", ucap Zaki tersenyum gugup seraya menarik kursi untuk Rizal.
Makan siang itu diselingi dengan dominasi percakapan antara Mita dan Mama Chika.
Zaki hanya sekali-sekali menimpali. Sementara Rizal hanya diam dan khusuk dengan hidangan di hadapannya.
"Masakannya enak banget loh. Zaki benar, kamu memang jago masak", puji Mita tulus.
Mama Chika tersenyum senang.
"Kapan-kapan kita masak bareng ya Mbak?"
"Kalau aku sih mau-mau aja. Tapi kayaknya bukan masak bareng deh, jadinya kursus masak soalnya aku kan gak bisa masak sama sekali", sahut Mita malu yang ditanggapi Mama Chika dengan tawa kecil.
Rizal tersenyum sinis mendengar pengakuan itu. Tentu saja tak bisa masak kalau seumur hidupnya selalu dilayani.
"Mm.. maaf. Boleh gak, aku minta satu porsi lagi?", tanya Mita malu-malu.
Rizal kaget mendengar permintaan Mita. Dalam hatinya Rizal berucap, buset nih cewek. Apa perutnya tingkat dua, atau ada ruang bawah tanahnya? Makannya kok jor-joran gitu. Gak malu apa, sampai minta tambah?
"Buat.. Alin. Kasian, dia pasti juga sudah lapar"
Kini Rizal merasa bersalah sudah menuduh Mita yang tidak-tidak. Ternyata makanan itu buat asistennya.
"Oh, iya Mbak. Tentu saja. Nanti saya siapkan. Dia kan tamu saya juga", sahut Mama Chika.
"Terima kasih", Mita tersenyum senang.
Selesai makan, terlihat Mita seperti hendak ikut membereskan meja. Tapi malah terlihat kikuk dan bingung.
"Gak usah Mbak.. Mbak kan tamu, jadi gak boleh ikutan beres-beres. Kecuali Mbak sudah nginap tiga hari tiga malam di sini, baru boleh..", ucap Mama Chika sambil tersenyum.
"Aduh, masa iya aku cuman makan aja?!"
"Gak papa Mbak, santai aja..", Mama Chika mengibaskan tangannya.
"Bang Rizal, sini. Bantuin aku cuci piring ya?"
Rizal melotot protes. Bagaimana mungkin adiknya berlaku tak adil, padahal dia juga tamu di rumah ini.
"Papa Chika, tolong pai nya disuguhin ke Mbak Mita ya, buat temen ngobrol", pinta Mama Chika dengan senyum dimanis-maniskan.
Rizal tambah sewot, sudah pun tak ikut beres-beres, dapat pai pula.
Mama Chika menyadari raut masam abangnya.
"Aku mau ngelonin Chika bang, dari tadi dia menguap terus. Kasihan.. sudah ngantuk berat kayaknya"
Rizal melirik sebentar ke arah Zaki yang sedang mengajak Mita untuk bicara di ruang tamu.
"Kenapa bukan Zaki aja sih yang cuci piring?!", Rizal masih protes atas diskriminasi yang dialaminya.
"Oh, boleh. Gak masalah. Berarti Bang Rizal yang temenin Mbak Mita ya?"
Rizal ternganga sebentar kemudian memasang wajah cemberut.
"Terima kasih!!", ucapnya kesal seraya berjalan menuju bak cuci piring.
***********
Intan merebahkan tubuh lelahnya di atas kasur. Dia memejamkan matanya yang terasa berat. Perjalanan panjang lintas benua yang baru saja dilaluinya benar-benar menguras tenaga. Tapi sebenarnya bukan itu penyebab utamanya, melainkan beban pikiran tentang masalah Tiara dan juga Arya. Dan yang diinginkannya sekarang hanya bisa tidur dengan tenang walau cuma sebentar.
Tiba-tiba dia tersentak karena mendengar suara ketukan di pintu kamar penginapannya. Dilihatnya jam di pergelangan tangannya. Dia sedikit kaget karena sepertinya dia tadi tertidur sekitar 45 menit tapi terasa seperti hanya beberapa detik saja.
Setelah mengusap wajahnya dia pun duduk.
"Siapa?", tanyanya malas.
"Aku", jawab suara di balik pintu.
Intan menghela nafas kemudian melangkah gontai ke arah pintu. Setelah melihat sebentar lewat lubang intip, ia lalu membuka pintu kemudian kembali duduk di kasur.
"Bagaimana penerbangannya?", tanya Andre basa-basi.
Ya, semenjak perbuatannya bersama Pierre yang melarikan Tiara ke Paris, dia menjadi merasa sungkan karena merasa bersalah pada Intan.
"Tak ada yang istimewa dan makanannya kurang enak"
Ia tak punya pilihan lain selain menerima tawaran Andre agar bisa bertemu Tiara. Termasuk penginapan yang dipesan Andre untuknya dengan alasan agar ayah mereka tidak mengetahui keberadaannya. Atau paling tidak untuk sementara waktu.
"Oh, kalau begitu nanti kau akan ku ajak makan di tempat yang menunya sangat spesial. Aku yakin kau akan suka" Andre antusias, berharap bisa mencairkan suasana tegang di antara mereka.
"Dengar Andre, aku jauh-jauh ke sini bukan untuk makan enak. Aku hanya ingin segera bertemu adikku"
Andre berdehem. Ia menyadari, seperti yang sudah-sudah, pembicaraan dengan Intan tentang masalah Tiara tak akan pernah mulus.
"Jadi kapan aku akan bertemu Tiara?" tanya Intan tak sabar.
"Secepatnya. Setelah dari sini, aku akan ke rumah Pierre dulu untuk membicarakan masalah ini, baru aku akan membawa Tiara bertemu denganmu"
Karena kalau mereka gegabah, ia khawatir ayah mereka akan segera mengetahui apa yang sedang terjadi.
Intan masih memasang tatapan sinisnya.
"Dengar, aku akan menceritakan semuanya pada Tiara apa adanya. Aku juga tak akan menutup-nutupi apa yang tengah direncanakan oleh Pére terhadapnya. Dan jangan berharap aku akan membujuknya agar berpisah dengan Arya dan mau menerima Si Kerempeng Louis. Aku tak mau ikut-ikutan mengatur hidupnya, dia bukan anak kecil lagi"
Andre merasa nafasnya berat. Dia sadar kalau dia memang tak bisa memaksa Intan terlalu jauh. Harapannya tinggal pada Tiara yang semoga bisa memahami situasi yang tengah terjadi.
Bagus...