Tiga tahun lalu, Agnia dan Langit nyaris menikah. Namun karena kecelakaan lalu lintas, selain Agnia berakhir amnesia, Langit juga divonis lumpuh dan mengalami kerusakan fatal di wajah kanannya. Itu kenapa, Agnia tak sudi bersanding dengan Langit. Meski tanpa diketahui siapa pun, penolakan yang terus Agnia lakukan justru membuat Langit mengalami gangguan mental parah. Langit kesulitan mengontrol emosi sekaligus kecemburuannya.
Demi menghindari pernikahan dengan Langit, Agnia sengaja menyuruh Dita—anak dari pembantunya yang tengah terlilit biaya pengobatan sang ibu, menggantikannya. Padahal sebenarnya Langit hanya pura-pura lumpuh dan buruk rupa karena desakan keluarga yang meragukan ketulusan Agnia.
Ketika Langit mengetahui penyamaran Dita, KDRT dan talak menjadi hal yang kerap Langit lakukan. Sejak itu juga, cinta sekaligus benci mengungkung Dita dan Langit dalam hubungan toxic. Namun apa pun yang terjadi, Dita terus berusaha bertahan menyembuhkan luka mental suaminya dengan tulus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh Satu
Mita sengaja lari untuk mempersingkat waktu tempuh. Tepat ketika Mita berdiri persis di hadapan Langit, pria itu sempat menatapnya. Tatapan yang sangat biasa dan cenderung datar. Seolah, Mita sama sekali tidak penting untuk Langit. Sebab ketika seseorang keluar dari kamar ibu Darsem, Langit langsung menoleh kemudian tersenyum.
“Sayang, aku ngantuk loh.” Selain berucap lirih dan memang bagian dari kemanjaannya, Langit juga mengerjap-ngerjapkan kedua matanya.
“Oh iya ...? Bentar kalau gitu aku siapin kamar dulu,” lembut Dita langsung antusias. Terlebih berbeda dari kebanyakan orang, mengantuk merupakan kabar baik jika Langit yang merasakannya. Saking baiknya kabar tersebut, Dita baru menyadari jika di sana sudah ada Mita.
“Kamu sudah pulang, Dek?” sapa Dita yang kemudian membiarkan tangan kirinya digandeng Langit.
Dari cara Langit yang cuek kepada Mita, Dita rasa sang suami tengah dalam keadaan suasana hati kurang baik. Karenanya, ia sengaja membawa suaminya masuk ke kamar sebelah. Kamar yang biasanya Dita tempati bersama Mita. Mengingat di kontrakan hanya ada dua kamar.
“Kamu tidur sama ibu ya. Mbak sama suami Mbak cuma menginap satu atau dua malam, kok!” ucap Dita yang segera mengatur segala sesuatunya.
Kamar Dita sangat berantakan, tapi itu barang-barang Mita. Pakaian bekas pakai dan juga baru, terserak menjadi satu di lantai. Sebagiannya juga memenuhi tempat tidur. Belum lagi buku, alat make up, handuk basah, bahkan pembalut. Kamar di sana lebih layak disebut sebagai kapal pecah.
“Aku enggak jadi ngantuk,” lirih Langit dan memang jengkel.
Dita yang sudah paham watak suaminya, refleks menghela napas pelan. Ia mengusap-usap dada suaminya. “Aku beresin dulu sebentar.”
“Nanti kamu capek,” balas Langit dengan nada suara mulai naik dan memang karena emosinya.
“Ya sudah, ... Mas tidur di kasur Marlino dulu,” lembut Dita yang kemudian meminta Marlino membantu Langit.
Berbeda dari Mita, Marlino justru jauh lebih serba rapi. Masalahnya, Marlino tidur di ruang depan mengingat kamar di sana hanya ada satu.
Interaksi manis Dita dan Langit, serta kenyataan keduanya yang merupakan suami istri, sangat membuat Mita terpukul. Mita tak bisa berkata-kata dan membeku di tempat wanita muda itu berpijak. Terlebih, sekadar tidur saja, Langit sampai harus ditemani sekaligus dikel*oni Dita.
“Dek, tadi Mas sama Mbak bawa makanan. Makan, ya!” ucap Dita sengaja menjaga suaranya karena dalam dekapannya, Langit benar-benar tertidur.
“Iya, Mbak. Makasih banyak. Mau ganti baju dulu,” santun Marlino.
“Iya, yang rapi. Jangan kayak mbak Mita. Enggak tahu tuh orang kapan mau mikir!” lirih Dita yang jadi kesal di setiap ia membahas kelakuan adik perempuannya, dan sampai detik ini masih berbakat berulah. “Kamu sekolahnya lancar, kan?” lanjut Dita kepada Marlino yang detik itu juga jadi duduk di hadapannya. Marlino duduk di belakang punggung Langit.
“Dua minggu lagi mau study tour, tapi aku belum bayar.” Marlino tidak bisa untuk tidak sedih jika membahas biaya hidup termasuk biaya sekolah. Terlebih jika itu kepada Dita yang selama ini mengurusnya.
“Oh gitu? Ya sudah, besok Mbak urus. Termasuk biaya sekolah yang lain, nanti Mbak beresin. Yang penting kamu sekolah yang bener, yang pinter!” balas Dita dan langsung disambut senyum antusias oleh sang adik. Selain itu, Marlino juga langsung mengangguk-angguk sembari mengucapkan terima kasih.
Selanjutnya, fokus perhatian Dita langsung tertuju kepada Mita. Ia tak segan memarahi adik perempuannya itu, meski sampai detik ini, ia masih melakukannya dengan lirih. Agar Langit yang sudah lelap tapi tak mau ia tinggal, tak terusik.
“Beresin kamarmu. Yang begitu jangan minta bantuan orang lain, maupun pak Fajar. Malu, kamu sudah dewasa!” tegas Dita yang tak segan mengusir Mita jika adiknya itu tak mau berubah. “Kalau kamu tetap susah diatur, jangan di sini. Pergi! Cari uang sendiri, urus diri kamu sendiri. Andai kamu nekat nakal apalagi jual d*iri, Mbak enggak segan laporin kamu ke polisi lagi!”
Jengkel, Mita sungguh merasakannya. Sudah ternyata Langit malah suami Dita. Padahal Mita yakin, suami Dita itu spek kakek tua bangka. Eh sekarang Mita juga harus menyaksikan keromantisan Langit dengan Dita.
“Enggak adil! Kenapa malah begini!” kesal Mita mau tak mau masuk ke dalam kamarnya. Kamar yang juga sempat menjadi kamar Dita. Terlebih, Dita tipikal yang tidak hanya mengancam. Sebab jika Dita sudah bilang tak segan mengusir maupun melaporkannya ke polisi, pada akhirnya pasti terjadi.
“Kenapa tuk cowok bisa semanja itu ke Mbak Dita! Ternyata cincin di jari manis tangan kanannya, merupakan cincin pengikatnya dengan mbak Dita? Ih na*jis banget! Enggak rela aku, mbak Dita dapat suami sebagus itu! Apaan! Awas saja aku rebut suamimu mbak!” batin Mita yang hanya menatap sebal kamar keberadaannya, alih-alih membersihkannya.
Mita menyusun rencana agar dirinya bisa merebut Langit dari Dita. “Kamar ini ... nanti Mbak Dita yang tidur dengan ibu, sementara aku tidur dengan suaminya! Ah, iya ... gitu saja!” pikir Mita yang detik itu juga langsung jadi sangat bersemangat.
Mita membereskan kamarnya karena untuk melancarkan rencananya. Dita yang akhirnya beres menidurkan suaminya, jadi terheran-heran.
“Tumben langsung mikir, rapi, wangi, diberesin semuanya,” batin Dita yang berangsur masuk dan membuka lemari. Ia mengambil bed cover baru dari rak lemari plastik bagian bawah. Ia sampai jongkok hanya untuk melakukannya.
“Nah iya, ... ganti sprainya biar nanti aku bisa ena-ena sama suamimu lebih nyaman!” batin Mita sambil diam-diam mengawasi kesibukan Dita mengganti sprei, melalui lirikan.
“Kenapa mas Langit mendadak ngantuk dan tidur siang, ya? Apakah ini masih karena sakitnya, atau efek bawaan hamil? Soalnya sejauh ini, kami enggak ada ngidam khusus. Mual, apa anti amis dan bau, kami juga masih aman-aman saja,” pikir Dita yang kemudian menoleh ke belakang kirinya. Hingga ia tak sengaja memergoki Mita tengah memperhatikannya sambil tersenyum licik.
“Kamu kenapa?” tanya Dita dan memang galak.
“Apaan!” balas Mita sewot.
“Nih anak ya ... kapan sih mau berubahnya. Enggak sadar-sadar. Ya ampun ... aku lagi hamil. Amit-amit jabang bayi. Jangan sampai anakku mirip Mita!” batin Dita refleks mengelus-elus perutnya yang masih rata, menggunakan tangan kanan. Ia berangsur meninggalkan kamar tersebut. Karena selain tempat tidur sudah ia bereskan dan sampai diganti bed covernya. Sebentar lagi, Mita juga selesai beres-beresnya. Satu kantong pakaian bekas pakai, Mita boyong.
“Ini sprei bekasnya sekalian bawa ya. Mbak mau tengok ibu dulu. Habis ini, kamu tinggal makan. Eh, ganti pakaian dulu!” tegas Dita.
“Kebiasaan, ... sok ngatur banget. Selalu semena-mena!” batin Mita benar-benar dendam kepada Dita yang meninggalkan sprei dan sarung bantal, di lantai sebelah kasur.
(Assalamulaikum, ramaikan yaa )