> "Rei Jaavu, apakah anda siap meninggalkan dunia ini dan pergi menuju negeri impian anda sekarang?"
"Jepang? Beneran aku bisa ke Jepang?"
> "Jepang? Ya, Jepang. Tentu saja."
Kata-kata itu muncul di layar laptop Rei, seperti tawaran menggiurkan yang nggak mungkin ia tolak. Sebuah sistem bernama "AniGate" menjanjikan hal yang selama ini cuma ada di dalam imajinasinya. Jepang klasik, negeri isekai, atau bahkan jadi tokoh kecil di dalam novel klasik yang selalu ia baca? Semua seperti mungkin. Ditambah lagi, ini adalah jalan agar Rei bisa mewujudkan impiannya selama ini: pergi kuliah ke Jepang.
Tapi begitu masuk, Rei segera sadar... ini bukan petualangan santai biasa. Bukan game, bukan sekadar sistem main-main. Di tiap dunia, dia bukan sekadar 'pengunjung'. Bahaya, musuh, bahkan rahasia tersembunyi menghadangnya di tiap sudut. Lebih dari itu, sistem AniGate seolah punya cara tersendiri untuk memaksa Rei menemukan "versi dirinya yang lain".
"Sistem ini... mempermainkan diriku!!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RE-jaavu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak Seburuk Itu: Bagian 3
Bagian 3: Cahaya di Tengah Kegelapan
Keesokan harinya, aku duduk di kelas dengan kepala tertunduk, merasa seperti burung kecil yang kehilangan arah. Dua hari sudah berlalu sejak aku mulai menjalankan misi AniGate ini, dan aku belum membuat kemajuan berarti.
Haruka Minami adalah satu-satunya orang yang tampaknya mau berbicara denganku. Tapi percakapan kami selalu diakhiri dengan pertanyaan-pertanyaan membingungkan. Pertanyaan yang seolah menuntutku untuk melakukan sesuatu. Menekan, namun tanpa terlihat. Lembut dan tersirat. Siapa dia sebenarnya? Dan kenapa aku merasa ada sesuatu yang tidak wajar tentangnya?
“Hirano, ayo fokus,” gumamku pelan, mencoba memotivasi diri sendiri.
> “Rei, Anda terlalu pasif,” suara AniGate mendengung di kepalaku. “Pola pikir ini tidak akan membawa Anda ke mana-mana.”
Aku memejamkan mata, mencoba menahan kekesalan. “Jadi menurutmu aku harus apa? Menyapa semua orang di kelas dan berharap mereka langsung jadi teman baikku?”
> “Strategi itu memang terdengar tidak realistis, tapi lebih baik daripada tidak melakukan apa-apa.”
Aku mendengus pelan, mencoba mengabaikan komentar sistem yang menyebalkan itu.
...****************...
Ketika bel istirahat berbunyi, aku memutuskan untuk mencoba sesuatu yang berbeda. Daripada menunggu kesempatan datang, aku akan menciptakan kesempatan itu sendiri.
Mataku tertuju pada kelompok siswa di dekat jendela, yang tampaknya sedang berdiskusi dengan penuh semangat. Salah satu dari mereka adalah cowok berambut keriting yang pernah aku ajak bicara. Ya, dia adalah Renjiro.
Dengan napas panjang, aku melangkah mendekat.
“Hai,” sapaku, mencoba terdengar santai.
Kelompok itu menoleh hampir bersamaan. Renjiro memandangku dengan alis terangkat. “Oh, kau lagi,” katanya.
“Aku pikir, mungkin aku bisa ikut mengobrol,” kataku, meski rasa gugup mulai menyelimuti.
Salah satu gadis di kelompok itu terkikik pelan. “Kau yakin? Kami sedang membahas sesuatu yang cukup berat.”
Aku mengangguk, meski dalam hati aku bertanya-tanya apa yang sebenarnya sedang mereka bicarakan.
“Baiklah,” kata Renjiro akhirnya. “Kami sedang membahas lomba diskusi minggu depan. Kau punya ide?”
Aku terdiam, merasa darahku membeku. Lomba diskusi? Itu adalah salah satu hal yang paling kutakuti sejak dulu. Tapi sekarang aku sudah terlanjur masuk ke dalam percakapan ini.
“Eh… mungkin kalian bisa mulai dengan memilih tema yang relevan?” kataku akhirnya, mencoba terdengar bijak.
Renjiro mengangguk pelan, meski ekspresinya tidak terlalu antusias. “Itu saran yang cukup umum, klise.”
Aku menelan ludah, merasa bahwa usahaku barusan tidak menghasilkan apa-apa.
Saat aku berjalan keluar kelas dengan kepala tertunduk, suara yang familiar menghentikan langkahku.
“Hirano-kun.”
Aku menoleh dan melihat Haruka berdiri di lorong, memegang buku catatan kecil di tangannya.
“Kau kelihatan lesu,” katanya dengan senyuman kecil.
“Ya, aku hanya merasa hari ini tidak berjalan dengan baik,” jawabku.
Dia melangkah mendekat, menatapku dengan mata yang penuh perhatian. “Apa karena kau mencoba mendekati kelompok Renjiro tadi?”
Aku mengangguk. “Tapi aku tidak tahu harus mengatakan apa. Aku tidak punya pengalaman dalam hal seperti itu.”
Haruka tertawa pelan. “Terkadang, kita tidak perlu punya pengalaman. Yang penting adalah keberanian untuk mencoba.”
Aku menatapnya lama, merasa ada sesuatu dalam kata-katanya yang membuatku ingin percaya.
“Ayo ikut aku,” katanya tiba-tiba, menarik pergelangan tanganku.
“Eh? Ke mana?” tanyaku panik.
“Ke tempat di mana kau bisa belajar lebih banyak tentang keberanian,” jawabnya sambil tersenyum misterius.
Kami berjalan menuju aula sekolah, di mana sekelompok siswa tampak sibuk mempersiapkan sesuatu. Poster-poster besar yang penuh warna menghiasi dinding, menampilkan tema “Lomba Debat Antar Kelas.”
“Apa ini?” tanyaku.
“Lomba debat,” jawab Haruka. “Ini adalah kesempatan sempurna untukmu belajar berbicara di depan orang lain.”
Aku menatapnya dengan mata membelalak. “Apa? Aku bahkan tidak tahu caranya!”
“Itulah gunanya belajar,” katanya santai.
Dia melangkah mendekati salah satu siswa yang tampaknya menjadi panitia lomba. Setelah berbicara sebentar, dia kembali dengan ekspresi puas.
“Kau sekarang terdaftar sebagai peserta,” katanya dengan senyuman kecil, sembari menyerahkan sebuah formulir kepadaku.
“Apa?!” seruku, merasa darahku langsung mengalir ke wajahku.
Haruka menatapku dengan senyum tipis yang penuh keyakinan. “Habisnya kau terlihat seperti orang yang berambisi mencapai sesuatu, sih. Hihihi, maaf aku nggak bisa menahannya.”
Aku menatap formulir itu dengan bingung. “Tapi aku… aku nggak tahu apa-apa soal debat.”
“Justru itu,” katanya santai. “Jika kau terus menghindari hal-hal yang tidak kau kuasai, kapan kau akan mulai belajar? Lomba ini adalah tempat yang sempurna untuk mencoba.”
“Tapi... aku tidak punya keberanian,” kataku, mencoba mencari alasan.
Dia menatapku tajam, matanya seperti menembus pikiranku. “Keberanian bukan sesuatu yang kau tunggu. Itu adalah sesuatu yang kau ciptakan.”
Kata-katanya membuatku terdiam. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatku merasa bahwa dia benar-benar serius.
“Lagipula,” lanjutnya sambil mengangkat bahu, “kau punya seminggu untuk mempersiapkan diri. Itu cukup waktu untuk belajar.”
Aku ingin membantah, tapi tidak ada yang bisa kukatakan. Akhirnya, aku hanya bisa menghela napas panjang dan mengangguk.
---
Selama beberapa hari berikutnya, Haruka membantuku mempersiapkan diri untuk lomba. Dia memberikan tips tentang bagaimana berbicara dengan percaya diri, bagaimana menyusun argumen yang kuat, dan bagaimana menghadapi tekanan dari lawan.
“Tapi aku tidak bisa melakukan ini,” kataku di hari ketiga latihan. “Aku tidak punya keberanian.”
Dia menatapku lama, lalu berkata dengan suara pelan, “Keberanian itu tidak datang dengan sendirinya. Kamu harus menciptakannya.”
Aku terdiam, mencoba mencerna kata-katanya.
...****************...
Hari itu akhirnya tiba. Aku berdiri di panggung kecil di depan aula, dengan mata puluhan siswa tertuju padaku. Jantungku berdegup kencang, dan aku merasa keringat dingin mengalir di punggungku.
“Tenang saja,” bisik Haruka dari belakang. “Kau bisa melakukannya.”
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. Ketika giliranku tiba untuk berbicara, aku melangkah maju dan mencoba mengingat semua yang telah kupelajari.
“Topik yang akan saya bahas adalah…”
aku mampir ya 😁