Di jantung kota Yogyakarta, yang dikenal dengan seni dan budayanya yang kaya, tinggal seorang wanita muda bernama Amara. Dia adalah guru seni di sebuah sekolah menengah, dan setiap harinya, Amara mengabdikan dirinya untuk menginspirasi siswa-siswanya melalui lukisan dan karya seni lainnya. Meski memiliki karir yang memuaskan, hati Amara justru terjebak dalam dilema yang rumit: dia dicintai oleh dua pria yang sangat berbeda.
Rian, sahabat masa kecil Amara, adalah sosok yang selalu ada untuknya. Dia adalah pemuda yang sederhana, tetapi penuh perhatian. Dengan gitar di tangannya, Rian sering menghabiskan malam di kafe-kafe kecil, memainkan lagu-lagu yang menggetarkan hati. Amara tahu bahwa Rian mencintainya tanpa syarat, dan kehadirannya memberikan rasa nyaman yang sulit dia temukan di tempat lain.
Di sisi lain, Darren adalah seorang seniman baru yang pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dengan tatapan yang tajam dan senyuman yang memikat, Darren membawa semangat baru dalam hidup Amara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon All Yovaldi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 _ Kejutan Yang Tak Terduga
Amara akhirnya merasa lega setelah obrolan terbuka dengan Rian di taman. Dia mulai belajar melepaskan rasa cemasnya dan lebih menikmati momen kebersamaan mereka. Tapi, siapa sangka, ketika satu masalah terlihat mereda, masalah baru justru datang menghampiri.
---
Hari itu, Rian mengajak Amara makan malam di restoran rooftop yang elegan. Amara tersenyum kecil ketika melihat betapa seriusnya Rian memilih tempat. “Wah, romantis amat, lo. Ada apaan nih?” Amara menggoda sambil menyeringai.
Rian nyengir sambil memainkan garpu di tangannya. “Gue cuma pengen kita punya malam spesial. Nggak boleh?”
Amara tertawa kecil, merasa nyaman dengan suasana ringan di antara mereka. Malam itu terasa sempurna, dan Amara mulai percaya bahwa hubungan mereka mungkin bisa benar-benar berjalan tanpa bayang-bayang masa lalu.
Namun, tiba-tiba ponsel Rian bergetar di atas meja. Amara melirik sejenak—nama pengirim pesan kali ini bukan Kayla, tapi Nina, teman lama Rian dari kampus.
“Nina siapa?” tanya Amara santai, tapi jelas ada rasa penasaran di baliknya.
“Oh, Nina cuma teman kampus. Nggak usah khawatir, Mar. Gue udah jarang kontak sama dia juga,” jawab Rian sambil buru-buru mematikan layar ponselnya.
Tapi di dalam hati, Amara mulai merasa was-was lagi. Dia nggak bermaksud curiga, tapi kenapa Rian seperti panik setiap ada pesan yang datang?
---
Beberapa hari setelah makan malam itu, Amara merasa pikirannya semakin terganggu. Rian memang terlihat berusaha keras untuk menjadi pasangan yang baik, tapi dia juga merasa ada sesuatu yang masih disembunyikan. Amara ingin percaya, tapi pikirannya terus bertanya-tanya—apa benar nggak ada yang perlu dikhawatirkan?
Di tengah kebimbangannya, Amara memutuskan untuk mencari jawaban sendiri. Dia nggak mau diam dan berharap semuanya baik-baik saja.
Suatu malam, saat Rian sedang tidur di apartemennya, Amara memberanikan diri membuka ponsel Rian yang tertinggal di meja. Dengan jantung berdegup kencang, dia membuka pesan dari Nina.
Pesannya nggak banyak—sekadar obrolan basa-basi tentang pekerjaan dan kabar masing-masing. Tapi, di antara percakapan itu, ada satu kalimat yang membuat hati Amara mencelos:
Nina:
“Kalau lo butuh waktu buat cerita, gue selalu ada buat lo. Jangan ragu hubungin gue, ya.”
Amara menatap layar ponsel itu dengan mata tak percaya. Meski pesan itu terlihat biasa, tapi kenapa rasanya seperti ada sesuatu di baliknya?
---
Esok paginya, Amara akhirnya nggak bisa lagi menahan kegelisahannya. Dia menatap Rian yang baru bangun tidur dan langsung mengutarakan isi hatinya.
“Rian, gue nggak mau jadi orang yang posesif, tapi lo harus jujur. Apa sebenarnya hubungan lo sama Nina?”
Rian terdiam sejenak, seperti mencari kata-kata yang tepat. “Mar, gue udah bilang, dia cuma teman lama. Gue nggak punya perasaan apa-apa sama dia.”
Amara menghela napas panjang. “Gue percaya sama lo, tapi gue juga butuh kepastian. Gue nggak mau hubungan kita diganggu orang ketiga.”
Rian menggenggam tangan Amara erat. “Gue ngerti, Mar. Gue minta maaf kalau gue bikin lo ngerasa nggak nyaman. Mulai sekarang, gue akan lebih transparan.”
Amara mengangguk pelan. Dia ingin percaya, tapi jauh di dalam hatinya, ada perasaan bahwa kisah ini belum sepenuhnya selesai.
---
Beberapa hari berlalu, hubungan Amara dan Rian kembali normal, meski Amara masih menyimpan sedikit keraguan. Suatu sore, saat Amara sedang bersantai di kafe favoritnya, Sinta datang dan duduk di hadapannya dengan wajah antusias.
“Mar, lo nggak bakal percaya siapa yang gue temuin kemarin,” kata Sinta sambil mengeluarkan ponselnya.
Amara mengernyit penasaran. “Siapa?”
Sinta memperlihatkan foto di layar ponselnya—Nina dan Kayla terlihat sedang makan di sebuah restoran, tertawa bersama seolah mereka sahabat dekat.
Amara terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja dia lihat. “Mereka... temenan?” tanyanya dengan suara gemetar.
“Yap. Gue nggak tahu mereka temenan dari kapan, tapi ini jelas bukan kebetulan, Mar,” jawab Sinta.
Amara merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Kalau Nina dan Kayla memang dekat, apa artinya Nina juga punya agenda tersendiri dalam hubungan ini?
---
Malam itu, Amara tak bisa tidur. Pikiran tentang Nina dan Kayla terus berputar di kepalanya. Apakah mereka berdua memang sengaja ingin merusak hubungannya dengan Rian?
Amara merasa dia harus melakukan sesuatu. Dia nggak bisa lagi hanya menunggu dan berharap semuanya akan berjalan baik-baik saja.
Keesokan harinya, Amara memutuskan untuk bertemu dengan Rian dan membicarakan semuanya secara terbuka. Dia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi—dan kali ini, dia nggak akan menerima jawaban setengah-setengah.
Saat mereka bertemu, Amara langsung menatap Rian dengan serius. “Gue perlu tahu, lo masih punya hubungan apa sama Nina dan Kayla?”
Rian tampak terkejut dengan pertanyaan itu. “Gue udah bilang, Mar. Gue nggak ada hubungan apa-apa sama mereka. Gue bahkan nggak tahu mereka temenan.”
Amara menatap mata Rian dalam-dalam, mencoba mencari kejujuran di sana. “Kalau lo nggak ada hubungan apa-apa, kenapa mereka masih terus muncul di hidup lo?”
Rian menghela napas panjang. “Gue nggak bisa kontrol hidup mereka, Mar. Tapi gue bisa kontrol apa yang gue rasain. Dan yang gue rasain sekarang cuma lo.”
Amara terdiam, mencoba mencerna kata-kata Rian. Di satu sisi, dia ingin percaya. Tapi di sisi lain, dia merasa masih ada sesuatu yang belum terungkap.
---
Dengan perasaan campur aduk, Amara akhirnya mengambil keputusan. “Gue kasih lo satu kesempatan terakhir, Rian. Kalau ada satu hal lagi yang gue temuin dan lo nggak jujur, gue akan pergi.”
Rian menatap Amara dengan penuh keseriusan. “Gue janji, Mar. Gue nggak akan ngecewain lo lagi.”
---
Meski percakapan itu berakhir dengan janji, Amara merasa bahwa cerita ini belum sepenuhnya selesai. Bayangan Nina dan Kayla masih menghantui pikirannya, dan dia tahu bahwa perjalanan cintanya dengan Rian akan penuh dengan liku-liku.
Namun, kali ini, Amara berjanji pada dirinya sendiri untuk tetap tegar. Jika cinta ini memang layak diperjuangkan, dia akan berjuang sampai akhir. Tapi jika tidak, dia siap melepaskan—dengan atau tanpa Rian di sisinya.
...----------------...
To be continued...
Happy Reading Guyssss🫰🫰
#Jangan Ya dek ya
semangat berkarya../Determined//Determined//Determined/