Felicia, seorang mahasiswi, terpaksa menjadi jaminan hutang keluarganya kepada Pak Rangga, seorang pengusaha kaya dan kejam. Dia harus bekerja keras untuk melunasi hutang tersebut, menghadapi tekanan moral dan keuangan, serta mencari jalan keluar dari situasi sulit ini. Hubungannya dengan Pak Rangga pun menjadi kompleks, menimbulkan pertanyaan tentang kebenaran, kekuasaan, dan keberanian.
Felicia berjuang untuk menyelamatkan keluarganya dan menemukan kebebasan, tetapi tantangan besar menanti di depan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwi'rhmta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
- Rencana yang Matang
Suatu pagi yang cerah, Lusi duduk di taman, merenungkan perasaannya. Ia menyadari bahwa ia tidak bisa lagi menolak perasaannya kepada Rangga. Ketulusan dan kepedulian Rangga telah mencairkan dinding yang selama ini ia bangun. Ia menyadari bahwa ia mencintai Rangga.
Keputusan itu tidak mudah. Ia masih khawatir dengan perbedaan status mereka, dan masih takut akan konsekuensi yang mungkin terjadi. Namun, ia memutuskan untuk mengambil risiko. Ia ingin membuka hatinya kepada Rangga, menyatakan perasaannya yang sebenarnya.
Sore itu, Lusi menemui Rangga di ruang keluarga. Rangga terlihat sedang membaca buku, namun ia langsung meletakkan bukunya ketika melihat Lusi.
"Rangga," kata Lusi, suaranya sedikit gemetar. "Aku... aku ingin bicara sesuatu."
Rangga menatap Lusi dengan penuh perhatian. "Ya, Lusi?"
Lusi menghela napas. "Aku... aku mencintaimu."
Rangga terdiam sejenak, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Kemudian, sebuah senyum lebar terkembang di wajahnya. Ia berdiri dan memeluk Lusi dengan erat.
"Lusi," kata Rangga, suaranya bergetar karena emosi. "Aku juga mencintaimu. Aku sudah lama merasakannya."
Mereka saling memandang, dan di antara tatapan mereka, terasa sebuah kebahagiaan yang mendalam. Rangga menyatakan perasaannya dengan lebih terbuka, menunjukkan cintanya kepada Lusi tanpa ragu-ragu.
Lusi merasa lega dan bahagia. Ia akhirnya bisa menerima perasaannya, dan ia tahu bahwa Rangga juga merasakan hal yang sama. Meskipun masih ada tantangan yang harus mereka hadapi, mereka memutuskan untuk bersama, menghadapi masa depan dengan penuh harapan dan cinta.
Suasana makan malam di rumah keluarga Rangga terasa tegang. Lusi duduk di samping Rangga, merasakan tatapan tajam dari Ibu Rangga. Bapak Rangga terlihat lebih tenang, namun tetap terlihat gelisah.
Setelah makan malam, Ibu Rangga langsung mengutarakan penolakannya. "Rangga," katanya, suaranya dingin, "aku sudah memikirkan ini dengan matang. Aku tidak setuju dengan hubunganmu dengan Lusi."
Rangga menatap ibunya dengan serius. "Bu, aku mencintai Lusi. Aku tidak peduli dengan latar belakangnya."
"Tapi aku peduli," bantah Ibu Rangga. "Ia bukan dari kalangan kita. Ia tidak akan cocok dengan keluarga kita."
Lusi mencoba untuk berbicara, namun Ibu Rangga memotongnya. "Diamlah, gadis! Kau tidak tahu apa-apa tentang keluarga kami."
Rangga berdiri, melindungi Lusi. "Bu, berhentilah! Lusi adalah wanita yang baik. Ia cerdas, kuat, dan ia mencintaiku dengan tulus."
"Cinta saja tidak cukup, Rangga!" bentak Ibu Rangga. "Kau harus memikirkan masa depanmu. Kau harus menikah dengan seseorang yang sesuai dengan kedudukanmu."
Suasana semakin tegang. Bapak Rangga mencoba untuk menengahi, namun tidak berhasil. Rangga dan Lusi saling berpandangan, merasakan kekecewaan dan kekhawatiran. Mereka tahu bahwa perjuangan mereka akan sulit, namun mereka tidak akan menyerah.
Mereka akan memperjuangkan cinta mereka, mencari cara untuk mendapatkan restu dari keluarga Rangga, dan membuktikan bahwa cinta mereka mampu mengatasi segala perbedaan. Malam itu, mereka berjanji untuk tetap bersama, saling mendukung, dan menghadapi tantangan bersama. Mereka akan membuktikan bahwa cinta mereka lebih kuat dari segala rintangan.
Ruang keluarga Rangga terasa lebih formal dari biasanya. Ibu Rangga duduk tegak di sofa, tatapannya tajam. Bapak Rangga duduk di sampingnya, wajahnya lebih rileks namun tetap serius. Rangga dan Lusi duduk berhadapan dengan mereka, sebuah map berisi rencana mereka tergeletak di atas meja kopi.
Rangga memulai presentasi. "Bu, Pak, kami ingin menjelaskan rencana kami untuk masa depan," katanya dengan suara tenang namun tegas. "Kami mengerti kekhawatiran Ibu, tetapi kami ingin menunjukkan bahwa hubungan kami serius dan kami siap membangun kehidupan bersama."
Lusi membuka map dan menunjukkan beberapa lembar kertas. "Ini adalah rencana karir saya," katanya, suaranya jelas dan percaya diri. "Saya berencana untuk melanjutkan pendidikan saya dan mengembangkan karir di bidang saya."
Ibu Rangga menyela, "Itu semua bagus, tapi apa kau yakin bisa mempertahankan gaya hidup keluarga kami?"
Lusi tersenyum tipis. "Ibu, saya percaya bahwa kebahagiaan tidak diukur dari materi. Saya juga memiliki tabungan dan saya akan terus bekerja keras untuk mendukung kehidupan kami bersama Rangga."
Rangga melanjutkan, "Dan kami juga sudah merencanakan keuangan kami secara detail. Kami telah membuat anggaran untuk biaya hidup, pendidikan, dan investasi masa depan." Ia menunjukkan lembar kerja yang telah mereka siapkan.
Bapak Rangga mengangguk pelan. "Bagus, kalian telah mempersiapkan semuanya dengan matang."
Ibu Rangga masih terlihat ragu, namun ia tidak lagi menyela. Ia mendengarkan dengan seksama penjelasan Rangga dan Lusi. Setelah presentasi selesai, terjadi diskusi yang lebih hangat. Ibu Rangga masih mengajukan beberapa pertanyaan, namun pertanyaannya lebih bersifat menyelidiki daripada menghakimi.
Lusi menjawab semua pertanyaan dengan tenang dan jujur. Pada akhirnya, terlihat sedikit kelembutan di mata Ibu Rangga. Perjuangan mereka belum berakhir, namun mereka telah membuat langkah besar menuju penerimaan. Mereka telah menunjukkan bahwa cinta mereka mampu mengatasi perbedaan, dan bahwa mereka siap untuk membangun masa depan yang kuat dan bahagia bersama.