Veltika Chiara Andung tak pernah membayangkan hidupnya akan jungkir balik dalam sekejap. Di usia senja, ayahnya memutuskan menikah lagi dengan seorang perempuan misterius yang memiliki anak lelaki bernama Denis Irwin Jatmiko. Namun, tak ada yang lebih mengejutkan dibanding fakta bahwa Denis adalah pria yang pernah mengisi malam-malam rahasia Veltika.
Kini, Veltika harus menghadapi kenyataan menjadi saudara tiri Denis, sambil menyembunyikan kebenaran di balik hubungan mereka. Di tengah konflik keluarga yang rumit, masa lalu mereka perlahan kembali menyeruak, mengguncang hati Veltika.
Akankah hubungan terlarang ini menjadi bumerang, atau malah membawa mereka pada takdir yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Awal Pertemuan
Veltika merasa dadanya sesak. Dunia seperti mempermainkannya. Tak pernah ia sangka, pria muda yang pernah ia buai dalam momen penuh gairah dan kebebasan, kini berdiri di hadapannya dengan gelar yang tak terbayangkan—adik tirinya.
Malam itu seolah kembali berputar di benaknya. Dia ingat betapa santainya saat itu, membuang semua beban dengan segelas martini di tangan, membiarkan dirinya larut dalam tatapan pria muda dengan pesona yang begitu menggoda. "Sekali saja," gumamnya waktu itu, menepis pikiran-pikiran moral dan memanjakan dirinya dalam kebebasan sesaat. Namun kini, pria itu bukan lagi sekadar kenangan atau masa lalu yang bisa ia simpan rapat-rapat. Denis Irwin Jatmiko, lelaki yang pernah ia ajak menghabiskan malam penuh rahasia, kini adalah bagian dari keluarganya.
Matanya mengamati Denis yang berdiri santai di samping Caroline, mengenakan kemeja putih bersih yang digulung di lengan, memperlihatkan sikapnya yang penuh percaya diri. Senyuman tipis di bibir pria itu terasa seperti ejekan, seolah ia tahu betul betapa sulitnya posisi Veltika saat ini. Tapi Denis hanya menatapnya sekilas, seperti seorang asing yang baru pertama kali berkenalan.
"Aku tidak mungkin salah," pikir Veltika. Ia mengenali setiap garis di wajah itu, setiap nada dalam suara Denis. Namun, di saat yang sama, ia bertanya-tanya. Apakah Denis juga mengingatnya? Atau bagi Denis, malam itu hanyalah bagian dari rutinitas kehidupan mudanya yang liar?
Veltika yang tengah berdiri di sudut ruangan, berusaha menenangkan pikirannya dengan segelas wine, terhenyak saat Denis tiba-tiba muncul di sampingnya. Tanpa permisi, pria itu mengambil gelas dari tangannya dan menyesapnya perlahan. Matanya yang gelap menatap Veltika dengan intens, membuat wanita itu merasakan gelombang panas menjalar di tengkuknya.
"Aku masih merindukan dirimu yang saat itu, Kak Vel," bisiknya lembut, hampir seperti rahasia yang hanya ingin dibagi berdua. Suaranya rendah, tetapi cukup untuk membuat tubuh Veltika membeku di tempat.
Pernyataan itu seperti cambukan keras di benaknya. Ia menatap Denis dengan sorot mata yang berusaha mencari kepastian, apakah ini sekadar gurauan, ataukah pria muda itu benar-benar ingin mengungkit malam yang seharusnya terkubur dalam ingatan mereka masing-masing?
"Denis," desis Veltika pelan, berusaha terdengar tenang meski suaranya sedikit bergetar, "berhentilah bermain-main."
Denis hanya tersenyum tipis, senyum yang begitu menyebalkan, seolah ia menikmati melihat Veltika kehilangan kendali. "Siapa yang bermain-main, Kak? Aku serius." Ia menaruh gelas kosong di meja terdekat dan mendekatkan wajahnya sedikit ke arah Veltika, cukup dekat hingga ia bisa merasakan aroma parfumnya yang familiar.
"Apa kamu ingat bagaimana kamu menatapku malam itu? Bagaimana kamu membisikkan—"
"Berhenti," potong Veltika tegas, suaranya kini lebih keras. Ia melangkah mundur, mencoba menjaga jarak. "Jangan membawa itu ke sini, Denis. Ini sudah cukup rumit."
Namun, Denis hanya menatapnya dengan senyum yang tak berubah, tatapan penuh teka-teki yang membuat Veltika tidak tahu apa yang sebenarnya pria itu inginkan darinya. "Hidup memang rumit, Kak Vel," katanya santai. "Tapi aku tidak pernah menyesali malam itu. Bagaimana denganmu?"
Veltika mengalihkan pandangannya, tidak sanggup menjawab. Perasaan bersalah, amarah, dan sesuatu yang lain, sesuatu yang tak ingin ia akui, bercampur aduk di dadanya. Ia mengepalkan tangan, mencoba menahan gejolak yang hampir tumpah.
"Aku tidak mau membahas ini lagi," ujarnya akhirnya, dengan suara yang dingin. Tanpa menunggu jawaban Denis, Veltika berbalik dan meninggalkan ruangan itu. Tapi di balik ketegasannya, hatinya tetap bergetar. Kata-kata Denis terus terngiang di kepalanya.
Dan jauh di dalam hatinya, Veltika tahu, ia pun masih mengingat malam itu malam yang kini menjadi bayangan gelap di setiap langkahnya.
Saat berjalan keluar dari ruangan, Veltika tidak bisa mengabaikan ingatan yang tiba-tiba menyerbu benaknya. Malam itu, Denis membelainya dengan lembut, begitu penuh perhatian, seolah-olah ia adalah sesuatu yang sangat berharga. Tangannya yang hangat menyentuh pipinya, menyusuri rambut hitam panjangnya dengan gerakan perlahan.
"Aku ingin kamu tahu, Vel... aku tidak akan melupakan ini," suara Denis terdengar di telinganya, rendah dan sarat emosi. Kata-katanya saat itu seperti janji yang tidak pernah diucapkan dengan lantang, namun sangat jelas terasa di hati mereka berdua.
Ia ingat bagaimana ia membiarkan dirinya larut dalam momen itu, menyerahkan semuanya tanpa berpikir tentang apa yang akan terjadi esok hari. Saat itu, ia hanya seorang wanita yang haus akan perhatian dan kehangatan, tanpa peduli konsekuensinya.
Namun kini, kenangan itu menjadi racun yang menggerogoti ketenangannya. Setiap detail malam itu, tatapan Denis yang dalam, sentuhan jemarinya di sepanjang leher Veltika, dan aroma tubuhnya yang memabukkan, terus menghantui, menyeretnya kembali ke masa lalu yang tak bisa ia ubah.
Ia meremas kedua tangannya, mencoba menahan perasaan yang terus bergulir tanpa kendali. Hatinya berteriak ingin melupakan, tetapi tubuhnya tetap merasakan bekas sentuhan itu, seolah-olah Denis masih ada di sana, membelainya dengan kasih sayang yang tak pernah ia duga.
Di tengah lorong yang sepi, Veltika berhenti, menutup matanya, dan menarik napas panjang. Ia harus menguatkan dirinya. Denis sekarang adalah adik tirinya—itu adalah kenyataan yang tak bisa dihindari. Tetapi, di lubuk hati terdalamnya, ia tahu bahwa dirinya masih belum bisa sepenuhnya melepaskan kenangan malam itu.
Veltika mempercepat langkahnya, hampir berlari menuju toilet. Pikirannya kacau, hatinya berdegup kencang tak keruan. Begitu sampai di dalam, ia langsung menuju wastafel, memutar keran dengan cepat. Air dingin mengalir deras, memenuhi cekungan wastafel. Dengan kedua tangannya yang gemetar, ia menciduk air itu dan membasuh wajahnya berkali-kali.
Namun, itu tidak cukup. Rasa sesak di dadanya tidak mereda. Ia menutup keran dan menatap bayangannya di cermin. Matanya memerah, rambut hitam panjangnya sedikit berantakan, tetapi yang paling menyakitkan adalah ekspresi di wajahnya, penuh keterkejutan dan ketakutan.
Ia memutuskan untuk menunduk, membenamkan wajahnya ke dalam air yang masih memenuhi wastafel. Kesegaran air itu menjalar ke seluruh tubuhnya, sejenak membuatnya lupa akan kekacauan di pikirannya.
“Kenapa harus dia...?” gumamnya pelan, suaranya nyaris tenggelam di antara suara air yang beriak.
Ingatan Denis, tatapannya, senyum kecil yang tadi dilemparkan dengan begitu santai, dan bisikan yang ia lontarkan begitu saja—semuanya kembali menghantam dirinya seperti gelombang pasang. Malam itu, sentuhan Denis, kehangatannya, dan bagaimana mereka saling terhubung... semua terasa begitu nyata, begitu hidup, bahkan hingga kini.
Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. Tetapi percuma, perasaan itu terlalu kuat, dan air matanya akhirnya jatuh, bercampur dengan air dingin yang mengalir dari wajahnya. “Kenapa harus seperti ini?” tanyanya lagi, kali ini lebih tegas, lebih penuh emosi.
Namun, tidak ada jawaban. Yang ada hanyalah bayangannya di cermin yang kembali menatapnya, mencerminkan kerumitan hati yang tak bisa ia ungkapkan pada siapa pun.