Jian Chen melarikan diri setelah dikepung dan dikejar oleh organisasi misterius selama berhari-hari. Meski selamat namun terdapat luka dalam yang membuatnya tidak bisa hidup lebih lama lagi.
Didetik ia akan menghembuskan nafasnya, kalung kristal yang dipakainya bersinar lalu masuk kedalam tubuhnya. Jian Chen meninggal tetapi ia kembali ke masa lalu saat dia berusia 12 tahun.
Klan Jian yang sudah dibantai bersama keluarganya kini masih utuh, Jian Chen bertekad untuk menyelamatkan klannya dan memberantas organisasi yang telah membuat tewas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon secrednaomi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps. 2 — Kembali Hidup
Disaat Jian Chen sudah menghembuskan napas terakhirnya, kristal hijau itu tidak berhenti bercahaya bahkan cahayanya lebih terang, kini bukan kristal saja melainkan tubuh Jian Chen juga ikut bercahaya serta mengambang diudara.
Cahaya tambah meluas hingga Tanah Merah yang tak dihuni itu kini terang benderang. Tidak sampai disana, cahaya hijau itu menembak ke atas langit, menembus awan-awan hingga membentuk seperti pilar langit yang menancap ke bumi.
Orang-orang dari berbagai tempat bisa dengan jelas melihatnya. Pilar hijau itu begitu terang ditengah malam membuatnya tidak mungkin tidak dilirik oleh manusia.
Orang-orang yang ada dirumahnya berbondong-bondong keluar, yang tertidur langsung terbangun, yang sedang melakukan aktivitas segera terhenti karena ingin melihat apa yang bersinar.
Tidak berselang lama ditengah keheranan, penomena alam terjadi tiba-tiba. Hembusan angin kencang menerpa seluruh daratan benua, ombak-ombak yang ada dilaut berguncang bergelombang tinggi, tanah-tanah yang mereka pijak mulai bergetar seperti gempa bumi.
Penduduk-penduduk yang melihatnya kini mulai merasakan ketakutan seolah akan terjadi kiamat.
Seorang ibu memeluk anaknya erat, beberapa penduduk ada yang pasrah seolah hari kemtiannya akan tiba, tidak sedikit ada yang berlari menjauhi cahaya itu untuk menyelamatkan diri.
Untungnya fenomena yang menakutkan itu tidak berangsur lama, Pilar Cahaya itu kemudian meredup lalu beberapa saat menghilang perlahan. Diikuti pilar cahaya hilang fenomena-fenomena sebelumnya juga terhenti, semuanya telah kembali normal.
“Ah, akhirnya ‘Kristal Penembus Waktu’ itu digunakan juga, kupikir aku akan menunggunya 100 tahun lagi…” Seorang pria paruh baya tersenyum manatap kilasan buliran cahaya itu yang mulai memudar. “Jian Chen, kira-kira seperti apa duniamu nanti…”
***
“Ah, inikah surga itu…”
Jian Chen terjaga dan mendapati dirinya tengah berbaring dihamparan rumput yang luas sambil memandang langit biru cerah. Diatas tubuhnya ada pohon berdaun rindang mencegah dirinya dari sengatan cahaya matahari.
Jian Chen ingin bangkit dan duduk namun beberapa saat matanya melebar ketika merasakan sakit disekujur tubuhnya.
“Apa-apaan… Bukankah aku sudah disurga?!” Jian Chen mengumpat saat menyadari dirinya memiliki luka lebam. Sebelum mencerna situasi ia mendengar ada seseorang yang berbicara.
“Oh, Ayah pikir kamu akan bangun lebih lama mengingat latihan tadi sangat keras. Kau telah sedikit bertambah kuat Chen’er.”
Jian Chen menoleh kesumber suara lalu menemukan seorang pria berusia 30-an memandang dirinya sedang bersandar dibawah pohon.
“Ayah? Itukah kamu Ayah?!”
Mata Jian Chen terbuka lebar karena sosok itu yang tak lain adalah ayahnya, Jian Wu.
Jian Wu hendak menghampirinya namun sesaat ia mengerutkan alis karena anaknya itu tiba-tiba mengeluarkan air mata. Jian Chen menangis dengan isakan yang pelan.
Jian Wu mungkin tidak menyadari betapa rindunya Jian Chen ketika bertemu orang tuanya. Jian Chen selalu merasa kesepian ketika orang tuanya meninggal diwaktu dirinya remaja, ia tidak punya siapa-siapa lagi didunia kecuali sebuah tekad hidup untuk membalas dendam.
Jian Chen menyesal ketika hidupnya dulu di akademi tidak pernah pulang sedikitpun karena terus berlatih agar orang tuanya bisa bangga.
Jika Jian Chen mengetahui Klannya bakal dibantai mungkin ia tidak akan pergi dan memilih menghabiskan waktu bersama orang tuanya, setidaknya dia mati bersama orang tuanya.
Rasa sakit ditinggalkan oleh kedua orangtua tidak akan hilang walau berpuluh tahun-tahun hidup lamanya sampai akhirnya seseorang itu meninggal.
“Kenapa kau menangis, apakah Ayah terlalu menyakitimu saat berlatih tadi?”
Jian Chen mengusap matanya dengan punggung tangan, ia kemudian menggeleng pelan tatapi alisnya sedikit berkerut mendengar sesuatu yang aneh dari ujaran ayahna.
“Berlatih? Apa yang Ayah maksud, bukankah ini disurga kenapa harus berlatih lagi? Apakah ada orang jahat juga disini?”
Jian Wu tidak mengerti dengan lontaran anaknya tetapi ia segera mengambil air dan memberikannya pada Jian Chen.
Belum air itu menyentuh bibirnya tiba-tiba Jian Chen merasakan denyutan hebat dikepalanya. Jian Chen menjerit histeris sebelum kemudian terjatuh pingsan.
“Apa yang…” Melihat wajah anaknya begitu kesakitan dan hilang kesadaran membuat Jian Wu panik. Ia tidak mengerti alasannya tetapi segera membawa tubuh Jian Chen mememui tabib.
***
Disaat Jian Chen membuka mata ia menemukan bahwa dirinya berada disebuah ruangan. Jian Chen mendudukan posisinya dari tempat tidur namun baru beberapa detik merubah posisi, denyutan menyakitkan dikepala kembali dirasakan hanya saja tidak sesakit sebelumnya.
Jian Chen sendiri sebenarnya kebingungan, bukankah ia sudah mati tetapi kenapa dirinya masih merasakan sakit?
“Aku sungguh tidak mengerti alam apa ini?” Jian Chen kemudian menatap sekeliling ruangannya tertidur, keganjalan mulai Jian Chen rasakan karena tempat ini adalah sesuatu yang tak asing bagi Jian Chen. “Bukankah ini kamarku di Klan Jiang…”
Jian Chen meraba tubuhnya lalu tidak menemukan luka dalam didadanya saat ia meninggal. Tubuh Jian Chen memang berbalut perban namun itu berada ditangannya.
“Ini...” Jian Chen merasakan tubuhnya terasa mengecil seperti usia tubuh anak-anak. Sebelum ia mencerna apa yang terjadi, pintu ruangan disamping bergeser.
Seorang wanita berusia 20-an datang sambil membawa napan makanan pada kamar Jian Chen. Wanita itu begitu terkejut melihat Jian Chen sudah bangun, ia buru-buru meletakan napan tadi dan berhambur memeluk tubuh Jian Chen.
“Chen’er, kamu sudah sadar, Sayang…” Setelah beberapa detik memeluk Jian Chen wanita itu menyeka matanya dan melapas pelukan, ia meraba wajah Jian Chen dengan lembut sambil tersenyum hangat.
Jian Chen sendiri hanya diam tak bergeming. Ia bukan tidak tahu siapa yang memeluknya tetapi bingung atas semuanya. Wanita yang memeluk Jian Chen adalah Jian Ran, ibunya
“Kamu kenapa sayang, ada yang masih sakit…” Jian Ran tidak mengerti anaknya menatap dirinya tanpa berkedip tetapi ia merasakan sorot mata Jian Chen memiliki rasa kesedihan.
Jian Chen menggeleng pelan, ia tidak peduli lagi tentang apa yang terjadi namun bertemu ibunya sudah membuat bahagia. Kali ini Jian Chen memeluk tubuh ibunya terlebih dahulu.
Jian Ran tersenyum dan mengusap rambut Jian Chen, Jian Ran tidak mengerti kenapa sifat anaknya berubah tetapi ia sadar anaknya kini tengah menangis sambil memeluknya ketika merasakan bahu Jian Chen bergetar.
Entah berapa menit Jian Chen memeluk ibunya tanpa mau lepas sedikitpun, Jian Ran juga tidak bergeming dan membalas pelukan anaknya sembari mengelus punggungnya dengan lembut.
“Chen’er istirahatlah dulu, ibu sudah membawa makanan kesukaaan kamu. Ibu harus memberitahukan pada Ayah bahwa kamu sudah siuman.” Jian Ran mengelus rambut Jian Chen dengan penuh kasih sayang.
Jian Chen mengangguk. Ia hanya memandang ibunya yang tersenyum sebelum punggungnya hilang dibalik pintu.
“Aku mengerti semuanya…” Jian Chen melihat kedua telapak tangan dan tubuhnya, juga mulai memandang sekeliling kamarnya termasuk tata letak semua benda yang ada. “Tidak salah lagi, aku… aku telah kembali ke masa lalu.”