Aiden Valen, seorang CEO tampan yang ternyata vampir abadi, telah berabad-abad mencari darah suci untuk memperkuat kekuatannya. Saat terjebak kemacetan, dia mencium aroma yang telah lama ia buru "darah suci," yang merupakan milik seorang gadis muda bernama Elara Grey.
Tanpa ragu, Aiden mengejar Elara dan menawarkan pekerjaan di perusahaannya setelah melihatnya gagal dalam wawancara. Namun, semakin dekat mereka, Aiden dihadapkan pada pilihan sulit antara mengorbankan Elara demi keabadian dan melindungi dunia atau memilih melindungi gadis yang telah merebut hatinya dari dunia kelam yang mengincarnya.
Kini, takdir mereka terikat dalam sebuah cinta yang berbahaya...
Seperti apa akhir dari cerita nya? Stay tuned because the 'Bloodlines of Fate' story is far form over...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Detia Fazrin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jamur Purnama
...»»————> Perhatian<————««...
...Tokoh, tingkah laku, tempat, organisasi profesi, dan peristiwa dalam cerita ini adalah fiktif dan dibuat hanya untuk tujuan hiburan, tanpa maksud mengundang atau mempromosikan tindakan apapun yang terjadi dalam cerita. Harap berhati-hati saat membaca....
...**✿❀ Selamat Membaca ❀✿**...
Mereka saling menatap, dan dalam sekejap, jarak di antara mereka menghilang. Tak ada lagi kata-kata yang dibutuhkan, hanya keheningan yang berbicara lebih dari apapun. Dalam hening itu, mereka tahu bahwa mereka adalah dua jiwa yang dipertemukan oleh takdir, terikat oleh rahasia yang hanya mereka berdua pahami.
Selanjutnya
Setelah beberapa menit dalam keheningan, Elara yang selalu ceria akhirnya tertawa. “Ini semua seperti mimpi,” katanya, menggelengkan kepala seakan tak percaya. “Aku nggak pernah menyangka bahwa aku… ternyata punya darah suci. Aku bahkan keturunan vampir…”
Aiden tersenyum samar, tatapannya lembut, mengerti keheranan Elara. Tapi di dalam senyumannya, ada kekhawatiran tersembunyi, sebuah perasaan yang membuatnya merasa harus selalu melindungi Elara.
“Ini terasa rumit, Elara tentu harus mengetahui bahwa aku juga bisa berbahaya untuk nya,” gumam di dalam hati Aiden.
Sambil menghela napas panjang, Elara memutuskan untuk mengutarakan sesuatu yang ia pendam. Ia merasa inilah waktu yang tepat, dan dia ingin jujur kepada Aiden tentang kejadian semalam.
“Aiden…” panggil Elara pelan, menyusun kata-kata dalam pikirannya. “Aku ingin jujur. Semalam itu sebenarnya bukan cuma karena aku khawatir tentang kamu yang sakit…” Elara mengatakannya sambil menggigit bibir, menunduk sejenak sebelum kembali menatap Aiden. “Ada sesuatu lain yang membuatku lupa menyelesaikan presentasi.”
Aiden mengangguk, menatapnya dalam-dalam, memberi tanda agar Elara melanjutkan.
Elara menarik napas dalam. “Jadi, setelah aku pulang dari rumahmu semalam, aku melihat seseorang yang mirip sekali dengan… Dennis. Aku… aku nggak tahu kenapa, tapi aku merasa harus mengikutinya. Aku penasaran. Aku lalu melihatnya masuk ke sebuah klub. Beberapa bulan lalu, aku memang pernah bertemu pria ini waktu aku berniat menggadaikan kalung ini untuk berobat nenek Mika. Nah, saat aku masuk ke klub itu dan mendekatinya, ternyata pria itu…” Elara menghentikan ceritanya sejenak, tampak ragu.
Namun, sebelum dia sempat melanjutkan, tiba-tiba ponsel Aiden berdering keras, memecah suasana. Aiden langsung mengangkat teleponnya dengan ekspresi tegang, mengisyaratkan Elara agar menunggu.
Suara seorang dokter vampir terdengar di seberang telepon, suaranya cemas dan mendesak. “Aiden, keadaan Kevin semakin buruk. Racunnya semakin menyebar, dan kita harus segera mendapatkan penawar racunnya ‘jamur purnama.’ Kalau tidak cepat, nyawanya mungkin tak tertolong.”
Mendengar kabar itu, wajah Aiden berubah serius. Tanpa berpikir panjang, ia segera berdiri, bergerak cepat menuju kursi kerjanya dan mengambil jas.
Melihat sikap Aiden yang tampak panik, Elara segera bertanya, “Ada apa, Aiden? Apa yang terjadi pada Kevin?”
Aiden menatapnya sekilas, ragu, tetapi akhirnya menjawab, “Keadaan Kevin memburuk. Aku harus pergi sekarang untuk mencari penawar racun itu.”
Elara, yang khawatir dengan kondisi Kevin, menawarkan diri untuk ikut. “Kalau begitu, aku ikut. Kamu nggak bisa pergi sendirian, Aiden.”
Namun, Aiden langsung menolaknya. “Tidak, El. Ini terlalu berbahaya untukmu. Aku nggak bisa membiarkanmu ikut. Situasi ini di luar kendalimu, dan aku nggak mau mengambil risiko.”
Elara menatapnya dengan khawatir, mengingat kejadian yang dialami Kevin sebelumnya. “Aiden, apa sebenarnya yang terjadi sama Kevin? Apa dia diserang oleh vampir? Bukan cuma sekadar perampokan, kan?”
Aiden terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Iya, ceritanya memang jauh lebih rumit. Kevin bukan korban perampokan seperti yang dia cerita padamu. Luka yang dialami… ya, itu karena serangan vampir.”
“Kenapa dia bisa sampai diserang?” tanya Elara, kebingungan. Ia merasa ada sesuatu yang tidak pernah diceritakan Aiden padanya.
“Semua ini… berhubungan dengan darah suci yang ada dalam keturunannya, El,” jawab Aiden akhirnya. “Begitu dengan darahmu adalah sumber kekuatan yang dicari banyak vampir. Jadi saat aku pergi aku nggak ingin kamu terlalu sering keluar malam, apalagi saat bulan purnama. Bahkan, aku mau kamu untuk selalu berhati-hati.”
Aiden kemudian menggenggam tangan Elara dengan lembut. “Untuk beberapa hari ke depan, aku mau kamu tinggal di rumahku. Jangan tinggalkan kalung yang kamu pakai, karena itu adalah pelindung yang kuat. Dan kalau ada apa-apa, segera hubungi aku.”
Elara menunduk, merasakan perasaan aneh dalam hatinya. Ia mengerti kekhawatiran Aiden, tetapi ia juga merasa terjebak dalam situasi yang sama sekali di luar kendalinya.
Aiden mengantarkan Elara ke rumahnya dan memastikan semuanya aman. Sebelum pergi, Aiden menyerahkan sebuah cincin kecil berwarna biru yang tampak bersinar di bawah cahaya.
“Pakailah ini, El,” kata Aiden, memasangkan cincin itu di jari manis Elara. “Ini akan melindungi mu dari energi vampir. Kalau kau memakai ini, vampir tidak akan bisa mendekatimu. Jadi, tetaplah di sini dan pakailah cincin ini. Aku akan kembali setelah menemukan penawar untuk Kevin.”
Elara menatap cincin itu, merasakan aura hangat yang mengalir darinya. “Terima kasih, Aiden. Hati-hati di sana.”
Aiden hanya mengangguk, lalu berjalan menjauh. Namun sebelum benar-benar pergi, ia berhenti sejenak, menatap Elara dari kejauhan, seolah ingin mengingat wajahnya untuk terakhir kali sebelum pergi ke tempat yang berbahaya.
“Jaga dirimu, Elara. Aku akan kembali secepatnya,” bisiknya.
Ketika Aiden menghilang di balik pintu, Elara masih berdiri di tempatnya, memegang cincin itu dengan lembut. Ada perasaan hangat dan tenang di hatinya, seakan Aiden telah meninggalkan sebagian dari dirinya untuk menjaga Elara. Meski ia cemas akan keselamatan Aiden, Elara berusaha tetap tenang dan mematuhi apa yang diminta Aiden.
Malam tiba, suasana rumah Aiden terasa hening dan gelap. Elara duduk sendirian di ruang tamu, masih merenungkan kejadian-kejadian aneh yang selama ini dia alami. Dia tahu, ada banyak rahasia yang Aiden sembunyikan, rahasia tentang dunia vampir dan tentang darah suci yang mengalir dalam dirinya.
Sambil menggenggam kalung yang dia pakai, Elara berbicara pelan, seakan-akan berbicara kepada seseorang yang tak terlihat. “Kenapa harus aku yang memiliki darah ini? Kenapa semua ini harus terjadi padaku?”
Namun, di dalam hatinya, ia tahu jawabannya. Takdir telah menghubungkan dirinya dengan Aiden, dan perasaan itu semakin jelas setiap harinya.
Di tempat lain, Aiden berjuang melewati kegelapan hutan yang sunyi, mencari jamur purnama yang menjadi satu-satunya penawar bagi Kevin. Ia tahu waktu tidak berpihak padanya, dan nyawa Kevin tergantung dari seberapa cepat ia bisa menemukan jamur itu.
Namun, bahkan dalam misi berbahaya itu, pikirannya sesekali kembali pada Elara gadis dengan jiwa murni yang memiliki darah suci, gadis yang selama ini ia jaga dengan segenap kekuatannya. Sebuah senyum tipis terukir di wajah Aiden ketika mengingat senyuman Elara, wajahnya yang selalu hangat dan ceria meski dalam situasi sulit.
“Bertahanlah, Elara,” bisik Aiden pada dirinya sendiri. “Aku akan melindungi mu, apapun yang terjadi.”
Di rumah, Elara duduk merenung, menyentuh cincin pemberian Aiden sambil memandang ke luar jendela. Dalam hatinya, ia merasa ada hubungan yang mendalam di antara mereka berdua, sebuah ikatan yang tak terucapkan namun terasa begitu nyata. Ia berjanji pada dirinya sendiri, apapun yang terjadi, ia akan menunggu Aiden kembali dengan selamat.
Dini hari, ponsel Elara berdering, sebuah pesan dari Aiden masuk. Pesan itu singkat, tetapi membuat Elara tersenyum kecil di tengah kekhawatirannya.
“Aku menemukan jamurnya, El. Tunggu aku pulang.”
Elara merasa lega dan senang sekaligus. Takdir mereka memang penuh teka-teki, tetapi Elara tahu, selama ada Aiden di sisinya, dia siap menjalani apapun yang akan datang.