Dominica Sophia Raviola Dexter, gadis cantik berusia 16 tahun itu merasa hidupnya tidak tenang karena selalu dipertemukan oleh seorang pria bernama Alexander Kai Devinter, pria yang berusia 12 tahun jauh di atas dirinya.
Alexander Kai Devinter, laki-laki berusia 28 tahun, pria single yang dingin dan menutup hati setelah kepergian sang kekasih, hingga orang tuanya nyaris kehilangan harapan memiliki menantu, mulai bangkit kembali dan mulai mengejar gadis yang membuatnya jatuh hati. Setelah pertemuan malam hari di sebuah pesta itu.
Bagai terikat sebuah benang takdir, keduanya selalu dipertemukan secara tidak sengaja.
Akankah Sophia menerima takdir cintanya, atau justru membuat takdir cintanya sendiri?
Don't Boom like!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Claudia Diaz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketegangan Saat Pelajaran Olahraga
Mentari bersinar cerah, secerah senyum Kai pagi ini. Dengan semangat 45, Kai turun dan bergabung dengan keluarganya untuk sarapan. Ini sudah berjalan hampir sebulan lamanya semenjak ia mendapat lampu hijau dari calon ayah mertua.
“Morning," sapa Kai pada papa dan mamanya. Yang dibalas juga dengan mengucapkan selamat pagi.
“Akhir-akhir ini kau selalu tersenyum, Son? Mama senang melihatnya," ujar Julia. Hati ibu mana yang tak bahagia kala melihat putranya selalu tersenyum. Tidak seperti yang dahulu-dahulu di mana wajah sang putra hanya menampilkan ekspresi datar dan dingin seolah tak tersentuh.
Dalam hati ia tak henti-hentinya bersyukur pada Tuhan karena telah mempertemukan putranya dengan malaikat seperti kecil seperti Sophia.
“Bukankah senyum itu merupakan ibadah?" jawab Kai dengan pertanyaan. Dia mendudukkan dirinya di kursi makan.
“Sebaiknya kita sarapan terlebih dulu, baru nanti dilanjut obrolannya," Joseph mengingatkan.
Mereka bertiga makan dengan tenang. Tak ada pembicaraan seperti biasanya. Hanya ada suara denting piring yang beradu dengan sendok dan garpu serta riuhnya pelayan yang berlalu-lalang membersihkan ruangan lain.
Usai sarapan, barulah sang kepala keluarga, membuka obrolan pagi ditemani secangkir kopi.
“Bagaimana pekerjaanmu menjadi seorang guru?"
“Melelahkan, tetapi juga menyenangkan. Papa tahu itu, kan?"
“Hmm ... jadilah guru yang adil untuk setiap anak didikmu, Kai. Jangan pilih kasih," nasehat Joseph.
“Aku mengerti, Pa. Sejauh ini aku selalu bersikap adil pada mereka. Karena aku tidak ingin gadisku terluka dan mendapat cemoohan dari siswa lain, jika aku hanya perhatian dengannya saja," jawab Kai.
Joseph tersenyum bangga pada sang putra, “Lalu sudah sejauh mana usahamu untuk menaklukkan hati Viola-mu itu. Dia masih cuek?"
“Tentu, dia masih cuek," Kai menyeruput kopinya susunya sebentar. “Akan tetapi, tidak separah dulu."
Joseph menepuk pundak Kai, “Teruslah berusaha, dekati ia menggunakan hati. Dia itu mirip mamamu, terlihat dingin dan sulit ditaklukan, kau harus menggunakan prinsip Veni, Vidi, Vici. Lihat dan kenali, kemudian dekati, dan mulai taklukan."
Kai mengangguk. Ya, mulai sekarang dia akan menerapkan prinsip Julius Caesar, Veni, Vidi, Vici. Pria itu melirik arlojinya sebentar. Kemudian berdiri dan beranjak dari ruang makan, “Pa, Ma. Aku berangkat dulu."
Joseph dan Julia menganggukkan kepala, tak lupa Kai mencium tangan kedua orangtuanya dan mencium kening sang ibu.
Kali ini, Kai mengendarai Chevrolet Camaro zl1 menuju ke sekolah. Bisingnya klakson kendaraan menjadi pengiring perjalanan menuju ke sekolah.
Di tengah perjalanan suara ponsel merebut atensinya sejenak di sana tertera nama Kak Mina, tanpa pikir panjang ia menjawab panggilan tersebut.
“Ya, Kak. Ada apa?"
“Kutinggal bulan madu, aku tak menyangka kau sudah beralih profesi."
“Bagaimana, apa sudah gol?"
“Kaupikir sepakbola? Akan tetapi, aku membawa kabar bahagia untukmu, sebentar lagi kau akan memiliki keponakan baru, Kai."
“Serius, kau sedang hamil saat ini?!"
“Sebentar lagi kau akan dipanggil Paman."
“Wah! Aku tidak menyangka si kepala kotak itu tokcer juga benihnya."
“Hei, sopanlah sedikit. Dia kakakmu sekarang!"
“Ya ... ya ... ya ... sudah berapa bulan?"
“Baru 4 bulan."
“Apa, Kakak cuti lama dan sudah hamil sebesar itu? Lebih parahnya lagi aku tidak tahu!"
“He-he-he ... maaf. Ya, sudah. Kita bicara lagi nanti, selamat berjuang mengejar cintamu, Kai."
“Thank you, semoga kau dan adik bayi sehat-sehat saja."
“Terima kasih, Uncle."
Kai mematikan sambungannya dan bergegas melajukan mobilnya menuju sekolahnya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Berbeda dengan Soya yang pagi ini justru murung karena ulah sang ibu. Pasalnya ia dijadikan tumbal kala sang ibu sedang mengalami masa mengidam.
Ya, sang ibu sangat ingin mengepang rambut dan entah mengapa, sang putri bungsu yang menjadi sasarannya. Kedua rambutnya dikepang dua dengan pita berwarna pink. Ingin rasanya, ia menangis dan mengadu pada sang ayah, supaya beliau menolongnya. Namun, naasnya, sang ayah justru tak bisa berbuat apa-apa, lantaran sang ibu menjadi lebih galak dari biasanya.
Jika keinginannya tak dituruti suami dan anaknya, Zizi akan berkata, “Kalian sudah tidak mencintai Mommy lagi?"
Zizi berkata dengan menahan isakan, disertai dengan mata yang berkaca-kaca. Jadi, untuk sementara Soya lebih memilih mengalah saja, meskipun dalam hati ingin menangis juga.
“Soya, jangan rusak dandanan rambutmu, ya! Terus jangan lupa, kau harus berfoto dengan Kai juga, Mommy rasa dia adalah calon menantu idaman," pesan Zizi.
“Mommy, Soya malu! Tidak bisakah minta foto yang lain saja, dengan Jayden misalnya?" Soya mencoba memberikan alternatif pada sang ibu.
”Tidak bisa, Sayang, karena dia tidak mirip dengan Kim Jong In EXO. Kemarin Mommy masuk kamarmu, dan melihat photo card Kim Jong In yang kau susun dengan rapi. Ternyata Kim Jong In, tampan juga, ya? Dan dia itu mirip dengan Kai, bahkan sangat mirip, makanya kau harus berfoto dengannya, ya!" pesan Zizi lagi.
Demi apa pun, seketika Soya mendadak benci dengan Kim Jong In EXO. Mengapa wajah tampan idolanya itu harus mirip dengan seseorang yang paling Soya hindari?
Soya mencibir, “Mommy ini semenjak hamil semakin hari, semakin genit saja. Tidak ada rasa bersyukurnya sama sekali sudah diberi suami seperti Daddy, yang tampan, rupawan, menawan dan tiada lawan, punya harta melimpah pahatan tubuh bak dewa Apollo. Eh, ujung-ujungnya masih incar Pak Kai yang tidak ada apa-apanya, dengan Daddy."
“Kau ini anak Mommy bukan, sih. Kenapa selalu saja menjawab setiap perkataan, Mommy?!" Zizi mulai kesal.
“Mommy sayang. Ya, Soya anak Daddy dan Mommy dong. Memang sejak kapan Soya mendeklarasikan kalau Soya ini anak tetangga?" jawab Soya dengan pertanyaan.
“Sudah berangkat sana. Awas saja kalau tidak menuruti keinginan adik bayi dalam perut, Mommy, jangan harap kau bisa masuk rumah!" ancam Zizi, mata pandanya memicing dibuat seseram mungkin, hingga membuat Soya bergidik.
“Iya-iya. Ya, sudah Soya berangkat dulu, nanti bisa terlambat. Pak Kai itu tidak memiliki belas kasihan pada siswa, dia akan menghukum siswanya dengan cara militer!" pamit Soya dengan langkah setengah hati. Dia tidak ingin berangkat sekolah pagi ini. Akan tetapi, apalah daya, sang ibu negara akan mengamuk jika ia membolos lagi.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hari ini kelas 2-A sedang pelajaran olahraga. Mereka tengah melakukan pemanasan terlebih dahulu, sebelum memulai materi. Beberapa siswi menahan pekikan kekaguman akan ragawi guru mereka yang sangat sempurna.
Bisik-bisik mulai terdengar sejurus langkah Kai berjalan memasuki lapangan outdoor dengan membawa bola basket, dibantu dengan beberapa siswa putra. Dari antara semua siswa berjejer mengenakan seragam olahraga dengan rapi, Soya justru memilih tampil berbeda dari teman-temannya yang lain hingga sedari tadi mengundang tatapan aneh dari para siswa.
“Selamat pagi anak-anak!" sapa Kai dengan suara lantang.
“Pagi, Pak!" jawab siswa serentak.
“Bagaimana kabar kalian hari ini? Semoga sehat-sehat saja, ya! Baiklah pada pertemuan kita hari ini, kita akan mempelajari materi tentang basket. Kalian pasti sudah pernah mempelajari di sekolah menengah pertama, atau mungkin di sekolah dasar kalian pernah mempelajarinya," jelas Kai, matanya memindai satu-persatu muridnya. Netranya menangkap sesuatu yang janggal. Di sana ia melihat anak pinguin tersesat dengan mengenakan hoodie berwarna abu-abu gelap.
“Itu yang barisan belakang, kenapa memakai hoodie, apa kau sudah tidak tahu peraturan sekolah mengenai seragam?" tanya Kai.
Soya gelagapan, sial sekali dirinya ketahuan padahal dia sudah berada di barisan belakang supaya tidak terlihat, tapi dasar gurunya adalah pensiunan paranormal, jadi dia tetap ketahuan.
“Maju ke depan sini!" perintah Kai. Mau tak mau Soya berjalan pindah ke depan tepat di hadapan Kai.
“Apa sekarang hoodie merupakan seragam sekolah?" tanya Kai lagi yang mendapat gelengan dari Soya.
“Lalu kenapa kau memakai hoodie saat pelajaran olahraga. Apa kau tidak memakai seragam olahraga?"
“Saya sedang tidak enak badan, Pak. Saya sedang demam," jawab Soya cepat. Berharap Kai percaya dengan alasan yang ia utarakan.
Kai hanya memandang Sophia dan dengan cepat tangannya membuka tudung kepala Soya, membuat gadis itu memekik. Tampaklah dandanan Sophia yang menurut Sophia sendiri sangat aneh dan memalukan.
Melihat penampilan Sophia yang tidak biasa itu sontak saja membuat seluruh siswa kelas 2-A meledakkan tawanya.
Telapak tangan besar milik Kai langsung mendarat di kening gadis itu, tubuh Soya membeku. Sejenak ia lupa, bagaimana cara bernapas.
Beberapa siswi hanya memekik dengan melempar tatapan iri. Kapan lagi bisa dipegang dan diperhatikan oleh guru yang menjadi idola para siswi.
“Tidak panas, itu berarti kau tidak demam. Lepas hoodie-mu sekarang juga!" ucap Kai dengan nada memerintah terdengar mutlak.
Meski diiringi dengan decakan kesal Soya tetap melepas hoodie miliknya. Teman-temannya semakin mentertawakan dirinya karena penampilannya yang dibilang mirip dengan bocah sekolah dasar. Namun, tak sedikit pula yang memekik menahan gemas, karena wajahnya tampak sangat imut dan menggemaskan.
Bagaimana reaksi Kai sendiri?
Tentu ia menjadi salah satu yang berusaha mati-matian menahan rasa gemas pada anak didiknya yang satu ini.
Dengan wajah memerah yang disembunyikan dalam balik poninya dan kepalanya yang tertunduk Soya merasa malu. Sungguh sama sekali bukan gayanya!
“Apa alasanmu memakai hoodie pada saat jam pelajaran padahal kau sedang tidak sakit?" Kai bertanya sembari menatap tajam Soya.
“Saya ... saya merasa malu dengan dandanan saya, Pak," ucap Soya lirih yang hanya mampu didengar oleh Kai.
Kai, pria itu melihat jelas wajah Soya yang memerah padam menahan malu. Ingin rasanya ia tertawa lepas, tetapi ia masih memiliki hati nurani tidak ingin membuat gadisnya ini lebih malu lagi.
“Kembalilah ke barisan, kita lanjutkan materi kita dan untuk hoodie-mu, akan saya sita sementara!" kata Kai.
Sophia berbalik dan kembali ke barisan, masih dengan kepala tertunduk. Beberapa temannya menahan tawa.
Kai melanjutkan menjelaskan teknik dasar bola basket, setelah materi singkat diberikan, Kai mulai mencontohkan teknik-teknik dasar bola.
Soya masih tertunduk, tidak memperhatikan, dirinya masih merasa malu, bahkan menatap orang-orang pun, dia tidak mampu. Ini semua gara-gara permintaan aneh sang ibu yang mengatasnamakan jabang bayi yang ada dalam kandungannya.
Berikutnya Kai membentuk kelompok yang berisi dua orang untuk mempraktikkan teknik melempar dan menangkap bola.
Kai memperhatikan satu-persatu muridnya yang masih melakukan passing dan catching bola basket.
Dia melangkahkan kakinya dan berhenti di belakang Soya dan membenarkan posisi tubuh Soya agar berdiri dengan posisi tegap. Dan mendongakkan kepala gadis itu. Sedangkan Soya sendiri terkejut bukan main karena tangan Kai yang memegang tubuhnya untuk membetulkan posisinya.
Bisik-bisik mulai terdengar, gunjingan tersebut semakin terdengar jelas mengusik indera pendengaran, Soya sendiri mengepalkan tangannya, tangannya yang gatal langsung melempar bola basket dengan cepat ke arah siswa yang menggunjingkan dirinya. Hingga mengenai kepala dan membuat gadis yang menggunjingnya itu jatuh pingsan.
Bruk!
typ typ😝
tapi karya ini bagus.. alurnya agak lambat sih mnurutku, tapi ada kejutan di tiap bab nya, jadi mencegah bosan. terutama tokoh wanitanya, digambarkan sebagai wanita kuat, kuat dari semua sudut.