Libelle Talitha, atau Belle, adalah gadis 17 tahun yang hidup di tengah kemewahan sekolah elit di Inggris. Namun, di balik kehidupannya yang tampak sempurna, tersembunyi rahasia kelam: Belle adalah anak dari istri kedua seorang pria terpandang di Indonesia, dan keberadaannya disembunyikan dari publik. Ayahnya memisahkannya dari keluarga pertamanya yang bahagia dan dihormati, membuat Belle dan ibunya hidup dalam bayang-bayang.
Dikirim ke luar negeri bukan untuk pendidikan, tetapi untuk menjauh dari konflik keluarga, Belle terperangkap di antara dua dunia. Kini, ia harus memilih: terus hidup tersembunyi atau memperjuangkan haknya untuk diakui.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Balik Kemewahan
Belle menatap kosong ke arah pintu ketika ayahnya pergi. Keheningan kembali menguasai ruangan megah itu, membuatnya merasa lebih terasing dari sebelumnya. Tidak lama setelah itu, suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya.
Dengan malas, Belle membuka pintu dan mendapati seorang pria berpakaian rapi berdiri di sana. Dia membawa beberapa tas dan kotak yang tampak penuh berisi barang-barang baru. Belle tidak mengenalnya, tetapi pria itu tampak sangat percaya diri.
“Selamat sore, Nona Belle. Saya Alfie, salah satu pegawai ayah Anda,” katanya ramah, seraya meletakkan tas-tas di lantai. “Saya disuruh mengantarkan seragam sekolah baru Anda dan perlengkapan lainnya.”
Belle hanya mengangguk tanpa banyak bicara, merasa semakin jauh dari kehidupannya yang dulu. Tas-tas mewah, seragam sekolah, dan kotak-kotak penuh barang-barang mahal di lantai hanya menambah rasa canggung yang menyelimutinya.
Alfie kemudian mengambil sebuah kotak kecil dari dalam tasnya dan mengulurkannya kepada Belle. "Dan ini, sebuah ponsel terbaru untuk Anda. Saya dengar dari ayah Anda bahwa Anda telah merusak ponsel lama Anda."
Belle memandang ponsel itu dengan tatapan sinis. "Ya, aku membantingnya," jawabnya dingin, tanpa mengambil ponsel itu dari tangan Alfie.
Alfie tersenyum sopan, seolah sudah terbiasa menghadapi reaksi semacam ini. “Saya paham, mungkin saat itu Anda sedang marah. Namun, saya yakin ini akan membantu Anda tetap terhubung, terutama saat Anda mulai bersekolah di sini.”
Belle hanya mendengus dan menerima ponsel itu tanpa berkata-kata. Dia tidak ingin bicara panjang lebar. Kehidupan baru yang dipaksakan padanya terasa seperti jebakan, seolah-olah semua yang terjadi hanya cara ayahnya untuk menutupi perasaannya yang sebenarnya rasa bersalah.
Alfie melihat Belle tidak berminat untuk melanjutkan percakapan, jadi dia menata barang-barang itu dengan cepat. “Jika ada yang Anda butuhkan, jangan ragu untuk menghubungi saya. Nomor saya sudah ada di ponsel baru Anda.”
Belle mengangguk singkat tanpa benar-benar mendengarkan. Setelah Alfie pergi, Belle menatap ponsel barunya di tangan. Ia mengenali upaya ayahnya untuk menyenangkan dirinya dengan barang-barang mewah. Tapi apa gunanya semua itu ketika yang ia inginkan hanyalah kenyataan yang lebih sederhana—keluarga yang utuh?
Dengan perasaan campur aduk, Belle meletakkan ponsel di atas meja. Dia menghela napas panjang, merasa semakin terjebak di antara kehidupan yang tidak pernah ia pilih. Seragam sekolah barunya, perlengkapan mewah yang tidak ia minta, semuanya terasa seperti simbol dunia yang berusaha menjauhkannya dari kenyataan yang pernah ia kenal.
Belle tahu, meskipun ia bisa berpura-pura di hadapan orang lain, ada sesuatu di dalam dirinya yang mulai hancur. Hidup di balik bayang-bayang ayahnya yang berkuasa, dan kenyataan bahwa ia harus menghadapi hidup ini sendirian tanpa ibunya, membuat setiap detik terasa semakin berat.
Dia menatap barang-barang baru itu dengan perasaan muak, lalu berjalan ke arah jendela besar yang membingkai pemandangan kota Jakarta. Kilauan lampu-lampu kota malam yang tampak indah tidak bisa menghibur hatinya yang hampa.
Belle mengelus foto ibunya yang masih dipegangnya, dan perlahan-lahan air mata kembali mengalir. Kehidupan baru ini mungkin lebih mewah dari apa pun yang pernah ia bayangkan, tetapi itu juga terasa lebih kosong dari yang pernah ia rasakan.
***
Di rumah besar yang megah dan mewah, Pak Markus baru saja memasuki pintu dengan beberapa kantong oleh-oleh di tangannya. Senyum terlukis di wajahnya, meski di dalam hatinya ada perasaan bersalah yang ia tutupi dengan baik. Setiap langkah yang ia ambil di rumah itu seperti bagian dari sandiwara besar yang harus ia mainkan, sandiwara yang sudah ia jalani selama bertahun-tahun.
"Papa pulang!" suara ceria Paula terdengar dari ruang tamu saat ia berlari menyambut ayahnya. Di belakangnya, Elvin, anak pertama Pak Markus, juga berjalan dengan santai, tetapi senyuman di wajahnya menunjukkan bahwa ia pun senang melihat ayah mereka kembali.
Paula dengan cepat menghampiri ayahnya dan memeluknya. "Papa bawa oleh-oleh?" tanyanya dengan mata berbinar. Elvin, yang lebih dewasa dan tenang, tersenyum melihat adiknya yang antusias.
Pak Markus tertawa ringan, mengangkat kantong-kantong yang dibawanya. "Tentu saja, Papa selalu ingat anak-anak Papa," jawabnya dengan hangat, mencoba menyembunyikan perasaan bersalah yang menggantung di hatinya. "Ini ada beberapa oleh-oleh dari perjalanan Papa."
Paula membuka salah satu kantong dan menemukan berbagai macam hadiah kecil dari toko-toko mewah. "Wah, Papa benar-benar tahu apa yang aku suka!" ucapnya senang, mengeluarkan parfum dan aksesoris yang ia kagumi. Elvin juga menerima oleh-oleh, meskipun ia tidak terlalu antusias seperti adiknya. Namun, perhatian ayahnya tetap membuatnya merasa dihargai.
Setelah membagikan oleh-oleh itu, Pak Markus duduk di sofa dengan Paula yang masih menempel di sisinya. "Bagaimana kabar kalian di rumah? Semuanya baik-baik saja, kan?" tanyanya, mencoba mengalihkan pikiran dari perasaannya yang baru saja meninggalkan Belle sendirian di apartemen.
"Baik, Pa," jawab Elvin sambil duduk di kursi dekat ayahnya. "Tapi, Mama agak sedikit khawatir karena Papa bilang ada meeting mendadak. Aku bilang ke Mama supaya jangan terlalu khawatir, karena Papa kan sering pergi untuk urusan kerja."
Pak Markus mengangguk, bersyukur Elvin membantunya menjaga kebohongannya. "Ya, benar. Papa harus menyelesaikan beberapa urusan penting, tapi sekarang Papa sudah di sini," katanya sambil tersenyum hangat, meski dalam hatinya rasa bersalah terus menumpuk.
Paula, yang masih memandangi oleh-oleh barunya, menatap ayahnya dengan rasa kagum. Bagi Paula, ayahnya adalah sosok sempurna pria berkuasa, sukses, dan selalu memanjakan mereka. Ia tidak pernah tahu atau bahkan membayangkan bahwa di luar kehidupan mereka yang tampak sempurna ini, ada keluarga lain yang hidup dalam bayang-bayang kebohongan.
Sementara itu, di dalam dirinya, Pak Markus tidak bisa sepenuhnya menikmati momen kebersamaan ini. Pikirannya kembali melayang ke Belle, anaknya yang terabaikan. Meski sudah berusaha memberikan fasilitas terbaik untuk Belle, ia tahu ada sesuatu yang tidak bisa ia perbaiki hubungan yang retak antara mereka. Ia sudah memilih jalannya, dan kini ia harus menjalani konsekuensinya.
Namun, di hadapan Paula dan Elvin, Pak Markus tetap tersenyum, berusaha memainkan peran sebagai ayah yang penuh perhatian. Meskipun kenyataan yang ia sembunyikan semakin menekan, ia tetap harus menjaga tampilan hidup bahagia dan sempurna di rumah ini. Baginya, ini adalah harga yang harus dibayar demi menjaga kedamaian kedua keluarganya, meskipun itu berarti mengorbankan perasaan Belle dan ibunya yang telah tiada.
***
Belle membuka ponsel barunya dengan sedikit keraguan. Sentuhan pertama pada layar yang masih bersih dan cemerlang membuatnya merasa aneh, seolah-olah ponsel ini adalah pengganti yang tidak pantas dari yang sudah ia hancurkan beberapa hari lalu. Ia menyalakan ponsel tersebut dan melihat logo yang muncul di layar, mengingatkan dirinya pada teknologi yang seharusnya membantu, tetapi sekarang hanya menjadi pengingat dari semua kekacauan yang ia coba hindari.
Saat ponsel sudah aktif, Belle memutuskan untuk mengecek media sosialnya sesuatu yang telah ia abaikan sejak kematian ibunya. Ia menarik napas panjang sebelum membuka aplikasi media sosial, merasa sedikit cemas tentang apa yang mungkin ia temukan.
Begitu aplikasi terbuka, rentetan notifikasi langsung membanjiri layar. Pesan-pesan, komentar, dan tag dari teman-teman di Inggris, juga beberapa dari Indonesia, semuanya tertumpuk tanpa terbaca. Namun, salah satu notifikasi menarik perhatiannya. Itu adalah pesan dari Draven.
Belle memandangi pesan itu selama beberapa detik, merasa ragu. Sudah berhari-hari ia tidak membuka media sosial atau memikirkan apapun selain ibunya dan rasa sakit yang terus menghantuinya. Namun, pesan dari Draven membuatnya penasaran.
Dengan hati-hati, Belle mengetuk pesan tersebut dan membukanya.
"Hey, Belle. Apa kamu baik-baik saja? Aku sudah beberapa kali mencoba mencarimu setelah kita ketemu terakhir kali. Tolong hubungi aku kalau kamu melihat ini."
Ada beberapa pesan lain setelah itu, tapi Belle hanya fokus pada yang pertama. Ia membaca kata-kata itu berulang kali, mencoba mencari tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya.
Belle menghela napas dalam-dalam, rasa bersalah dan kebingungan menyelimuti pikirannya. Ia tidak ingin menarik orang lain ke dalam kekacauan hidupnya, terutama seseorang seperti Draven yang ia temui hanya secara kebetulan. Tapi di sisi lain, ada sesuatu dalam dirinya yang merasa tenang saat mengingat percakapan mereka, betapa nyaman dan tidak terbebani saat bersamanya.
serta jangan lupa untuk mampir di ceritaku ya❤️
ada beberapa kalimat yang masih ada pengulangan kata..
contoh kyk ini: Belle berdiri di jendela di bawah langit.
jadi bisa d tata struk kalimatnya;
Belle berdiri di tepi jendela, menatap langit Inggris yang kelam
atau bisa juga Belle berdiri di jendela, memandang langit kelam yang menyelimuti Inggris.
intinya jgn ad pengulangan kata Thor, dan selebihnya udah bagus