novel fantsy tentang 3 sahabat yang igin menjadi petualang lalu masuk ke akademi petualang dan ternyata salah satu dari mereka adalah reinkarnasi dewa naga kehancuran yang mengamuk akbiat rasnya di bantai oleh para dewa dan diapun bertekad mengungkap semua rahasia kelam di masa lalu dan berniat membalas para dewa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Albertus Seran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Warisan Perang yang Terlupakan
Langit di atas mereka dipenuhi naga yang melesat cepat, sisik mereka memantulkan kilauan cahaya dari petir yang menggelegar di antara awan kelam. Aric, Lyria, dan Kael berdiri terpaku di padang luas yang diliputi oleh hiruk-pikuk pertempuran. Suara dentingan logam dan raungan makhluk-makhluk raksasa bergema di udara, membuat ketiga sahabat itu merasa begitu kecil di tengah kekacauan yang terjadi.
"Apa... apa ini?" bisik Lyria, suaranya hampir tak terdengar di tengah gemuruh pertempuran. Ia menggenggam tongkat sihirnya lebih erat, jari-jarinya gemetar.
Kael, yang biasanya begitu percaya diri, kini tampak pucat. "Kita... kita ada di masa lalu," katanya dengan nada tak percaya. "Ini perang besar yang disebut dalam legenda... perang yang membinasakan ras naga."
Aric berdiri kaku, matanya membelalak melihat kehancuran di sekelilingnya. Ia merasa perutnya mual melihat darah mengalir membasahi tanah dan asap membubung ke angkasa. Namun, yang paling menakutkan adalah perasaan akrab yang mengalir di dalam dirinya. Seolah-olah ia pernah berada di sini sebelumnya. Seolah-olah ini adalah kenangan yang lama ia pendam.
"Aric," suara dalam kepalanya bergema, lembut namun tegas. Aric memegang kepalanya, rasa sakit yang tiba-tiba menyerangnya membuatnya tersentak. "Ingat siapa dirimu... ingat keadilan yang pernah kau perjuangkan."
"Siapa kau?" Aric berbisik, rasa panik mengisi suaranya. Namun, tidak ada jawaban selain gema dari jeritan dan tangisan para prajurit yang bertempur.
Sebelum Aric bisa berkata lebih banyak, seekor naga besar dengan sisik sehitam malam meluncur ke arah mereka, taringnya menyala dengan api biru yang menyala-nyala. Lyria dan Kael bersiap, mengangkat senjata mereka dengan gemetar. Tapi naga itu tidak menyerang. Sebaliknya, ia mendarat dengan dentuman keras di depan mereka, matanya yang besar dan cemerlang menatap Aric dengan intensitas yang tak dapat dipahami.
"Dewa Naga Kehancuran," suara naga itu dalam dan penuh kekuatan. "Kau telah kembali."
Aric merasa tubuhnya membeku, kata-kata naga itu menggema di dalam dirinya. "Aku bukan... aku bukan Dewa Naga," katanya, suaranya pecah. "Aku hanya... aku hanya Aric."
Naga itu mengeluarkan suara serupa tawa, meskipun terdengar lebih seperti gemuruh gunung. "Kau tidak ingat, tapi tubuhmu tahu," kata makhluk raksasa itu. "Kau adalah warisan dari kehancuran dan kebencian, dari kesetiaan yang dikhianati."
Lyria melangkah maju, mencoba menengahi. "Apa yang kau bicarakan?" Ia menatap naga itu dengan keberanian yang dipaksakan. "Aric adalah teman kami. Ia bukan dewa apa pun."
Naga itu menundukkan kepala, matanya memperhatikan Lyria dengan rasa ingin tahu. "Kalian semua hanyalah anak-anak kecil yang tersesat," katanya. "Tapi kebenaran akan menghancurkan kepolosan kalian."
Kael mengayunkan pedangnya, kemarahan terlihat di wajahnya. "Jika kau ingin melukai kami, cobalah," katanya, suaranya penuh ketegangan. "Kami tidak akan membiarkanmu mengganggu kami lebih jauh."
Namun, sebelum naga itu bisa menjawab, tanah di sekitar mereka mulai bergetar. Suara gemuruh yang semakin mendekat membuat mereka bertiga menoleh, hanya untuk melihat pasukan besar mendekat. Di depan pasukan itu, seorang pria bertubuh kekar mengenakan armor emas berkilauan, memimpin dengan tangan terangkat tinggi.
"Para prajurit cahaya," bisik naga itu dengan penuh kebencian. "Penjagal ras kami. Mereka datang untuk menghancurkan apa yang tersisa."
Aric melihat sosok pria itu, dan sesuatu di dalam dirinya bergolak. Ia merasakan kemarahan yang mendalam, kemarahan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Kenangan-kenangan asing mengalir ke dalam pikirannya: kenangan tentang pertarungan, tentang pengkhianatan, dan tentang perasaan kehilangan yang luar biasa.
Pria berarmor emas itu mengangkat pedangnya, matanya yang bercahaya menatap langsung ke arah mereka. "Dewa Naga!" suaranya bergema di seluruh medan perang. "Hari ini, kami akan mengakhiri penderitaan yang kau sebabkan! Kami akan membebaskan dunia dari kutukanmu."
Aric ingin berteriak bahwa ia bukan dewa, bahwa ia tidak tahu apa yang terjadi. Tapi kata-kata itu tidak keluar. Sebaliknya, rasa amarah menguasainya, dan ia merasakan kekuatan yang menakutkan membangkit di dalam tubuhnya.
"Aric!" teriak Lyria, mencoba meraih tangan sahabatnya. "Kau harus melawan perasaan itu. Ini bukan dirimu."
Namun, Aric sudah terjebak dalam arus kenangan dan emosi yang meluap-luap. Tubuhnya terasa ringan, dan ia merasakan energi gelap membungkus dirinya. Api biru mulai menyala di sekelilingnya, dan matanya bersinar seperti permata obsidian.
Kael melihat perubahan itu dan mundur ketakutan. "Aric... jangan biarkan itu menguasaimu!" teriaknya. "Kau harus tetap sadar."
Naga hitam itu mengangguk, seolah-olah puas. "Sekarang kau tahu," katanya. "Bangkitlah, Dewa Naga. Buktikan pada mereka siapa yang sebenarnya kuat."
Aric mengerang, berusaha melawan kekuatan yang ingin mengambil alih dirinya. Ia mendengar suara Lyria dan Kael, namun suara mereka semakin jauh. Dunia di sekitarnya tampak memudar, digantikan oleh kegelapan yang dalam.
"Aku tidak ingin ini," pikirnya, meskipun ia tidak yakin apakah itu benar-benar keinginannya.
Namun, saat prajurit cahaya mendekat, Aric merasakan sesuatu yang lebih kuat dari keraguan: keinginan untuk bertahan, untuk melindungi. Ia tidak tahu siapa yang harus ia percaya, atau apa yang harus ia lakukan. Tapi ia tahu bahwa ia tidak bisa membiarkan dirinya dikendalikan.
"Aku adalah Aric," katanya, meskipun suaranya bergema dengan kekuatan lain yang lebih tua dan lebih gelap. "Dan aku akan melawan apa pun yang mencoba menghancurkan aku dan teman-temanku."
Dengan energi biru yang masih menyala di sekelilingnya, Aric berbalik, menatap pria berarmor emas yang mendekat. Prajurit itu tersenyum, tetapi senyuman itu penuh kebencian.
"Baiklah, Dewa Naga," katanya. "Tunjukkan kekuatanmu. Tunjukkan mengapa kami harus takut padamu."
Aric menyiapkan diri, tidak tahu apakah ia akan menang atau kalah, tetapi tahu satu hal: ia tidak akan menyerah. Di sampingnya, Lyria dan Kael berdiri dengan senjata terangkat, siap untuk bertarung bersama.
rahasia di bab berikutnya?