Ketika seorang pemuda dihantui oleh teka-teki atas hilangnya sang Ayah secara misterius. Bertahun-tahun kemudian ia pun berhasil mengungkap petunjuk dari buku catatan sang Ayah yang menunjuk pada sebuah batu prasasti kuno.
Satrio yang memiliki tekad kuat pun, berniat mengikuti jejak sang Ayah. Ia mulai mencari kepingan petujuk dari beberapa prasasti yang ia temui, hingga membawanya pada sebuah gunung yang paling berbahaya.
Dan buruknya lagi ia justru tersesat di sebuah desa yang tengah didera sebuah kutukan jahat.
Warga yang tak mampu melawan kutukan itu pun memohon agar Satrio mau membantu desanya. Nah! loh? dua literatur berbeda bertemu, Mistis dan Saint? Siapa yang akan menang, ikuti kishanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deni S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Hutan di Seberang
Rasa lelah mulai menggerogoti tubuhnya, tetapi tekadnya terlalu kuat untuk diabaikan. Satrio tahu bahwa sesuatu yang besar menunggunya di ujung perjalanan ini, dan ia tidak akan berhenti sebelum menemukannya.
Satrio terus melangkah mantap ke arah barat, bergelut dengan waktu yang terus berlalu. Hutan yang seolah tak berujung, hanya menyisakan jejak langkahnya di antara tanah lembab dan daun kering. Pohon-pohon besar dan semak-semak rapat seakan tak ada habisnya ia lalui, namun Satrio tetap fokus. Kompas di tangannya masih menunjuk jelas ke arah yang sama.
Tiba-tiba, langkahnya melambat. Di antara keheningan hutan yang begitu mendalam, ia mendengar suara deru air yang memecah kesunyian Perlahan, Satrio memejamkan mata, mencoba lebih fokus pada suara itu. "Ini suara sungai." gumamnya.
Gemuruh sungai yang terdengar samar, seolah memanggil jiwanya untuk mendekat. Suara itu semakin jelas, menembus keheningan hutan, membawa kesegaran yang kontras dengan suasana dahaga di sekelilingnya.
Ia membuka mata, mengarahkan pandangannya ke arah suara itu. Dengan segera ia membuka langkahnya. Deru sungai yang samar, kini berubah memekakkan telinga, ketika ia tiba di sebuah tebing tinggi. Di hadapannya, sungai luas mengalir dengan arus deras, membawa buih yang menghantam batu-batu besar di dasar tebing. Airnya berwarna coklat gelap, bergulung-gulung dengan kekuatan yang tampak mematikan. Pemandangan itu membuat Satrio tertegun.
Satrio perlahan membuka peta, mengamati setiap garis dan tanda. Ia mengarahkan jarum kompas, mencocokkannya dengan titik yang yang ia buat sebelumnya. Tak salah lagi, jalan satu-satunya adalah menyeberangi sungai ini. Sungai yang tak memberi pilihan lain, selain menghadapi derasnya arus.
“Bagus sekali. Ini membuatku seperti berada di Film Adventure.” gumamnya sambil menghela napas panjang. Pandangannya menyusuri sungai yang tampak seolah tak mungkin disebrangi dengan mudah. Ia tahu ini bukan tugas yang ringan, tapi ia sudah terlalu jauh untuk mundur. Arus sungai yang kuat menjadi rintangan berikutnya yang harus ia taklukkan.
Beberapa kali ia menghela nafas panjang, berusaha membangkitkan semnagat atau mungkin untuk membulatkan tekadnya.
Satrio kembali menatap aliran sungai. Jarak ke seberang tampak begitu jauh, tetapi di seberang sana terdapat hutan yang lebih luas, terbentang sejauh mata memandang. Berbeda dari hutan sebelumnya, hutan di sana tampak lebih lebat dan gelap, seolah-olah sinar matahari tak mampu menembus rindangnya pepohonan. Dari kejauhan, pohon-pohon besar menjulang seperti raksasa bisu yang menjaga rahasia-rahasia kuno di dalam kegelapan.
Matanya bergerak cepat, mencoba mencari cara menaklukkan ganasnya arus sungai. "Hanya ada dua batu besar di tengah sungai. Tak mungkin aku melompat ke sana. Di bawah tebing pun tidak ada apapun selain arus sungai." gumamnya, setelah memperhatikan area sekitar.
"Lebar sungai ini, mungkin seratus," Satrio mendongak, menatap pohon-pohon di sekitarnya, lalu menggelengkan kepala samar. "Setidaknya aku butuh empat batang pohon besar, jika ingin membuat jembatan. Mustahil."
Satrio terdiam, matanya terpaku, menyaksikan gemuruh aliran sungai di depannya, seolah mengejek dirinya yang tak berdaya. Dengan frustrasi, ia menyusuri aliran sungai di tepi tebing, mencoba mencari kemungkinan lain. Namun, tak banyak pilihan yang tersisa. Pohon-pohon di sekitar tak menawarkan solusi, dan batu-batu besar di tengah arus tetap terlihat sulit dijangkau tanpa bantuan.
Satrio meremas tangannya, bibirnya mengatup rapat. Ia tahu tak boleh menyerah, tapi semakin lama ia berpikir, semakin buntu jalan keluarnya. “Kenapa titik itu harus menuju ke hutan di sana.” gumamnya, menatap arus deras yang seolah menantangnya untuk berpikir lebih keras.
Satrio terdiam, mencoba kembali menata pikirannya. Tiba-tiba, sesuatu menarik perhatiannya. Sebuah kayu besar terseret oleh arus, menghantam dua batu, sebelum akhirnya terseret hingga ke tepi sungai.
Matanya terbuka lebar, saat ia mendapatkan petunjuk, "Di ujung sana arus sungai menghantam tepi sebelum akhirnya berbelok. Mungkin aku bisa memanfaatkan sebuah pohon untuk mengapung hingga ke hilir." pikirnya.
Dengan ide gilanya, ia hendak menggunakan sebuah pohon sebagai pelampung untuk menyeberang, mengikuti aliran arus.
Tanpa banyak pikir panjang, Satrio memutuskan untuk mencari batang pohon yang bisa melancarkan aksinya. Nafasnya memburu, matanya tak henti mengitari setiap sudut hutan, berharap menemukan pohon yang telah tumbang. Ketegangan jelas menyelimuti pikirannya, tapi di balik itu, ada secercah harapan, bahwa ide gilanya ini akan berhasil.
Ia terus berjalan, hingga akhirnya menemukan sebuah pohon di tepi tebing. Pohon itu tidak terlalu besar, namun akarnya menjuntai di atas tanah yang mulai terkikis. Rasa penasaran membawanya mendekat. Satrio menyentuh batang pohon itu, menyadari betapa rapuhnya posisi pohon tersebut. Dengan sedikit dorongan, ia merasa bisa menjatuhkannya ke arah sungai.
“Semoga saja berat dari pohon ini cukup, untuk mematahkan akarnya.” pikir Satrio, memperkirakan peluangnya. Jantungnya berdebar cepat, saat ia melihat ke bawah tebing yang cukup tinggi, namun ia bersyukur tak ada batu tajam di bawah sana.
Satrio mengambil ancang-ancang, meski kakinya terasa berat. Dalam benaknya, muncul bayangan sosok yang ia kagumi. Ayahnya. Sosok yang selalu menjadi simbol keberanian dan harapan baginya. "Ayah. Apa kau pernah melakukan hal ini?" bisiknya, seakan memanggil keberanian yang sama.
Dengan penuh ancang-ancang, Satrio menarik napas panjang sebelum akhirnya ia berlari sekuat tenaga, menabrakkan bahunya ke batang pohon. Sebuah bunyi retakan terdengar saat pohon itu mulai tumbang, disertai tanah yang longsor bersamanya. Dalam sekejap, Satrio dan pohon itu pun terjun.
Satrio tak mampu berkata-kata, seolah bersiap dengan kemungkinan terburuknya. Dentuman keras terdengar, seraya tubuhnya menghantam permukaan air dengan brutal. Arus sungai yang ganas seakan langsung menelannya, begitu tubuhnya menyentuh sungai. Dalam kepanikan dan air yang gelap, ia mencoba menggapai batang pohon yang terombang-ambing bersamanya.
Namun, saat ia berpikir berhasil menguasai kayu itu, arus mulai menghantamnya dengan kekuatan tak terkendali. Batang pohon yang ia tumpangi berputar-putar, menyeretnya ke arah bebatuan yang tajam. Satrio mencengkeram kuat, berusaha bertahan meski air terus menariknya lebih dalam.
Dalam kekacauan itu, rasa panik mulai menguasai Satrio. Segala rencananya berantakan, dan ia merasa arus sungai semakin mengancam. Namun Satrio menggertakkan giginya, menahan diri agar tak terjebak dalam ketakutan.
Namun, segala usahanya seolah runtuh ketika rasa panik mulai memuncak di dada Satrio. Batang pohon yang ia tumpangi terus berputar, terjebak oleh arus yang menghantam bebatuan di dasar sungai. Satrio mencengkeram erat, namun derasnya air menjadikan situasi semakin tak terkendali.
“Ini di luar rencana!” pikirnya, memeras otak mencari cara lain. Ia sadar, jika pohon ini terus berputar di sini, ia tak akan pernah sampai di seberang. Tanpa berpikir panjang, ia memutuskan untuk bergerak menuju akar pohon. Dengan susah payah, ia menggeser tubuhnya di atas batang yang licin, menggoyang akar sekuat tenaga. Satrio berharap bisa membuat pohon itu terlepas dari jebakannya dan mengikuti aliran arus kembali.
Tepat seperti yang ia harapkan, pohon itu akhirnya mulai bergerak. Akar yang ia goyangkan terlepas dari jebakan bebatuan, dan batang pohon kembali terseret derasnya arus. Namun, tak ada waktu untuk merasa lega. Arus semakin kuat, dan gemuruh air di sekelilingnya terdengar semakin menakutkan.
Ketika pohon itu terbentur keras di kelokan sungai, tubuh Satrio terhempas ke samping. Paniknya semakin menjadi. Ia meraih apa pun yang bisa dicapai di tepi sungai, tangannya berhasil mencengkeram akar besar yang menonjol di tepian. Dengan napas tersengal dan sisa tenaga yang dimilikinya, Satrio menarik tubuhnya ke darat, berusaha sekuat tenaga melawan arus yang terus menariknya ke dalam.
Akhirnya, Satrio berhasil mengangkat dirinya ke tanah basah di tepi sungai. Terbaring lelah, napasnya memburu, dadanya naik-turun seolah paru-parunya baru saja dibebaskan dari tekanan air. Pandangannya mengarah pada langit yang semakin cerah, seakan memberikan kesempatan untuk bernafas lega. Dengan suara pelan, ia berbisik, “Syukurlah, aku masih bisa bernafas...”
Beberapa saat, Satrio hanya terbaring menatap langit. Ia membiarkan tubuhnya pulih dari kelelahan, membiarkan ketegangan tadi larut bersama gemuruh air yang kini terdengar lebih jauh dan tenang. Perlahan, napasnya kembali teratur, meski dada masih terasa sesak akibat ketegangan yang baru saja dialami.
Ketika rasa lelahnya mulai menghilang, Satrio berusaha bangkit. Ia duduk perlahan, tubuhnya terasa berat, tapi hatinya sedikit lega. Matanya tertuju ke arah sungai, pada batang pohon yang tadi hampir menjadi ancaman kini tampak tergeletak tak berdaya, terjebak di antara bebatuan besar di kelokan sungai. Senyuman tipis muncul di wajahnya.
“Terima kasih, pohon,” gumamnya, seolah memberikan penghormatan pada pohon itu yang tanpa disadari telah membantunya menyeberangi sungai.
Menyadari tubuhnya basah kuyup, Satrio mencari tempat yang terpapar sinar matahari. Di sebuah area terbuka di tepi hutan, ia mendapati tempat yang cukup luas untuk mendirikan tenda dan mengeringkan diri. Ia segera memasang tenda, mencoba menghalau rasa dingin yang mulai menyelinap ke tulangnya.
Setelah tendanya berdiri, Satrio memeriksa barang-barangnya. Namun, saat ia meraih kedua ponselnya, jantungnya terasa mencelos. Kedua ponsel itu basah dan mati total. Berkali-kali ia mencoba menyalakannya, namun tak ada respons. "Gawat! Ini gawat! Kenapa aku lupa dengan semua ini!" gumamnya getir, menatap silih berganti pada elektronik yang kini tak berguna lagi. "Dua-duanya rusak!"
Kenyataan pahit mulai merasuk, ponsel-ponselnya tak akan menyala lagi. Ia tak memiliki cara untuk menghubungi Gilang atau timnya yang lain. Kini ia benar-benar sendirian di tengah hutan, tanpa teman, tanpa komunikasi, dan yang lebih buruk, ia berada di luar jalur yang disarankan oleh timnya.
Satrio menarik napas panjang, menatap lebatnya hutan di sekelilingnya. Sunyi tiba-tiba menyergapnya, lebih nyata daripada sebelumnya. Namun ia tahu, tak ada waktu untuk meratapi keadaan. Satu-satunya pilihan adalah terus bergerak maju. Sendirian, mengandalkan insting dan pengetahuannya.
lanjut nanti yah