Mengisahkan tentang perjalana kehidupan seorang anak bernama Leonel Alastair yang berasal dari keluarga Von Adler. Kecintaannya pada musik klasik begitu melekat saat dia masih kecil, demi nama keluarga dan citra keluarganya yang sebagai musisi.
Leonel menyukai biola seperti apa yang sering dia dengarkan melalui ponselnya. Alunan melodi biola selalu membawanya ke masa masa yang sangat kelam dalam hidupnya.
Namun perlahan seiringnya waktu berjalan, kehidupan dan minatnya berubah. Dengan bantuan seorang kakak angkat Raehan dia memiliki tujuan baru, dengan tujuan tersebut dia bertemu seseorang yang menempati hatinya.
Bromance!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9: "Di Balik Senyum yang Hilang"
Langit yang biasanya biru cerah kini tertutup awan kelabu, seolah mencerminkan suasana hati Leonel. Hari pertama di sekolah menengah pertama pertamanya (SMP) terasa lebih sunyi dari yang pernah ia bayangkan. Ia berdiri di depan gerbang sekolah, mengamati kerumunan siswa yang berlalu-lalang dengan tawa dan percakapan riang. Namun, tak ada satu pun senyum yang ia temui untuk dirinya. Morgan tak lagi ada di sampingnya, dan perasaan kesepian itu kini terasa semakin mencekam.
Langkahnya berat saat memasuki kelas baru. Setiap sudut ruangan terasa dingin dan asing, dan ia tak bisa menghindari tatapan sinis dari beberapa siswa yang mengenalnya sejak sekolah dasar. Di ujung ruangan, ada Gento, kakaknya, duduk dengan santai di antara teman-temannya. Leonel bisa merasakan tatapan dingin dari kakaknya menembus dirinya.
Gento tak pernah menyukai Leonel, dan itu bukanlah rahasia. Sejak kecil, Leonel selalu merasa ada jarak yang tak bisa ia jembatani dengan kakaknya. Gento sering memperlakukannya dengan kasar, baik dengan kata-kata maupun tindakan, dan Leonel tak pernah mengerti mengapa. Mungkin karena Kakek selalu lebih keras padanya, atau mungkin karena ia tidak pernah bisa menyenangkan Gento, tak peduli seberapa keras ia berusaha.
"Hey, Leonel!" Tiba-tiba, suara Gento bergema di kelas. Teman-temannya tertawa kecil, menunggu apa yang akan terjadi.
Leonel mengangkat kepalanya perlahan, tapi tidak menjawab. Ia tahu bahwa menanggapi Gento hanya akan memperburuk keadaan. Ia telah belajar untuk diam, berpura-pura tidak mendengar hinaan atau ejekan yang dilontarkan Gento. Namun hari ini, Gento tampak lebih bersemangat dari biasanya. Ia melangkah mendekati Leonel, dengan seringai yang membuat Leonel merasa tidak nyaman.
"Kamu kenapa diem aja?" tanya Gento sambil menyentuh bahu Leonel dengan kasar. "Atau kamu masih mikirin biola jelekmu itu? Dengar-dengar, Kakek udah mau buang biola itu karena kamu nggak bisa main lagi."
Teman-teman Gento tertawa semakin keras. Leonel mengepalkan tangannya erat-erat di bawah meja, berusaha menahan amarah dan rasa malu yang mulai menggelayuti dadanya. Ia ingin berteriak, ingin membela dirinya, tapi suaranya seperti tercekat di tenggorokan. Tak ada satu pun kata yang keluar.
Pikirannya kembali melayang ke Morgan, satu-satunya orang yang pernah benar-benar mengerti dirinya. Seandainya Morgan ada di sini, mungkin segalanya akan berbeda. Tapi Morgan sekarang pergi, dan Leonel ditinggalkan sendirian di tengah sekolah yang tak ramah. Ia tak bisa lagi mengandalkan siapapun selain dirinya sendiri.
Hari demi hari berlalu, dan Leonel semakin tenggelam dalam kesepiannya. Di rumah, keadaan tak jauh lebih baik. Kakek selalu menemukan alasan untuk memarahinya, untuk mengkritik setiap langkah yang diambil Leonel. Terkadang, kritik itu datang dengan nada dingin; di lain waktu, suara Kakek begitu keras hingga menggema di seluruh ruangan.
"Kenapa kamu tidak bisa seperti kakak-kakakmu, Leonel?" kata Kakek suatu malam saat mereka sedang makan malam. Julian, kakaknya yang pertama, hanya duduk diam tanpa menanggapi. Seperti biasanya, Julian selalu tenggelam dalam dunianya sendiri, tak pernah peduli dengan pertengkaran yang terjadi di meja makan.
Gento, di sisi lain, terlihat puas dengan kemarahan Kakek. Setiap kali Leonel dimarahi, Gento selalu menambahkan komentar-komentar sinis, seolah menikmati penderitaan adiknya. "Kamu tahu, Kakek, mungkin Leonel memang nggak punya bakat apa-apa. Nggak bisa main biola, nggak bisa apa-apa. Kasian, ya?"
Leonel tidak menjawab. Tidak ada gunanya melawan. Ia hanya menunduk, menyuapkan makanan ke mulutnya tanpa selera. Di dalam hatinya, ia merasakan lubang yang semakin besar, menyedot habis setiap harapan yang pernah ia miliki.
Setiap malam, sebelum tidur, Leonel memikirkan biolanya yang kini tersembunyi di bawah tempat tidurnya. Ia sudah berhenti memainkannya sejak kritik Kakek semakin keras. Baginya, biola itu kini lebih mirip beban daripada pelarian. Dulu, setiap nada yang ia mainkan terasa seperti jalan keluar dari rasa sakit yang tak pernah bisa ia ungkapkan. Tapi sekarang, semua itu hanya mengingatkan betapa tak berharganya ia di mata keluarganya.
Di sekolah, keadaan semakin memburuk. Teman-teman Gento mulai ikut-ikutan merundung Leonel. Mereka mencuri barang-barangnya, mengejek cara jalannya, dan sesekali bahkan mendorongnya saat tidak ada guru yang melihat. Namun, Leonel tak pernah mengadukan apa pun. Bagi Leonel, tak ada yang peduli. Tidak Julian, tidak Kakek, dan tentu saja tidak Gento.
Suatu hari, saat sedang sendirian di taman belakang sekolah, Leonel duduk di bawah pohon tua yang rindang. Ia memandang ke langit yang mendung, berharap ada sesuatu yang bisa membebaskannya dari penderitaan ini. Ia merindukan Morgan—satu-satunya orang yang pernah membuatnya merasa berharga. Tapi Morgan tidak ada di sini. Ia pergi tanpa kata perpisahan, meninggalkan Leonel untuk menghadapi dunia sendirian.
Di tengah keheningan, suara tawa terdengar dari kejauhan. Leonel menoleh dan melihat sekelompok siswa, dipimpin oleh Gento, mendekatinya dengan seringai lebar di wajah mereka. "Lihat siapa yang kita temukan di sini, anak kesayangan Kakek," kata Gento dengan nada mengejek.
Leonel merasa jantungnya berdegup lebih kencang. Ia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi ia tak punya kekuatan untuk melawan. Gento dan teman-temannya semakin dekat, mengepung Leonel seperti sekelompok serigala yang siap menerkam.
Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Di dalam dadanya, Leonel merasakan dorongan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya—dorongan untuk melawan, untuk tidak diam saja menerima semua ini. Meskipun tangannya gemetar, ia berdiri dan menatap Gento dengan penuh tekad.
"Kenapa kamu selalu membenciku?" tanya Leonel, suaranya lebih kuat dari yang ia harapkan. "Apa salahku?"
Pertanyaan itu menghentikan Gento sejenak. Teman-temannya juga terlihat bingung. Namun hanya untuk sesaat, karena Gento segera tersenyum sinis lagi. "Salahmu? Kamu cuma beban. Semua orang di rumah tahu itu. Kamu bahkan nggak bisa main biola dengan benar."
Namun kali ini, kata-kata Gento tidak lagi menghancurkan Leonel seperti sebelumnya. Ada sesuatu dalam dirinya yang berubah—seperti embun pagi yang perlahan menghilang saat matahari terbit. Leonel menyadari bahwa meskipun dunia seolah melawannya, ia masih memiliki sesuatu yang tidak bisa diambil orang lain darinya: kecintaannya pada musik.
Dengan tatapan yang tidak lagi takut, Leonel berkata, "Aku mungkin tidak sempurna, tapi itu bukan urusanmu. Dan aku tidak akan membiarkanmu terus menghancurkan semangatku."
Gento tampak terkejut sejenak, lalu ia mendengus. "Kita lihat saja sampai kapan kamu bisa bertahan."