Enam tahun silam, dunia Tama hancur berkeping-keping akibat patah hati oleh cinta pertamanya. Sejak itu, Tama hidup dalam penyesalan dan tak ingin lagi mengenal cinta.
Ketika ia mulai terbiasa dengan rasa sakit itu, takdir mempertemukannya dengan seorang wanita yang membuatnya kembali hidup. Tetapi Tama tetap tidak menginginkan adanya cinta di antara mereka.
Jika hubungan satu malam mereka terus terjadi sepanjang waktu, akankah ia siap untuk kembali merasakan cinta dan menghadapi trauma masa lalu yang masih mengusik hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hati vs Hati
...Tama...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Enam tahun yang lalu...
Aturan nomor satu 'enggak boleh macam-macam kalau orang tua lagi di rumah' sudah diubah. Sekarang, boleh ciuman, tapi cuma kalau kita ada di balik pintu yang dikunci.
Aturan nomor dua masih berlaku, sayangnya. Masih enggak boleh raba-raba.
Dan ada aturan nomor tiga yang baru-baru ini ditambahkan, 'enggak boleh keluar malam-malam'.
Tante Ike masih suka mengecek Yesica tengah malam, karena dia itu Nyokap dari seorang cewek remaja dan itu hal yang wajar.
Tapi gue benci dia melakukan itu.
Kita sudah sebulan tinggal di rumah yang sama. Kita enggak bahas kalau waktu bersama kita tinggal lima bulan lagi.
Kita juga enggak bicarakan soal apa yang bakal terjadi kalau Bokap gue nikahi Nyokap dia. Kita enggak ungkit-ungkit tentang bagaimana hubungan kita setelah lima bulan itu selesai.
Liburan.
Kunjungan akhir pekan.
Reuni.
Kita harus hadir di semua acara keluarga, tapi kita akan hadir sebagai keluarga. Kita enggak bahas itu, karena semakin bikin kita merasa kalau apa yang kita lakukan ini salah.
Kita juga enggak bahas itu karena susah. Saat gue pikir nanti dia pindah ke Jogja sementara gue tetap di Jakarta, gue enggak bisa bayangin apa yang bakal terjadi.
Gue enggak tahu bisa atau enggak, saat gue hidup di mana dia enggak jadi segalanya buat gue.
“Kita balik Minggu,” kata Bokap gue. “Lo bakal di rumah sendiri. Yesica nginep di rumah temannya. Lo harus undang Ian ke sini.”
“Udah Tama undang,” bohong gue.
Yesica juga bohong. Karena dia bakal ada di sini sepanjang akhir pekan. Kita enggak mau kasih mereka alasan yang bikin curiga sama kita. Sudah cukup menyusahkan buat berpura-pura enggak peduli sama dia di depan mereka.
Susah banget pura-pura enggak punya kesamaan apa-apa sama dia, padahal gue ingin ketawa tiap kali dia ngomong. Gue ingin tos sama setiap hal yang dia lakukan. Gue ingin pamer ke Bokap soal kecerdasannya, nilai bagusnya, kebaikannya, kepintarannya. Gue ingin bilang ke Bokap kalau gue punya pacar yang luar biasa, karena dia pasti bakal suka.
Bokap suka dia.
Cuma bukan dengan cara yang gue inginkan.
Gue ingin Bokap suka dia buat gue.
Kita mengucapkan selamat tinggal ke orang tua kita. Tante Ike bilang ke Yesica buat bersikap baik, tapi dia enggak terlalu khawatir. Sejauh yang dia tahu, Yesica itu anak baik. Yesica patuh. Yesica enggak pernah melanggar aturan. Kecuali aturan nomor tiga. Yesica jelas-jelas bakal langgar aturan nomor tiga akhir pekan ini.
Kita main rumah-rumahan. Kita pura-pura kalau itu rumah kita. Kita pura-pura itu dapur kita, dan dia masak makanan buat gue. Gue pura-pura dia milik gue, dan gue mengikutinya keliling dapur sambil menempel terus.
Menyentuh dia. Cium lehernya. Enggak kasih dia waktu buat menyelesaikan tugasnya biar gue bisa merasakan dia di dekat gue.
Dia suka, tapi pura-pura enggak suka. Setelah kita selesai makan, dia duduk sama gue di sofa. Kita setel film, tapi enggak ada satu pun dari kita yang menontonnya.
Kita enggak bisa berhenti ciuman. Kita ciuman sampai bibir kita sakit. Tangan kita sakit. Perut kita sakit, karena tubuh kita saat ini benar-benar ingin melanggar aturan nomor dua.
Akhir pekan ini bakal panjang banget. Gue memutuskan buat mandi, kalau enggak, gue bakal minta izin buat ubah aturan nomor dua.
Gue mandi di kamar mandinya. Gue suka mandi di sini. Gue lebih suka daripada waktu ketika tempat ini cuma jadi kamar mandi gue doang.
Gue suka lihat barang-barangnya di sini.
Gue suka lihat pisau cukurnya dan membayangkan bagaimana dia pas lagi pakai itu.
Gue suka lihat botol sampo-nya dan membayangkan dia yang lagi memiringkan kepala di bawah aliran air sambil bilas rambutnya.
Gue suka banget kamar mandi gue sekarang juga jadi kamar mandinya.
"Tama?" katanya. Dia ketuk pintu, tapi dia ada di dalam kamar mandi. Air panas menyentuh kulit gue, tapi suaranya bikin semuanya terasa lebih panas.
Gue buka tirai shower. Mungkin gue buka terlalu lebar karena gue mau dia juga ingin melanggar aturan nomor dua.
Dia menghela napas pelan, tapi matanya jatuh ke tempat yang gue mau.
"Yesica," kata gue sambil nyengir melihat wajahnya yang malu-malu. Dia tatap mata gue. Dia ingin mandi bareng gue. Dia cuma terlalu malu buat minta.
"Masuk," kata gue.
Suara gue serak, kayak habis teriak.
Lima detik yang lalu suara gue masih baik-baik saja.
Gue tutup tirai shower buat menyembunyikan apa yang akan dia lakukan buat gue dan juga buat kasih kesempatan dia buka bajunya.
Gue belum pernah lihat dia tanpa baju. Tapi gue merasakan apa yang ada di balik tirai itu.
Tiba-tiba gue gugup. Dia mematikan lampu.
"Ini enggak apa-apa?" tanyanya pelan. Gue bilang enggak apa-apa, tapi gue berharap dia lebih percaya diri.
Gue harus bikin dia lebih percaya diri.
Dia buka tirai shower, dan gue melihat salah satu kakinya masuk lebih dulu. Gue telan ludah pas sisa kakinya menyusul.
Untungnya, ada cukup cahaya dari lampu malam yang memberikan sedikit sinar lembut di tubuhnya.
Gue bisa lihat dia cukup jelas.
Gue bisa lihat dia dengan sempurna.
Matanya kembali terkunci sama mata gue. Dia melangkah lebih dekat ke gue. Gue penasaran, apa dia pernah mandi bareng sama orang lain sebelumnya, tapi gue enggak tanya.
Kali ini, gue yang melangkah mendekatinya, karena dia kelihatan takut. Gue enggak mau dia takut.
Gue juga takut.
Gue sentuh bahunya dan arahkan dia supaya berdiri di bawah air. Gue enggak menempel ke dia, walaupun gue ingin. Gue jaga jarak di antara kita.
Gue harus.
Satu-satunya yang bersentuhan cuma bibir kita. Gue cium dia dengan lembut, hampir enggak menyentuh bibirnya, tapi rasanya sakit banget. Lebih sakit daripada ciuman kita yang lain.
Ciuman di mana mulut kita bertabrakan. Gigi kita berbenturan. Ciuman tergesa-gesa yang bikin kita enggak nyaman. Ciuman yang berakhir dengan gue atau dia menggigit bibir satu sama lain.
Enggak ada ciuman yang sakit kayak ciuman ini, dan gue enggak tahu kenapa ciuman ini menyakitkan banget.
Gue harus mundur.
Gue bilang ke dia buat kasih gue waktu sebentar, dan dia mengangguk, terus dia sandarkan pipinya ke dada gue.
Gue bersandar ke dinding dan menarik dia lebih dekat sambil gue tutup mata rapat-rapat.
Kata-kata itu kembali mencoba menembus dinding yang gue bangun di sekitar dia. Tiap kali gue sama dia, kata-kata itu ingin keluar, tapi gue berusaha keras buat memperkuat dinding yang mengelilinginya. Dia enggak perlu dengar kata-kata itu. Karena gue enggak perlu bahas itu.
Tapi kata-kata itu terus menekan dindingnya. Kata-kata itu selalu menekan keras sampai semua ciuman kita berakhir kayak begini.
Gue butuh waktu sebentar, dan dia kasih waktu itu. Sekarang mereka mau keluar. Mereka butuh udara. Mereka menuntut untuk didengar.
Gue cuma bisa menahan ini sampai batas tertentu sebelum dindingnya runtuh. Gue cuma bisa cium dia beberapa kali lagi sebelum kata-kata itu meluap, menembus celah, merayap ke dada gue sampai gue menggenggam wajahnya, menatap matanya, dan membiarkan kata-kata itu menghancurkan semua penghalang yang ada di antara kita.
Tapi kata-kata itu tetap keluar.
“Gue enggak bisa lihat apa-apa,” ungkap gue ke dia.
Gue tahu dia enggak mengerti apa yang gue maksud. Gue enggak mau jelaskan lebih jauh, tapi kata-kata itu tetap keluar. Mereka sudah mengambil alih.
“Nanti kalau lo pindah ke Jogja dan gue tetap di Jakarta? Gue enggak bisa lihat apa-apa setelah itu. Dulu gue bisa lihat masa depan yang gue mau, tapi sekarang gue enggak bisa lihat apa-apa lagi.”
Gue cium air mata yang mengalir di pipinya. “Gue enggak bisa terus begini,” tegas gue. “Satu-satunya yang gue pingin lihat cuma lo, dan kalau gue enggak bisa punya itu... enggak ada yang berarti lagi. Lo yang bikin semuanya jadi lebih indah, Yesica. Semuanya.”