Karena sebuah mimpi yang aneh, Yuki memutuskan untuk kembali ke dunia asalnya. Walaupun Dia tahu resikonya adalah tidak akan bisa kembali lagi ke dunianya yang sekarang. Namun, saat Yuki kembali. Dia menemukan kenyataan, adanya seorang wanita cantik yang jauh lebih dewasa dan matang, berada di sisi Pangeran Riana. Perasaan kecewa yang menyelimuti Yuki, membawanya pergi meninggalkan istana Pangeran Riana. Ketika perlariaannya itu, Dia bertemu dengan Para Prajurit kerajaan Argueda yang sedang menjalankan misi rahasia. Yuki akhirnya pergi ke negeri Argueda dan bertemu kembali dengan Pangeran Sera yang masih menantinya. Di Argueda, Yuki menemukan fakta bahwa mimpi buruk yang dialaminya sehingga membawanya kembali adalah nyata. Yuki tidak bisa menutup mata begitu saja. Tapi, ketika Dia ingin membantu, Pangeran Riana justru datang dan memaksa Yuki kembali padanya. Pertengkaran demi pertengkaran mewarnai hari Yuki dan Pangeran Riana. Semua di sebabkan oleh wanita yang merupakan bagian masa lalu Pangeran Riana. Wanita itu kembali, untuk menikah dengan Pangeran Riana. Ketika Yuki ingin menyerah, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Namun, sesuatu yang seharusnya menggembirakan pada akhirnya berubah menjadi petaka, ketika munculnya kabar yang menyebar dengan cepat. Seperti hantu di malam hari. Ketidakpercayaan Pangeran Riana membuat Yuki terpuruk pada kesedihan yang dalam. Sehingga pada akhirnya, kebahagian berubah menjadi duka. Ketika semua menjadi tidak terkendali. Pangeran Sera kembali muncul dan menyelamatkan Yuki. Namun rupanya satu kesedihan tidak cukup untuk Yuki. Sebuah kesedihan lain datang dan menghancurkan Yuki semakin dalam. Pengkhianatan dari orang yang sangat di percayainya. Akankah kebahagiaan menjadi akhir Yuki Atau semua hanyalah angan semu ?. Ikutilah kisah Yuki selanjutnya dalan Morning Dew Series season 3 "Water Ripple" Untuk memahami alur cerita hendaknya baca dulu Morning Dew Series 1 dan 2 di profilku ya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24
Raja Bardhana tersenyum kecil, tetapi tidak ada kehangatan di balik senyum itu. “Teman lama, mungkin. Tapi ingat, seorang pemimpin tidak bisa memperlakukan semua urusan secara pribadi. Ada hal-hal yang perlu kau prioritaskan, termasuk calon ratu yang ada di sampingmu sekarang.”
Kata-kata Raja Bardhana menggema di kepala Yuki. Dia menunduk, hatinya semakin bergejolak dengan kerumitan perasaannya. Pangeran Sera, yang selalu memperlakukannya dengan penuh rasa hormat, tampak begitu berbeda dibandingkan dengan Pangeran Riana yang dominan dan kadang-kadang tidak terduga. Namun, di balik semua kekasaran Riana, Yuki tidak bisa mengabaikan perasaan yang mengikat mereka berdua.
Pangeran Riana tidak menanggapi lagi, tetapi dari matanya, Yuki bisa melihat bahwa perbincangan ini belum selesai. Raja Bardhana sudah mulai naik ke kereta kudanya, dan dengan pandangan terakhir yang penuh makna, dia pergi, meninggalkan Yuki, Riana, dan Marsha di tengah taman bersalju itu.
...****************...
“Apa yang Kau katakan pada Raja Bardhana. Pasti Putri telah menghasutnya sampai Raja berkata hal yang tidak benar begitu mengenai hubungan Kami”
Seru Putri Marsha dengan wajah menahan marah.
Yuki terkejut mendengar tuduhan langsung dari Putri Marsha. Dia menatap Putri Marsha, lalu mengalihkan pandangannya pada Pangeran Riana yang tidak bereaksi, hanya berdiri diam sambil memandang mereka berdua. Dengan hati-hati, Yuki merapikan mantel yang tadi diselimuti Raja Bardhana, berusaha untuk tetap tenang meskipun pertanyaan itu membuatnya tersinggung.
“Aku tidak mengatakan apa pun,” kata Yuki perlahan, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang meskipun dadanya terasa sesak. “Raja Bardhana hanya menyampaikan apa yang dia pikirkan.”
Putri Marsha mengepalkan tangan, menahan emosinya. “Kau selalu berpura-pura polos, bukan? Sejak kau datang ke sini, semuanya berubah! Riana… hubungan kami…” Ia terhenti sejenak, suaranya semakin bergetar. “Kau pikir kau bisa merebutnya begitu saja?”
Yuki terdiam sejenak, merasa tidak adil disudutkan seperti ini. Dia menghela napas dalam, menatap Putri Marsha dengan mata yang jernih. “Aku tidak pernah berniat merebut siapa pun, Putri Marsha. Jika ada yang berubah, mungkin itu bukan karena aku.”
Pangeran Riana, yang sejak tadi diam, akhirnya melangkah maju. Suaranya rendah, tetapi jelas. “Marsha, cukup.” Tatapannya tajam, membuat Marsha terdiam. “Yuki tidak melakukan apa pun yang salah. Ini bukan tentang dia.”
Namun, kata-kata Pangeran Riana bukannya meredakan, justru menambah rasa sakit bagi Putri Marsha. Dia melihat Pangeran Riana dengan mata berkaca-kaca, seolah tidak percaya bahwa pria yang dulu bersamanya sekarang lebih memilih untuk membela Yuki.
“Riana…” suaranya serak, penuh luka.
Yuki berdiri diam, hatinya terasa kosong. Dia tahu apa yang dirasakan Putri Marsha—perasaan kehilangan seseorang yang pernah sangat dekat. Tapi situasinya begitu rumit, dan dalam hatinya, Yuki tidak yakin bagaimana caranya menghadapi perasaan yang terus berkecamuk di dalam dirinya sendiri, apalagi memahami sepenuhnya apa yang dirasakan oleh Pangeran Riana.
Yuki tidak ingin terlibat dalam pertengkaran sepasang kekasih itu. Dia berbalik dan berjalan pergi begitu saja. Mengacuhkan keberadaan Mereka semua. Begitu Dia sampai di belokan yang tidak terlihat. Yuki berhenti dan menyandarkan dirinya ke tembok. Kepalanya terasa pusing dan matanya berkunang-kunang.
Yuki mencoba mengatur napasnya yang mulai tidak teratur. Kepalanya berdenyut, dan tubuhnya terasa lemas. Dia menutup matanya sejenak, berharap rasa pusing itu akan mereda, tetapi malah semakin buruk. Perlahan, dia membungkuk, menyandarkan punggungnya ke tembok dingin, tangan gemetar saat mencoba menyeimbangkan diri.
“Kenapa sekarang?” bisiknya pelan, merasakan dunia di sekitarnya seperti berputar. Pikirannya bercampur aduk—situasi dengan Riana, Putri Marsha, dan perasaannya yang semakin kacau. Beban emosional yang dia tahan selama ini mulai menghancurkan ketenangannya.
Sebuah langkah kaki terdengar di kejauhan, tapi Yuki tidak sanggup membuka mata atau bergerak. Dia hanya berharap siapa pun itu tidak memperhatikannya, atau setidaknya tidak memperburuk keadaannya lebih jauh.
Namun, langkah itu mendekat dengan cepat. “Yuki?” Suara yang dikenalnya langsung memanggil, penuh dengan ketegangan.
Pangeran Riana dengan cepat merasakan ada yang tidak beres saat melihat Yuki. Tanpa ragu, dia segera menggendong tubuh Yuki yang lemah dan hangat. Wajah Yuki pucat, dan keringat dingin terus mengalir di pelipisnya. Meski dia tidak mengucapkan sepatah kata pun, kecemasan jelas tergambar di mata Riana.
Tanpa memperdulikan siapapun di sekitarnya, Riana berjalan cepat menuju kamarnya, memastikan Yuki berada di tempat yang aman. “Aku akan membawamu ke kamar,” gumamnya dengan nada rendah, meski tak ada balasan dari gadis itu. Yuki hanya bisa memejamkan matanya, mencoba mengatur napas sambil melawan rasa mual dan pusing yang mendera.
Putri Marsha berusaha keras melepaskan diri, saat dirinya ingin menghampiri Pangeran Riana, suaranya meninggi dengan penuh kemarahan. “Riana! Aku belum selesai bicara!” teriaknya, mencoba mendekati Pangeran Riana yang terus melangkah menjauh sambil membopong Yuki. Namun, Bangsawan Xasfir dengan sigap menariknya kembali, mencengkeram lengannya kuat, mencegah Putri Marsha untuk bertindak lebih jauh.
“Biarkan, Marsha. Ini bukan waktunya,” kata Bangsawan Xasfir dengan nada tegas namun tenang. Dia tahu betapa emosionalnya Marsha saat ini, tetapi situasinya tidak memungkinkan untuk lebih memperkeruh keadaan. Putri Marsha menatapnya dengan penuh amarah, namun akhirnya hanya bisa meronta dalam diam, menyadari bahwa Bangsawan Xasfir benar.
Sementara itu, Pangeran Riana melangkah cepat menuju kamarnya, fokus sepenuhnya pada Yuki yang berada dalam pelukannya.
...****************...
Pangeran Riana membaringkan Yuki ke atas tempat tidur.
“Aku akan memanggil dokter untukmu”
“Tidak perlu” tolak Yuki cepat. “Aku hanya masuk angin. Bisakah mengambilkan kotak di dalam laci itu. Aku menyimpan beberapa obat disana”
Pangeran Riana mengerutkan kening, ragu sejenak, tetapi kemudian menuruti permintaan Yuki. Dia berjalan ke laci yang ditunjuk Yuki, membukanya, dan mengeluarkan kotak kecil berisi obat-obatan. Dengan hati-hati, dia menyerahkannya kepada Yuki.
Yuki membuka kotak itu dan mengambil beberapa butir obat yang diperlukan. “Aku bisa mengurus diriku sendiri,” katanya pelan, mencoba memberi sedikit jarak di antara mereka. Pangeran Riana tetap berdiri di dekatnya, tatapan matanya tajam, seolah mencoba membaca Yuki lebih dalam.
“Aku akan tetap di sini sampai Kau merasa lebih baik,” katanya tegas, meskipun suaranya lebih lembut dari biasanya.
Yuki meminum obatnya. Mengabaikan perkataan Pangeran Riana. Saat Dia akan merapikan kotak obat kembali, Dia melihat alat tes kehamilan yang disimpankan Bibi Sheira untuknya. Tanpa sadar Yuki memegangnya dan berhitung dalam hati. Menghitung tanggal menstruasinya yang terlambat sepuluh hari lebih.
Yuki terdiam, alat tes kehamilan di tangannya terasa berat seolah mengisyaratkan sebuah kenyataan yang tak ingin dihadapinya. Pikirannya mulai dipenuhi kekhawatiran dan spekulasi. Ia menatap alat itu dengan ragu, sementara jantungnya berdegup kencang. Sepuluh hari terlambat—sesuatu yang tak bisa diabaikannya begitu saja.
Pangeran Riana memperhatikan perubahan ekspresi Yuki. “Apa itu?” tanyanya dengan nada curiga, matanya menyipit, berusaha memahami apa yang ada di tangan Yuki.
Yuki cepat-cepat menutup kotak obat itu, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. “Bukan apa-apa,” jawabnya pelan, meski suaranya terdengar sedikit gemetar.
Pangeran Riana memandang Yuki curiga. Tapi Yuki berkelit dan meletakan kotak obatnya seolah tidak terjadi apapun.
“Aku akan tidur. Terimakasih bantuannya”
Pangeran Riana menatap Yuki dengan sorot mata yang tajam, jelas merasa ada sesuatu yang disembunyikan. Namun, dia tidak berkata apa-apa. Dia mengangguk pelan, meski kecurigaan tetap terlihat di wajahnya.
“Baiklah,” jawabnya akhirnya, suaranya dingin. “Tapi jika kau menyembunyikan sesuatu dariku, Yuki, kau akan menyesal.”
Yuki menoleh ke arah lain, berusaha menenangkan dirinya. “Aku hanya butuh istirahat,” katanya, berharap itu cukup untuk menghentikan kecurigaan Pangeran Riana.
Pangeran Riana mengamati Yuki sejenak sebelum akhirnya berbalik dan keluar dari kamar, membiarkan Yuki sendiri dengan pikirannya yang penuh kecemasan. “Aku diruang kerja” katanya.
Setelah pintu tertutup, Yuki menarik napas panjang, berusaha menenangkan detak jantungnya yang masih berdebar keras.
...****************...
Pagi harinya,
saat Pangeran Riana masih tidur. Yuki diam-diam bangun dengan berjingkat-jingkat agar tidak menimbulkan suara. Dia mengambil alat tes kehamilan dalam kotak obat dan berjalan dengan cepat ke kamar mandi.
Yuki merasa tegang saat mengunci pintu kamar mandi di belakangnya. Tangannya gemetar saat dia membuka kemasan alat tes kehamilan. Dengan napas tertahan, dia mengikuti instruksi dengan hati-hati, menunggu hasil yang bisa mengubah hidupnya.
Beberapa menit yang terasa seperti selamanya berlalu. Yuki duduk di lantai, lututnya ditarik ke dada, pandangannya terpaku pada alat tes di depannya. Ketika akhirnya hasilnya muncul, tubuhnya terasa lemas.
Dua garis.
Yuki menutup mulutnya dengan tangan, menahan napasnya agar tidak terdengar. Pandangannya kabur oleh air mata yang mulai mengalir, bercampur antara kebingungan, ketakutan, dan kenyataan yang baru saja terungkap.
Yuki merasa kebingungan, mengingat bahwa ia sudah menggunakan alat pencegah kehamilan, meskipun ada ramuan kesuburan yang ditambahkan pelayan Argueda. Harusnya tidak akan terjadi apapun sehingga Yuki dengan tenang memakan apa yang diberikan para pelayan Argueda. Lagipula Pangeran Sera, yang ia percayai, tidak akan menyentuhnya tanpa izin. Namun, pikiran itu semakin melemahkan keyakinannya. Ada sesuatu yang tidak beres, dan rasa cemas mulai menjalar dalam dirinya.
Yuki memegang perutnya dengan tangan gemetar, perasaan campur aduk antara ketakutan dan kepasrahan. Pikirannya berputar-putar—ia tidak pernah bersama Pangeran Sera secara fisik, jadi jika memang dirinya hamil, anak yang dikandungnya pasti adalah anak Pangeran Riana.