Saphira Aluna, gadis berusia 18 tahun yang belum lama ini telah menyelesaikan pendidikannya di bangku sekolah menengah atas.
Luna harus menelan pil pahit, ketika detik-detik kelulusannya Ia mendapat kabar duka. Kedua orang tua Luna mendapat musibah kecelakaan tunggal, keduanya pun di kabarkan tewas di tempat.
Luna begitu terpuruk, terlebih Ia harus mengubur mimpinya untuk melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi.
Luna kini menjadi tulang punggung, Ia harus menghidupi adik satu-satunya yang masih mengenyam pendidikan di bangku sekolah menengah pertama.
Hidup yang pas-pasan membuat Luna mau tak mau harus memutar otak agar bisa terus mencukupi kebutuhannya, Luna kini tengah bekerja di sebuah Yayasan Pelita Kasih dimana Ia menjadi seorang baby sitter.
Luna kira hidup pahitnya akan segera berakhir, namun masalah demi masalah datang menghampirinya. Hingga pada waktu Ia mendapatkan anak asuh, Luna malah terjebak dalam sebuah kejadian yang membuatnya terpaksa menikah dengan majikannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ina Ambarini (Mrs.IA), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Status Sosial
Luna masih berkeliling Mall, Ia seakan terhipnotis oleg megahnya bangunan dan matanya seakan di manjakan oleh berbagai barang-barang cantik yang sebelumnya tak pernah Ia lihat.
"Wah. Gini ya rasanya jalan-jalan ke Mall, pantesan temen-temen sekolah waktu itu sering ngajakin ke Mall." Luna melipir ke sebuah toko pakaian, Ia melihat-lihat berbagai model dan warna-warna yang menurutnya bagus.
"Wah, lucu banget bajunya. Ini harganya berapa ya?" Luna melirik pada sebuah price tag, dan melihat harga yang tertera diatasnya.
"Hah? Baju sepotong gini harganya lima ratus ribu? Mahal banget," ucap Luna sembari langsung menjauh dari baju yang sedari tadi menarik perhatiannya.
"Kalau Nuka di ajak kesini, Dia pasti seneng banget. Oh iya, Aku cari toko sepatu deh, barangkali ada sepatu bangus tapi gak terlalu mahal buat Nuka." Luna beralih mencari toko sepatu, Ia sangat ingin sekali membelikan sepatu untuk adik tersayangnya.
"Nah, ini tokonya." Luna masuk ke dalam toko, dan Ia di sambut oleh pelayan toko.
"Selamat siang, ada yang bisa Kami bantu?" Tanya pelayan toko itu.
Luna terkejut, Ia hanya menganggukkan kepalanya dan Luna terlihat canggung saat itu.
"Mau lihat-lihat dulu, boleh Mbak?" Tanya Luna dengan sungkan.
"Boleh." Pelayan toko mengizinkan, dan Luna pun berjalan melihat berbagai model sepatu.
Luna masih mencari sepatu yang menurutnya cocok untuk sang adik, tentunya yang paling utama adalah harga yang sesuai dengan isi dompetnya.
"Nah, ini bagus nih." Luna mengambil satu buah sepatu berwarna hitam.
"Ini ukurannya kecil. Harganya berapa, ya?" Luna mencari tahu harga sepatu yang tengah di pegangnya, Luna tak menemukan price tag yang tergantung di sepatu sepeti baju yang di lihatnya tadi.
"Ini gak ada harganya." Luna sekilas melihat seseorang berdiri di sebelahnya, ketika Ia menoleh, Ia melihat pelayan toko yang sedari tadi mengikutinya.
"Emm, Mbak maaf. Kalau sepatu ini harganya berapa, ya?" Tanya Luna.
Luna memperhatikan raut wajah pelayan toko, pelayan itu menampakkan wajah yang tak ramah bagi Luna.
"Ini harganya tiga ratus ribu, Mbak." Pelayan toko menjawab seadanya.
"Oh." Luna menganggukan kepalanya, lalu Ia menaruh kembali sepatu yang di pegangnya.
Luna kembali berkeliling, dan Luna menyadari bahwa pelayan toko kembali membuntutinya.
Luna berhenti, Ia mengambil sebuah sepatu lagi yang menurutnya bagus.
Tak sengaja Luna melihat, pelayan toko yang sedari tadi mengikutinya melihat penampilan Luna dari atas hingga bawah.
Luna ikut melirik ke seluruh badannya, Ia mencari apa ada yang salah padanya atau tidak.
"Kenapa si Mbaknya ngelihat Aku kayak gitu, sih? Emangnya apa yang salah dari Aku?" Luna bertanya-tanya.
"Jadi mau beli gak, Mbak?" Tanya pelayan toko dengan ketus.
Luna merasa tak enak hati, Ia menaruh sepatu yang di pegangnya.
"Emm, belum ada yang cocok, Mbak." Luna menjawab.
"Hemm, gak cocok di dompet, ya? Kalau mau cari yang lebih murah, ada di toko pinggiran Mall, Mbak!" Seru Pelayan toko pada Luna.
Luna terdiam seketika, Ia merasa sakit hati dengan ucapan pelayan itu.
Luna hanya tersenyum getir, lalu Ia bermaksud untuk keluar dari toko itu.
Saat hendak keluar dari toko, ada seorang dengan penampilan menarik masuk ke dalam toko.
Seseorang itu langsung di sambut hangat oleh pelayan toko, bahkan pelayan toko itu memberikan rekomendasi model-model sepatu keluaran terbaru.
Luna menghela nafasnya, Ia segera keluar dari toko dengan perasaan kecewa.
Luna memutuskan untuk kembalu ke tempat bermain, Luna merasa dirinya tak pantas berada di toko-toko yang notabennya memasang harga-harga yang tak sepadan dengan kondisinya.
Ketika Luna sampai di tempat bermain, Brian dan Ica sedari tadi sudah menunggu Luna.
"Kak Luna dari mana aja?" Tanya Brian.
Dengan wajah kecewa, Luna memaksakan untuk terlihat baik-baik saja di depan Brian dan Ica.
"Kak Luna tadi abis keliling, Kalian udah beres mainnya?" Tanya Luna.
"Udah. Kita laper, cari makanan yuk, Mbak!" Ajak Brian.
Luna mengangguk, lalu ketiganya berkeliling mencari makanan.
"Mau makan apa?" Tanya Luna.
"Ica rice box, aja. Minumnya boba!" Seru Ica.
"Kok rice box? Gak kenyang!" Tanya Brian.
"Biar Kak Luna juga bisa beli, Kak Brian. Kan kata Kak Luna uangnya takut gak cukup!" Seru Ica.
"Oh, iya ya. Ya udah Kita rice box aja," ujar Brian.
Luna dan kedua anak majikannya mampir menuju salah satu foodcourt yang ada di dalam Mall, dan memesan tiga buah rice box, dan tiga minuman boba.
Setelah pesanan datang, ketiganya pun keluar dari Mall.
Brian dan Ica langsung mencari tempat duduk di pinggiran Mall, hal itu sontak membuat Luna langsung menghentikan keduanya.
"Kenapa duduk di lantai? Yuk cari tempat lain!" ajak Luna.
"Emangnya kalau di sini kenapa, Kak? Orang lain juga pada duduk di lantai tangga," ujar Brian.
"Ya buat Kakak gak apa-apa, tapi Kalian kan gak biasa duduk-duduk di tempat umum gini. Kita makan mobil aja, sembari pulang. Gimana?" Tanya Luna.
"Karena Mami Papi orang kaya, ya? Kenapa sih Kak Luna kayak Papi, segala gak boleh. Padahal Kita juga pengen kayak yang lain, main di luar rumah. Duduk-duduk di taman, main kotor-kotoran, hujan-hujanan. Tapi Papi selalu ngelarang!" Seru Brian.
Luna menghela nafasnya, Ia mencoba untuk memberi pengertian pada Brian.
"Brian. Papi sama Mami, itu pengen yang terbaik buat Brian. Pengen Brian sehat, makannya Papi seperhatian itu." Luna menuturkan.
"Emangnya main di luaran gini bikin gak sehat?" tanya Ica.
"Emm, gak gitu juga. Gimana ya, pokoknya apa yang Papi larang, jangan di bantah!" seru Luna.
Brian menunduk, begitupun Ica.
Luna merangkul keduanya, dan masih mencoba untuk memberi pengertian.
"Kalian sayang gak sama Kak Luna?" tanya Luna.
"Sayang." Brian dan Ica menjawab secara bersamaan.
"Masa sih? Kan Kita baru kenal?" Tanya Luna lagi.
"Sayang itu gak harus selalu karena udah kenal lama, Kak. Kakak orang baik, jadi Kita gampang sayang." Brian menuturkan.
Luna tersenyum, Ia merasa terharu mendengar jawaban dari Brian.
"Makasih, ya. Nah, kalau sayang. Jangan ngelanggar apa yang Papi larang, ya. Nanti Kak Luna yang di marahi sama Papi, emangnya Brian sama Ica mau Kak Luna di marahi Papi?" tanya Luna lagi.
"Gak mau!" Seru Ica dan Brian.
"Kalau gak mau, Kita pulang sekarang. Makan nya di mobil nanti!" Pinta Luna.
Akhirnya, Ica dan Brian menurut. Ketiganya memutuskan untuk segera pulang, hari ini pun menjadi hari pertama Luna yang begitu berkesan.
Termasuk saat Ia di pandang rendah karena penampilannya.