Tidak ada seorang istri yang rela di madu. Apalagi si madu lebih muda, bohay, dan cantik. Namun, itu semua tidak berpengaruh untukku. Menikah dengan pria yang sedari kecil sudah aku kagumi saja sudah membuatku senang bukan main. Apapun rela aku berikan demi mendapatkan pria itu. Termasuk berbagi suami.
Dave. Ya, pria itu bernama Dave. Pewaris tunggal keluarga terkaya Wiratama. Pria berdarah Belanda-Jawa berhasil mengisi seluruh relung hatiku. Hingga tahun kelima pernikahan kami, ujian itu datang. Aku kira, aku bakal sanggup berbagi suami. Namun, nyatanya sangat sulit. Apalagi sainganku bukanlah para wanita cantik yang selama ini aku bayangkan.
Inilah kisahku yang akan aku bagi untuk kalian para istri hebat di luar sana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reinon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 Tiba di Rumah
Tepat pukul setengah tujuh malam, Noel tiba di rumah. Pria itu datang tepat waktu. Tepat sekali sebelum makan malam. Dia juga tidak sepenuhnya bersalah. Aku sendiri yang mengatakan padanya bisa pindah malam ini juga dan tidak menentukan waktu.
Tapi ada bagusnya juga. Aku tidak perlu repot-repot mengumpulkan semua orang di rumah. Saat makan malam, mbok Darmi, Maya, dan pak Ujang turut serta makan bersama kami di meja makan. Inilah yang membuatku semakin jatuh cinta pada Dave. Tidak tidak pernah memandang rendah status.
Semua orang memiliki status yang sederajat. Apa pun profesinya. Jika saat lahir mereka bisa memilih menjadi orang kaya, sudah tentu mereka juga ingin seperti itu. Nasib lah yang membuat setiap orang berbeda dengan yang lain.
"Kebetulan sekali," aku bergumam.
Noel melangkah masuk menuju ruang makan bersama Dave.
Dave menyambut kedatangan pria itu. Saat di rumah, aku tidak perlu repot-repot mengawasi kelakuan mereka. Mereka bisa menjaga jarak sendiri. Banyak cctv offline yang berkeliaran di dalam rumah.
"Malam semuanya," Dave membuka suara tepat sebelum duduk.
Semua mata tertuju pada Dave, kecuali aku. Aku sedang mengurus Carla duduk di kursinya. Aku sempat memperhatikan wajah Maya, mbok Darmi, dan pak Ujang. Tidak ada kesan terkejut di sana. Mereka menatap karena adanya panggilan. Menunggu si tuan rumah untuk kembali melanjutkan kata-katanya.
"Perkenalkan, ini adalah sahabat sekaligus rekan bisnisku, Noel. Kalian bisa memanggilnya tuan Noel," Dave mulai memperkenalkan Noel kepada mereka.
Pak Ujang, Maya, dna mbok Darmi masih setia menunggu si tuan rumah membuat suara lagi.
"Untuk sementara waktu Noel akan tinggal di sini. Jadi, saya harap kalian melayani Noel seperti saya dan nyonya," jelas Dave lalu mempersilahkan Noel duduk di sampingnya.
"Oala, guantengnya! Ini tuan yang tempo hari ya, tuan?" tanya mbok Darmi.
Wanita paruh baya itu tak henti-hentinya memuji ketampanan Noel.
"Iya mbok," jawab Dave.
"Hai semuanya!" sapa Noel pada mereka bertiga.
"Hai, juga tuan!" balas mbok Darmi.
Aku tersenyum sekaligus tertawa dalam hati, "Mbok, mbok, seandainya aja mbok tahu siapa Noel, aku yakin bukan pujian yang mbok berikan tapi cacian."
"Kenalin tuan, saya mbok Darmi," ucap mbok Darmi tanpa mengalami Noel.
Noel tersenyum sebagai balasan perkenalannya.
"Kalo tuan perlu apa-apa minta aja sama mbok Darmi," balas wanita paruh baya itu.
"Om nda punya lumah?" pertanyaan polos meluncur begitu saja dari mulut gadis kecilku.
"Rumah oom jauh. Jadi, om Noel tinggal sementara dulu dengan kita di sini," balas Dave.
"Om nda punya uang buat beli rumah?"
Aku menatap Carla tak percaya. Darimana putri kecilku itu tahu tentang orang yang tidak memiliki rumah artinya tidak punya uang untuk membeli. Itu juga tidak sepenuhnya benar. Ada yang tidak membeli rumah karena tetap tinggal bersama orangtua atau mertua karena anak tunggal atau lainnya.
Maya dan lak Ujang terkekeh menahan tawa. Mbok Darmi lebih parah, tertawanya paling kencang. Aku beralih pada Dave dan Noel. Wajah Dave memerah san Noel terbatuk.
"Sayang, om Noel punya rumah tapi tidak di sini. Lagipula om Noel tidak punya teman," jelas ku.
Benarkan ucapanku tadi? Kenapa pria itu seolah tidak terima dengan penjelasanku pada Carla. Dia pendatang baru di negara ini meski fasih berbahasa Indonesia. Aku tidak mau tahu dari mana dia belajar. Dia juga tidak memiliki teman. Kalau punya teman dia tidak akan menempel terus pada suami orang. Bagian mana yang salah?
"Oh!" seru Carla santai.
"Mama Cala lapal," timpalnya.
"Baca doa dulu," ucapku pelan.
"Dave! Pimpin doanya. Kasihan Carla sudah lapar," pintaku lembut.
Kami memang membiasakan makan malam bersama dan Dave selalu memimpin untuk membaca doa makan. Carla kecil sudah hafal doa-doa pendek. Hanya saja pelafalannya belum pas.
"Cala aja yang baca doa. Boleh mama? Boleh papa?" pintanya sambil menangkup kedua tangannya memohon.
"Please!" serunya lagi.
Aku menggeleng, berharap Dave tidak mengabulkan permintaannya.
"Tentu saja sayang," Dave meluluskan permintaan Carla.
"Hole!" seru Carla.
Aku memutar bola mata. Si pemberi ijin malah tersenyum. Dia belum tahu saja bagaimana cara Carla melafalkannya. Gadis kecilku membenarkan posisinya. Dia terlihat khidmat sebagai pemimpin doa makan.
"Cebelum mulai makan mali kita beldoa," ucapnya sambil mengangkat kedua tanan ke udara.
"Bicmillahirllahmanillahim, Allahumma balik kanan pima lajaktana wa kina aja bannal, amin," Carla mengusap wajahnya usai berdoa.
Di wajahnya tercetak senyum kebanggaan karena telah berhasil memimpin doa. Suasana hening sesaat. Aku rasa semua orang yang ada di meja makan sedang mengatur napas menahan tawa mendengar seorang balita yang memimpin. Apalagi lafal nya banyak yang miring. Seharusnya bacaan yang benar Allahumma baarik lanaa fiimaa rozaqtanaa wa qinaa 'adzaa bannar.
"Amin," ucap Dave.
Aku, Maya, mbok Darmi, pak Ujang, dan Noel ikut mengamini.
"Cala pintal kan?"
"Iya sayang," jawab Dave dengan senyum hangat.
"Non Carla nanti setelah makan jangan lupa belok ke kiri," mbok Darmi malah menggoda Carla.
"Cala nda mau belok ke kili," balasnya asal sebut saja. Aku rasa dia tidak mengerti godaan mbok Darmi.
Acara makan malam berlangsung khidmat tanpa suara. Dave dan Noel nyaris selesai bersamaan, diikuti pak Ujang. Kami para wanita sibuk membersihkan meja makan. Maya ku perintahkan segera membawa Carla kembali ke kamar dan membersihkan diri.
Aku ingin segera menyusul Dave dan Noel di ruang kerja. Aku ingin membuat beberapa pengaturan dengannya.
"Di mana Carla?" tanya Dave saat aku memasuki ruang kerjanya.
Salah satu kebiasaan kami, setelah Carla bersih-bersih, aku selalu membawanya ke ruang kerja Dave untuk mengucapkan selamat tidur. Khusus malam ini, aku tunda dulu.
"Dia bersama Maya di kamarnya," jawabku sambil menutup pintu.
"Aku tidak akan berlama-lama. Noel, kamarmu berada di lantai dasar. Tepatnya di kamar tamu. Mbok Darmi akan membawamu. Jadwal makan pagi di rumah ini jam tujuh. Makan malam jam setengah tujuh malam. Untuk makan siang, kau cari sendiri," jelas ku.
"Kau hanya menjelaskan aturan di rumah. Bagaimana dengan waktu untukku dan Dave? Aku tidak ingin rugi di sini."
"Dasar lelaki betina. Di kasih jantung minta ampela," aku kesal dalam hati.
"Noel, ikuti dulu Ella. Aku yakin ini terbaik untuk kita bertiga," ucap Dave.
"Aku juga butuh waktu berduaan denganmu," Noel berontak tak terima.
"Rumah ini cukup luas. Kau kan bisa duduk berdua dengan Dave di tempat mana pun kalian suka. Meski kecil, taman belakang juga asyik untuk bersantai," jelas ku santai.
"Cih! Dasar wanita berbisa!"
Usai mengumpat, lelaki betina itu dengan santainya berlenggang keluar.
"Masa iya, dia mau berbagi kamar denganmu di sini!" keluh ku pada Dave.
"Biarkan saja, sayang. Dia perlu beradaptasi. Ayo, kita kunjungi Carla! Gadis kecil itu pasti mengantuk. Aku tidak ingin mendapat ocehan darinya pagi nanti."
"Ayo!"
Noel yang tadinya ingin kembali ke kamar, ternyata bersembunyi di balik pilar. Dia sangat pandai mencari tempat bersembunyi. Dave dan Ella berbelok ke kiri dari pintu ruang kerja, sudah pasti tidak akan mengetahui keberadaan Noel yang berada di sebelah kanan dari pintu ruang kerja.
"Berbahagialah selagi kalian bisa menikmatinya," ucap Noel sambil menatap tajam dua punggung yang semakin menjauh dari pandangannya.