"Kisah cinta di antara rentetan kasus pembunuhan."
Sebelum Mekdi bertemu dengan seorang gadis bercadar yang bernama Aghnia Humaira, ada kasus pembunuhan yang membuat mereka akhirnya saling bertemu hingga saling jatuh cinta, namun ada hati yang harus dipatahkan, dan ada dilema yang harus diputuskan.
Mekdi saat itu bertugas menyelidiki kasus pembunuhan seorang pria kaya bernama Arfan Dinata. Ia menemukan sebuah buku lama di gudang rumah mewah tempat kediaman Bapak Arfan. Buku itu berisi tentang perjalanan kisah cinta pertama Bapak Arfan.
Semakin jauh Mekdi membaca buku yang ia temukan, semakin terasa kecocokan kisah di dalam buku itu dengan kejanggalan yang ia temukan di tempat kejadian perkara.
Mekdi mulai meyakini bahwa pembunuh Bapak Arfan Dinata ada kaitannya dengan masa lalu Pria kaya raya itu sendiri.
Penyelidikan di lakukan berdasarkan buku yang ditemukan hingga akhirnya Mekdi bertemu dengan Aghnia. Dan ternyata Aghnia ialah bagian dari...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R M Affandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter Ke-15 Buku Itu
Semua itu, ternyata hanya untuk sesaat menyinggahiku. Mimpi-mimpi yang baru saja kembali terangkai di dalam pikiran, rupanya tak sejalan dengan kenyataan yang kutemukan. Garis kehidupan berkata lain. Apa yang ku dapatkan tak seperti apa yang aku harapkan.
Hati seakan tak percaya namun mata telah menyaksikan kebenarannya. Laki-laki yang turun dari mobil bersama Rani, di depan mataku, menggenggam erat jemari gadis yang kucintai itu. Tangan yang belum pernah ku sentuh, malam itu menyatu dengan tangan laki-laki lain.
Mereka berdua mendorong pintu kaca, berjalan masuk mendekatiku. Rani kembali menatapku dan menyinggahkan senyum sebelum akhirnya ia dan teman laki-lakinya menuju bilik warnet yang ada di depanku.
Senyuman anggun dari wanita yang sangat kurindukan selama sembilan tahun, dapat kembali ku lihat di malam itu. Namun, senyuman itu tak mampu menghapus rasa sakit yang ada di dalam hatiku. Rindu yang ku tidurkan selama ini, mati terbunuh di malam itu. Aku tak melihat lagi gadis yang pernah ku temui sembilan tahun lalu. Rani yang baru saja kulihat, rasanya bukan dia.
Malam itu terasa memilukan. Walau hujan baru saja turun, namun hatiku terasa terbakar saat suara Rani dan laki-laki bersamanya terdengar di sela bunyi rintik hujan. Ingin rasanya aku meninggalkan tempat itu, tapi itu akan percuma, karena aku yakin, canda tawa yang baru saja ku dengar takkan bisa lari dari ingatanku.
Satu jam telah berlalu, Rani bersama teman laki-lakinya datang menghampiriku. Mereka masih tetap bergandengan, berdiri di depan mejaku. Entah apa yang ingin mereka buktikan kepadaku di saat itu.
“Berapa bang?” tanya teman laki-laki Rani kepadaku.
Aku hanya diam menatap monitor komputer di atas mejaku, seolah tak mendengar apa yang ditanyakan laki-laki bersama Rani itu. Rasa sakit di hatiku telah membuat tubuhku terasa kaku, dan tak ingin menanggapi dua wajah yang ada di hadapanku.
“Berapa sewanya bang?” ulang laki-laki itu kembali.
Aku masih tetap diam.
“Dukk!” Laki-laki yang bersama Rani memukul meja di hadapanku. “Wooii! Kamu tuli ya!?” hardiknya dengan keras.
Aku tak mampu lagi menahan perasaan yang sedari tadi ku tahan. Darahku dengan cepat naik ke ubun-ubun. Napasku terasa berat, degup jantungku bertambah kencang, dan otot-ototku berubah tegang dan gemetar.
“buk!!” kepalan tanganku melayang ke mulut laki-laki itu. Darah segar ku lihat mengalir di sudut bibirnya. Amarah yang telah menguasai diriku tak mampu lagi ku bendung di malam itu.
Laki-laki itu balik memukulku, ”Bukk!!” punggung tangannya singgah di keningku. Pandanganku terasa kabur, dan rasa nyeri menyebar di kepalaku. Namun dia tak berhenti sampai di situ. Dia mengangkat speaker komputer yang ada di depanku dan membenturkannya ke keningku. Aku tersungkur jatuh ke bawah meja, hingga yang ku dengar terakhir menjelang kesadaranku hilang, hanya suara Rani yang melerai teman laki-lakinya yang ingin kembali memukuliku.
Paginya aku terbangun. Kendaraan yang lalu lalang di depan kos Andra membangkitkan kesadaranku. Kepalaku masih terasa agak berat dan ada plester di alis kiriku. Bekas luka sembilan tahun yang lalu kembali berdarah karena peristiwa malam itu. Ku menoleh ke samping kanan, dan ternyata ada Andra yang sedang termenung menatap segelas kopi yang ada di hadapannya.
Kamu belum berangkat kerja Dra?” sapaku perlahan mencoba untuk duduk, dan bersandar di dinding kamar.
“Gimana mau berangkat Fan? Kamu aja belum bangun! Apa kamu baik-baik aja Fan?” tanya Andra. Wajahnya tampak khawatir.
“Kepalaku terasa agak pusing,” jawabku sambil menyentuh plester yang ada di alisku.
“Kenapa kamu memukul orang itu?” tanya Andra ingin tahu apa yang terjadi di warnet semalam.
“Darimana kamu tahu Dra?” tanyaku heran. Aku belum bercerita pada siapapun tentang peristiwa itu.
“Barusan pemilik warnet memperlihatkan CCTV yang ada di warnet padaku,” ungkap Andra.
Aku lupa kalau di warnet tempatku berkerja memang terdapat CCTV. Aku menceritakan semua yang terjadi antara aku dan laki-laki yang bersama Rani malam itu.
“Jadi perempuan yang bersama laki-laki di warnet semalam itu Rani?
“Iya Dra,” jawabku pelan.
“Kamu memukulnya gara-gara cemburu?
Aku mengangguk membenarkan.
Andra tampak kecewa mendengar pengakuanku. “Kenapa kamu bisa emosi seperti itu Fan? Kalo dia sudah bersama laki-laki lain, biarkan saja! berarti dia sudah melupakanmu. Apa lagi kalian sudah nggak ada komunikasi selama delapan tahun, wajar aja dia jalan sama yang lain! Hubungan kalian juga nggak jelas kan?
“Aku nggak tahu Dra, kenapa hatiku terasa sangat hancur malam itu,” keluhku.
“Untung aku ke tempatmu malam itu! kalo nggak, entah apa yang terjadi? Warnet itu masih terbuka sampai jam satu malam, sedangkan kamu pingsan di kolong meja. Seandainya ada maling yang masuk dan mencuri semua komputer, bisa gawat kan?
“Apa Bapak pemilik warnet itu marah Dra?” tanyaku agak cemas.
“Dia nggak marah, cuma kamu nggak bisa lagi kerja di sana. Setelah melihat rekaman CCTV barusan, dia menilai kalau kamu tuh orangnya mudah emosian. Dia takut kehilangan pelanggan gara-gara sikapmu itu,” jawab Andra menjelaskan.
“Tapi kamu jangan khawatir Fan. Aku akan carikan pekerjaan baru buat kamu! Sabar dulu ya?” sambung Andra sambil menjangkau kopi hitam yang masih tersisa setengah di dalam gelas yang ada di hadapannya. “kamu ngopi nggak?” tanyanya kemudian setelah menghirup kopi itu.
Aku menggeleng. Tidak ada seleraku terhadap apapun di saat itu.
“Tumben kamu menolak? Teringat Rani kah?” tanya Andra tersenyum, seolah tahu apa yang sedang aku pikirkan.
Aku tak menjawab temanku itu. Apa yang Andra pikirkan, memang itulah yang terjadi padaku saat itu.
“Sudahi saja harapanmu itu Fan! CCTV yang ada di depan warnet sudah memperlihatkan dengan jelas siapa laki-laki itu kepadaku. Walau aku nggak bisa melihat wajahnya dengan pasti, tapi aku bisa melihat orang seperti apa pemuda itu. Dia orang kaya Fan! Bukan maksudku merendahkanmu, tapi itulah realita yang harus kita terima di usia kita yang sekarang ini.” Andra menyentuh kakiku yang masih terunjur di atas kasur lantai.
“Kita bukan anak SMA lagi Fan! Begitu juga dengan Rani. Wanita seusia Rani tidak hanya menilai perasaan untuk mencari pasangan, tapi juga menilai masa depan. Mungkin hidup dengan orang yang dicinta akan membahagiakan baginya? Tapi hidup dengan pria mapan dan punya masa depan juga menyenangkan menurutnya! Kita bukan siapa-siapa di banding laki-laki itu!” sambung Andra memberiku pemahaman.
“Jadi, menurutmu Rani lebih memilih harta?
“Aku nggak bisa memastikan itu. Aku hanya ingin kamu jangan lagi berharap pada sesuatu yang nggak mungkin. Rani sudah bersama orang lain. Lupakan saja dia! Kita nggak tahu seperti apa hubungan Rani dengan laki-laki itu? Mungkin saja mereka sudah menikah.
“Entahlah Dra. Tapi aku yakin, kau benar. Laki-laki itu mungkin suami Rani. Dia yang rajin ibadah, nggak mungkin rasanya bisa berkelakuan seperti itu bila tidak ada hubungan yang sah. Kenapa aku nggak bisa memikirkan hal itu semalam?
“Sudahlah Fan, lupakan saja dia,” saran Andra sedikit tersenyum. “Aku mau berangkat kerja dulu. Ada sarapan di meja dapur. Makanlah, lalu istirahat,” imbuhnya, lalu pergi.
Bersambung.
zaman dulu mah pokonya kalau punya nokia udh keren bangetlah,,,
😅😅😅
biasanya cinta dr mata turun ke hati, kayaknya dr telinga turun ke hati nih ..
meluncur vote,