Niat hati memberikan kejutan kepada sang kembaran atas kepulangannya ke Jakarta, Aqilla justru dibuat sangat terkejut dengan fakta menghilangnya sang kembaran.
“Jalang kecentilan ini masih hidup? Memangnya kamu punya berapa nyawa?” ucap seorang perempuan muda yang dipanggil Liara, dan tak segan meludahi wajah cantik Aqilla yang ia cengkeram rahangnya. Ucapan yang sukses membuat perempuan sebaya bersamanya, tertawa.
Selanjutnya, yang terjadi ialah perudungan. Aqilla yang dikira sebagai Asyilla kembarannya, diperlakukan layaknya binatang oleh mereka. Namun karena fakta tersebut pula, Aqilla akan membalaskan dendam kembarannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bukan Emak-Emak Biasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Kembar, Tapi Beda
“S—sayang ...?” Suara seorang wanita yang terdengar sangat lemah lembut sarat perhatian, mengejutkan Aqilla. Aqilla bahkan jadi ketakutan karenanya.
Aqilla pikir, kenyataannya yang pulang terlambat, akan membuatnya tak bertemu sang mama. Agar ia bisa menghindarinya secara leluasa. Namun, ia salah. Malahan, tampaknya ibu Akina sudah langsung mengenalinya. Ibu Akina mengoreksi panggilannya kepada Aqilla.
“K—Kakak?” Kedua mata ibu Akina berkaca-kaca ketika putri cantik di hadapannya sibuk menggeleng sambil memegangi pipi kiri. Namun tadi, ibu Akina melihat ada bekas cakaran berhias darah segar di sana.
Sudah pulang larut malam, basah kuyup, pipi dihiasi bekas cakaran segar, sudut kiri bibir Aqilla pun lebam.
“Kamu habis berantem?” tanga ibu Akina hati-hati. Ia membantu sang putri yang sudah beres mandi dan sampai keramas, mengeringkan kepala.
Aqilla yang memang akan menjadi Asyilla atau Chilla, memakai salah satu piyama sang kembaran, dan memang bernuansa pink.
“E—enggak. Tadi, ... tadi aku hanya bantu ibu-ibu hajar copet, Ma!” ucap Aqilla menggebu-gebu dalam sandiwaranya.
“Hah ...?” refleks ibu Akina yang berangsur melongok wajah sang putri.
“Heh? Sepertinya aku salah. Mustahil banget ya, cewek sefeminin Chilla, bantu ibu-ibu hajar, copet?” pikir Aqilla masih bertahan duduk di sofa rias milik Chilla dan masih berwarna pink juga.
“B—belajar lah, Ma. Masa cuma kak Qilla saja yang hebat. Aku juga pengin belajar, walau pada akhirnya malah nyusahin dan ujung-ujungnya dibantu. Gelud sama kucing pun aku kalah. Lihat, hasilnya aku dikasih tanda cakaran di pipi kiri!” jelas Aqilla berusaha meyakinkan.
Berbeda dari biasanya, ibu Akina tetap sulit untuk percaya. Dirasa ibu Akina, ada yang janggal dengan Chilla dan baginya, mirip Aqilla. Namun, jika yang ada di hadapannya dan tengah ia keringkan kepalanya menggunakan handuk, putri pertamanya. Ke mana Asyilla? Lagipula, bukankah Aqilla masih ada di Australia dan berdalih tak mau pulang untuk liburan. Karena putri pertamanya itu ingin bekerja paruh waktu demi mendapatkan pengalaman?
“Sebenarnya ini ada apa? Perasaanku beneran enggak enak!” batin ibu Akina yang berangsur lanjut mengeringkan kepala sang putri.
Sampai akhirnya di keesokan harinya, ibu Akina masih melihat keanehan dari putrinya. Karena jika itu Chilla, harusnya akan merepotkan. Mustahil bagi Chilla bangun pagi, bahkan mengaku sudah shalat subuh. Selain itu, harusnya Chilla juga tidak betah di dapur. Sementara Chilla yang sekarang, justru bereksperimen membuatkan sarapan untuk anggota keluarganya.
“Morning ciwi-ciwi! Rajin sekali ... sepagi ini dapur sudah wangi. Ya wangi parfum, ya wangi makanan!” ucap pak Zeedev dan tak lain suami ibu Akina.
Pak Zeedev memang hanya ayah sambung si kembar Aqilla dan Asyilla. Namun, pak Zeedev juga paham perbedaan keduanya. Asyilla itu centil, berisik, pemalas, manja, dan tidak bisa masak. Namun Asyilla sangat mahir dandan, melucu layaknya artis, atau malah mendesain dan merakit kerajinan. Lain lagi dengan Aqilla yang kebalikannya. Aqilla sangat tidak bisa berdandan, tapi pandai masak dan membuat banyak aneka olahan. Baik yang berupa minuman, kue, es krim, dan makanan lainnya. Mau yang nuansa dalam negeri, maupun makanan luar negeri, Aqilla bisa.
Karena keceriaannya hanya dibalas senyum hangat oleh Aqilla, pak Zeedev juga refleks diam. Padahal, ia sudah ada di samping belakang sebelah kanan Aqilla. Ia berangsur mendekapnya erat, kemudian mngecup gemas pipi kirinya.
“Sayang, ... kamu merasa ada yang aneh juga, kan?” ucap ibu Akina lemas kepada sang suami, tak lama setelah Aqilla pergi.
Ibu Akina sampai mematikan kompor dirinya tengah menumis bihun korea dengan aneka isi. Ia menatap sang suami dengan tatapan penuh khawatir bahkan luka.
“Hari ini juga kita datang ke rumah orang tuanya Rumi. Kita tanya apa yang sebenarnya terjadi ke Chilla. Kenapa si centil kesayangan kita, mendadak berubah,” sergah pak Zeedev serius.
Sambil menahan tangis, ibu Akina yang makin curiga, sesuatu yang tidak ia harapkan telah dialami sang putri, mengangguk-angguk.
“Pecaya kepadaku semuanya baik-baik saja. Jangan sedih apalagi nangis. Jangan setres karena semuanya beneran baik-baik saja. Ingat, selama satu minggu, selama Chilla enggak pulang, Rumi selalu bilang bahwa Chilla baik-baik saja!” sergah pak Zeedev sambil merengkuh dan mengelus sayang, punggung sang istri.
•••
Alasan pak Zeedev mengajak sang istri bersilaturahmi ke rumah Rumi, murni karena yang mereka tahu, selama Chilla tidak pulang, sang putri menginap di rumah Rumi, sekalian untuk mengurus tugas sekolah juga.
“Bukan! Bukan aku yang membunuh Chilla dan bikin dia jadi hantu gentayangan! Sumpah, Om ... Tante!” ucap Rumi ketakutan dan buru-buru kabur.
Rumi sibuk mencari tempat untuk bersembunyi layaknya orang kurang waras dan sangat ketakutan. Pak Zeedev dan ibu Akina juga tak kalah ketakutan. Apalagi selama Chilla menghilang, yang mereka tahu memang dengan Rumi.
“Maafkan putri saya, ya Pak Dev dan Ibu Akina—” Pak Pendi merasa sangat muak kepada kelakuan putrinya dan makin ke sini makin mirip orang gila.
Setelah buru-buru pamit, pak Pendi menyuruh dua ART di sana dan memang sengaja ia tugasi jaga-jaga, untuk membantunya membawa Rumi kembali ke kamar.
“Bukan aku yang bunuh Chilla dan bikin dia jadi arwah penasaran. Sumpah bukan! Aku mohon bilang ke dia, agar dia tidak menggangguku seperti semalam!” histeris Rumi.
Sesampainya di dalam kamar, tamparan panas tangan kanan pak Pendi, sukses membuat putrinya diam. Saking kerasnya cara pak Pendi dalam memperlakukan Rumi, kedua ART yang masih di sana langsung ketakutan. Keduanya memutuskan untuk buru-buru pergi tanpa pamit. Apalagi berkat tamparan panas pak Pendi juga, kacamata berbingkai pink pemberian Chilla, lolos dari kedua telinga Rumi. Kacamata tersebut berakhir retak layaknya ketulusan Asyilla yang sudah Rumi salah gunakan.
Rumi masih membeku, mendengarkan makian demi makian yang keluar dari bibir sang papa, dan memang sangat menyakitkan untuknya. Kedua matanya yang basah, menatap nanar kacamata di hadapannya yang pecah. Layaknya sang papa, lantai ia terduduk juga terasa begitu dingin.
“Lama-lama, Papa enggak segan kurung kamu kalau kelakuanmu terus kayak orang g i l a seperti ini!”
“Kenapa enggak ada yang percaya, kalau semalam, hantu Chilla ke sini? Bahkan, hantu Chilla juga yang memecahkan jendelaku. Namun, sejak kapan hantu bisa menyentuh barang? Semalam, rasanya sangat nyata. Chilla seolah sehat wal afiat. Atau, itu memang Chilla yang selamat? Jika begitu, aku benar-benar harus cari tahu! Takutnya, Chilla memang belum mati dan sengaja menuntut balas!” batin Rumi mencoba bangkit dari keterpurukannya yang dipenuhi ketakutan.
(Assalamualaikum. Ramaikan yuk ❤️)
😏😏😏
iya juga yaa,, kalo sdh singgung k Mbah Kakung,, memoriq tiba2 jadi blank🤭😅
ini angkatan siapa ya... 🤣🤣🤣
kayaknya aq harus bikin silsilah keluarga mereka deh... 🤣🤣🤣
beri saja Liara hukuman yg lebih kejam Mb...
Angkasa ....,, tunggu tanggal mainnya khusus utkmu dari Aqilla
Jangan smpe orang tua nya liara berkelit lagi ...