Samael dan Isabel, dua bersaudara yang sudah lama tinggal bersama sejak mereka diasuh oleh orang tua angkat mereka, dan sudah bersama-sama sejak berada di fasilitas pemerintah sebagai salah satu dari anak hasil program bayi tabung.
Kedua kakak beradik menggunakan kapsul DDVR untuk memainkan game MMORPG dan sudah memainkannya sejak 8 tahun lamanya. Mereka berdua menjadi salah satu yang terkuat dengan guild mereka yang hanya diisi oleh mereka berdua dan ratusan ribu NPC hasil ciptaan dan summon mereka sendiri.
Di tengah permainan, tiba-tiba saja mereka semua berpindah ke dunia lain, ke tengah-tengah kutub utara yang bersalju bersama dengan seluruh HQ guild mereka dan seisinya. Dan di dunia itu, di dunia yang sudah delapan kali diinvasi oleh entitas Malapetaka, orang-orang justru memanggil mereka; Kiamat Dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alif R. F., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#21 - Mikael and The Dwarves
Di antara keramaian, seorang pria bertubuh besar setinggi 2 meter, berjalan dengan bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana kulit dan sarung tangan pandai besi nya. Ia berjalan dengan begitu percaya diri dengan aura maskulin dan kuat yang terus dipancarkannya.
Para kurcaci maupun manusia, pria maupun wanita, yang kini harus melipir karenanya, semuanya terpaku akan postur tubuh nya yang besar, tinggi dan berotot, mereka juga terpesona akan paras nya yang menawan dengan mata biru dan rambut putih nya yang berkilauan di bawah sinar matahari palsu.
Di sisi lain, Mikael sebagai pelaku utama, merasa canggung. Cara jalannya yang tampak kuat dan berwibawa, adalah caranya untuk menahan diri untuk tidak menoleh dan lari. Selain itu, pasif peredam emosinya juga terus aktif.
‘Ini akan menjadi lebih aneh jika tiba-tiba aku mengganti pakaian lagi,’ batinnya, melirik ke sekitar, ke lapak-lapak pandai besi kurcaci yang juga bertelanjang dada sepertinya. ‘Bahkan kurcaci wanita … juga tidak … hmmm … mereka setidaknya menutupi bagian dadanya.’
Penduduk Khazmirad didominasi oleh para kurcaci es, ras yang memiliki kulit lebih tebal dari ras kurcaci lainnya. Mereka memiliki kulit putih seputih susu, beberapa bahkan terlihat seperti albino dengan rambut putih mereka. Para kurcaci utara sebelumnya mengenakan pakaian kulit tipis, namun kini sejak matahari palsu itu muncul dan menerangi seluruh wilayah kubah sentral, mereka dengan bebas melepas pakaian mereka.
Mikael dengan level bergaul nya yang canggung pun mulai berjalan ke arah salah satu lapak, mendekati seorang kurcaci berjenggot putih panjang yang sedang menempa dan sibuk dengan pekerjaannya. Dia mulai membuka pembicaraan dengan berdehem. “Ahem … kalian benar-benar menyukai matahari ini ya.”
Kurcaci itu tidak menjawab dan tetap meneruskan pekerjaannya, memalu setiap sisi pedang yang tampak masih membara di atas baja tempa nya.
“Ngomong-ngomong, apa kalian tidak mengenal keselamatan kerja? Jenggot mu itu … itu bisa terkena bara dan terbakar, loh,” lanjut Mikael, kini bersandar di pilar penampang lapak kurcaci itu.
Kemudian dari bangunan kecil yang merupakan rumah dengan pintu berbentuk lingkaran, seorang kurcaci wanita keluar dari sana sambil membawa satu cawan berisi air. “Huh, kau tidak akan bisa berbicara dengannya. Ayahku tuli,” katanya sambil menaruh cawan di atas meja, tak jauh dari pintu masuk rumah.
Mikael untuk sesaat mencari keberadaan suara itu, sampai akhirnya menoleh ke bawah, dan menemukan kurcaci wanita itu yang hanya mengenakan tube top.
Sambil menguncir rambutnya, wanita itu kembali berkata, “hah, entah mengapa aku merasa direndahkan. Hei, apakah kau juga ingin memesan senjata? Pesan lah kepadaku, biarkan aku nanti yang menyampaikannya.”
“Oh, tidak, tidak, aku kesini bukan untuk itu,” jawab Mikael, “aku kesini hanya untuk basa basi saja, ingin berkenalan kepada warga sini.”
“Ohhh, apakah kamu pendatang? Pantas saja aku merasa asing dengan wajah mu,” kata kurcaci wanita itu, “dan ngomong-ngomong, apakah kamu tidak kedinginan? Padahal manusia lain tampak tetap mengenakan pakaian mereka, meski sudah lebih hangat dari sebelumnya.”
Mikael menoleh ke sekitarnya, melihat para manusia dan kurcaci laki-laki yang berlalu lalang, dan akhirnya menyadari bahwa selama ini dia kurang teliti akan hal itu, tentang bangsa kurcaci saja yang tidak mengenakan baju, tidak dengan manusia.
“Hah tapi siapa yang peduli juga, ya kan?” Sambung wanita itu, dan mulai mendekati Mikael. “Kenalkan, aku Drisla, putra Bromir,” ucapnya sambil mengulurkan tangan, meminta bersalaman.
Mikael melepas sarung tangannya untuk menyambut tangan Drisla, dengan mata nya sambil melirik ke arah [status window] nya yang kini yang bertuliskan nama asli nya, Samael. “Oh, aku Samael. Salam kenal, Drisla,” balasnya, dengan tangan nya yang besar, ia menutup seluruh tangan Drisla yang begitu kecil.
Drisla terdiam untuk sesaat. “Wow, kau adalah manusia terbesar yang pernah aku temui … sungguh, tangan mu juga terlihat begitu kuat,” ucapnya, mulai mengelus-elus tangan Mikael. “Apakah kamu seorang penempa juga? Tapi … meski ini berurat, aku tidak merasakan adanya kapalan sama sekali seolah tangan kamu kebal dengan gesekan atau semacamnya.”
“Benarkah?” Tanya Mikael, berbasa-basi sementara bingung harus melakukan apa di posisi tersebut.
“Ya … hmmm, kenapa kamu malah bertanya?” Ucap Drisla, mendongak menatap Mikael yang membungkuk mencoba menggapainya. “Haaa, tanganmu juga begitu lembut,” sambungnya sambil mengelus-eluskan tangan Mikael ke pipi nya.
“Oh, ok,” jawab Mikael, melirik ke samping ke arah Bromir dengan canggungnya seolah meminta bantuan. “Apakah semua kurcaci terobsesi dengan tangan??”
Drisla tersenyum miring, kemudian mulai menarik tangan Mikel ke arah kursi panjang. “Silahkan duduk dulu, aku akan mengambilkan minuman lain.”
Mikael dengan pasrah berjalan mengikutinya, lalu duduk di atas kursi panjang tak jauh dari meja dekat pintu masuk. Sesaat Drisla masuk ke dalam rumah, Bromir menoleh dan mulai berjalan ke arah meja.
Mikael yang melihat itu dengan canggung mulai menggunakan isyarat, mengangkat tangan kanannya untuk menyapa.
Bromir yang melihat itu langsung mengernyit dan berkata, “tidak … aku tidak tuli. Aku memang tidak suka diganggu saja,” ucap nya, lalu meminum air dari cawan tersebut. “Jadi, kau ke lapak ku untuk apa? Hanya untuk bertegur sapa? Itu saja?”
Mikael beranjak dari kursi panjang, berdiri dengan tegak dan mulai menatap serius Bromir. Di dalam benaknya, ia ingin segera menanyakan tentang semua informasi yang ingin dia ketahui, namun melihat Bromir yang tampak berpikiran tajam, Mikael kini harus mencari cara agar dirinya atau niatnya tidak diketahui.
“Aku sebenarnya adalah seorang pandai besi, aku bisa membuat beberapa senjata,” kata Mikael, mulai berjalan ke arah tungku api.
Bromir memutar tubuh nya, mengikuti arah Mikael berjalan. “Jika kau ingin berlagak jago dengan kemampuan mu itu, tolong jangan gunakan logam mahal di rak kanan. Gunakan yang ada di bawah dekat kompresor. Itu adalah baja hitam biasa, harganya lebih murah. Kau bisa membayarnya nanti setelah kau selesai.”
Mikael kini berdiri di dekat dan menghadap tungku, sedikit menoleh menampilkan pipi nya ke arah Bromir. Kemudian dengan menggunakan saku celana sebagai penutup, dia mengeluarkan palu penempa dari Inventaris nya.
Dari sana, dia mengeluarkan sebuah palu penempa dengan gagang pendek dan baja yang hitam pekat. Palu yang baru saja dia keluarkan adalah palu pemula level terendah. Dia sengaja mengeluarkan itu setelah menyadari orang-orang di dunia ini, setidaknya di kota ini, baginya tampak jauh lebih lemah.
“Mungkin aku bisa mulai dengan menggunakan 1% kekuatanku,” bisik nya, mulai menghela nafas panjang sambil melemaskan semua otot-otot nya menjadi sangat terlihat loyo.
“Hmmm, kau punya palu yang cukup bagus juga,” ujar Bromir, di sela-sela itu, “meski aku belum pernah melihat baja hitam se pekat itu sebelumnya. Mari kita lihat, apakah kemampuan mu setara dengan perlengkapan mu.”
Mikael kemudian mengambil baja hitam di bawah kompresor menggunakan penjepit. Dari sana, ia langsung memasukkannya ke dalam tungku api. Kemudian, ia pun menunggu sambil sesekali membalik sisi baja tersebut.
Beberapa detik kemudian, ia pun mengeluarkannya dari dalam tungku, menaruhnya di atas Anvil, dan mulai menempa nya dengan begitu lembut, menurutnya. Namun, justru yang keluar adalah hantaman dahsyat dengan suara yang menggelegar seperti guntur.
“Haaa! Apa yang kau lakukan!?” teriak Bromir, berjalan menghampiri Mikael sesaat satu paluan mendarat di atas baja hitam yang masih membara merah itu. “Hentikan! Apa-apaan kekuatan itu?!”
Mikael menghentikan kegiatannya itu seketika, dan mulai menaruh baja hitam itu ke meja lain. Ketika ia mengangkat baja itu, terlihatlah bahwa anvil nya kini retak seolah membentuk kawah meteor mini.
Bromir memegang kepalanya, berteriak tanpa mengeluarkan suara dengan matanya yang melotot penuh keterkejutan.
Sementara itu di sisi lain, Drisla baru saja keluar dari dalam rumah, membawa satu cawan berisi air. Kini, setelah mendengar suara seperti ledakan guntur, sedang dirinya masih memegang cawan berisi air, Drisla hanya bisa terpaku menatap wajah ayahnya yang tampak begitu terkejut, dan dengan sesekali melirik ke punggung kekar Mikael yang mengeluarkan keringat.
“Ayah … suara apa itu barusan?” tanya Drisla, menaruh cawan yang ada di tangannya sebelum akhirnya berjalan mendekati ayahnya dan Mikael. “Wow … apakah itu kamu yang menghancurkan nya?” sambungnya sesaat tiba di dekat keduanya dan melihat anvil ayah nya menjadi cekung dan penuh retakan.
“M-maafkan saya … saya akan menggantinya,” jawab Mikael, dan dengan terburu-buru mengeluarkan Anvil hitam pekat dari dalam Inventaris nya.
“K-kau bahkan bisa menggunakan sihir?!!!” teriakan Bromir kini mengeluarkan suara. “Si-siapa kau sebenarnya, wahai manusia?!”
“Luar biasa … kamu sangat kuat.” Drisla ikut memuji nya, dengan pipi nya yang kini sudah menggosok-gosok tangan Mikael. “Tangan mu juga halus. Apakah kamu keturunan demigod?”
“K-kau … jadi … kau adalah seorang keturunan demigod dari kalangan manusia?” Bromir mendongak, menatap Mikael dengan tatapan kagum.
Di tengah itu semua, Mikael menaruh anvil nya, di sebelah anvil Bromir. Sesaat anvil milik nya terlepas dari tangannya, meski itu hanya tinggal beberapa senti saja, lantai di bawah nya langsung retak dan kembali membuat kawah mini.
Bromir kembali berteriak dalam bisu, sedangkan Drisla yang masih mengelus-elus kan wajah nya ke lekukan otot Mikael, ekspresi nya kini mulai mengkhawatirkan.
Mikael untuk sesaat terdiam, merasakan elusan lembut di tangan kanan nya, sedang Bromir tampak berjalan tertatih-tatih ke arah Anvil tersebut dan mulai berlutut sambil mulai menyentuh anvil milik Mikael.
“Oke … jadi, bisakah kalian bersikap normal—“
“Normal? kau menyuruh kami untuk bersikap normal?!! kau yang tidak normal!” seru Bromir, sambil memeluk anvil hitam pekat milik Mikael. Lalu mulai mengangkatnya. “Ini … ini … ini benar-benar berat! Ini bahkan tidak bisa digeser sama sekali!”
“Kalau begitu,” ucap Mikael, kembali memulai pembicaraan, “tentang demigod, mereka itu siapa—“
“Hehehe~ bagaimana kamu bisa tidak tahu …,” balas Drisla, masih mengelus-elus pipinya pada tangan Mikael, degan ekspresi nya yang sudah tak tertolong. Ia terlihat begitu mesum dengan ekspresi nya.
Mikael mengangkat tangannya, dan dengan mudahnya, Drisla yang masih memeluk tangan Mikael, dengan remeh nya ikut terangkat. “Bisakah kamu melepaskan tanganku? Wajah mu sudah terlihat begitu aneh.”
“Hohoho … aku harus memberitahu Baldin, Thorin, Korin dan Gorim,” tawa Bromir mulai menggila.
Mikael yang merasa dirinya tidak dihiraukan pun kembali memasukkan Anvil yang dipeluk Bromir ke dalam Inventaris nya, lalu melepas paksa pelukan Drisla pada tangan kanan nya.
“Ap-apa yang kau—“
Mikael mengangkat Bromir menggunakan kerah belakang nya, kemudian mulai menuju ke kursi panjang. Sementara Drisla, kini ia gendong bagaikan karung berisi beras di bahu sebelah kanan nya.
Lalu sesampainya di kursi panjang, Mikael menaruh keduanya di depannya, membiarkan mereka untuk berdiri dengan linglung, sedang dirinya duduk dengan kaki kanan dipangku di kaki kiri nya.
“Sekarang … jelaskan … apa itu demigod,” ucap Mikael dengan tatapan serius, bersandar sambil merentangkan kedua tangannya pada sandaran kursi.
Keduanya saling tatap, sebelum akhirnya Bromir mulai menjelaskan apa itu demigod.
***.
Bersambung ….