Menikah dengan lelaki yang dicintai, ternyata tidak menjamin kebahagiaan, ada kalanya justru menjadi luka yang tak ada habisnya.
Seperti halnya yang dialami oleh Raina Almeera. Alih-alih bahagia karena menikah dengan lelaki pujaan—Nero Morvion, Raina malah menderita karena hanya dijadikan alat untuk membalas dendam.
Walau akhirnya ... takdir berkata lain pada skenario yang dibuat lebih awal oleh Nero.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
IKTN 34
"Kita bawa ke rumah sakit!"
Raksa tampak panik ketika melihat kondisi Yeni. Wanita paruh baya itu membeliak sambil memegangi dadanya. Tidak jelas apa yang dia ucap, hanya serupa rintihan pelan yang tertahan di tenggorokan.
Tanpa menunggu jawaban dari Anne ataupun Nero, Raksa bergegas mengangkat tubuh Yeni dan membawanya ke mobil. Raksa sendiri yang memangkunya di bangku belakang, sedangkan Nero yang memegang kemudi. Sementara Anne, turut menemani Raksa dan Yeni, sembari menenangkan sang suami yang sangat panik. Saking tegangnya keadaan, Anne meninggalkan anaknya di rumah bersama bibi pengasuh, demi turut menjaga mertua yang sepertinya tidak baik-baik saja.
"Lebih cepat lagi, Nero!" teriak Raksa.
Tak seperti biasa yang sering membantah, kali ini Nero diam dan menuruti permintaan Raksa. Dia menambah laju kecepatan dan berusaha sekeras mungkin untuk segera tiba di rumah sakit.
Sekitar dua puluh menit kemudian, akhirnya mereka tiba juga di tempat tujuan. Lagi-lagi dengan langkah cepat, Raksa membawa Yeni keluar dari mobil. Lantas, perawat pun datang dan bergegas mengarahkan pasien ke IGD.
"Dokter akan menangani Bu Yeni. Bapak dan Ibu silakan tunggu di sini," ujar perawat, meminta Raksa dan yang lainnya untuk menunggu di luar.
Meski berat hati, tetapi Raksa tak bisa membantah. Mau tidak mau dia harus duduk dan menunggu informasi dari dokter yang kini sedang memeriksa keadaan Yeni.
"Andai aku tahu di mana Raina berada, pasti sudah kujemput dan kubawa pulang dia. Tak peduli seberapa jauh jaraknya," gumam Raksa setelah beberapa saat berlalu. Walau suaranya cukup pelan, tetapi Nero dan Anne bisa mendengarnya dengan jelas, karena jarak keduanya memang berdekatan.
"Sabar, Mas. Kita cari lagi nanti, pasti ketemu. Raina nggak mungkin pergi dan melupakan kita semua." Anne berusaha menenangkan, sembari menggenggam erat tangan Raksa.
Sementara Nero, hanya diam dan menunduk. Dia hanyut dalam pikirannya sendiri. Bayang-bayang perlakuannya kepada Raina selama menikah, kali ini menghakimi dan menyudutkan dirinya. Seolah meminta pertanggungjawaban atas apa yang terjadi saat ini.
"Aku tidak bisa menjanjikan banyak hal. Tapi, jika ada kesempatan untuk bertemu lagi dengannya, aku tidak akan menyia-nyiakan untuk kedua kalinya. Aku akan mengesampingkan ego dan angkuhku, demi memperbaiki hubungan kami," batin Nero dalam diamnya.
Malam itu, tak ada perbincangan lagi antara Raksa, Anne, dan Nero. Setelah dokter datang dan menjelaskan keadaan Yeni—penyakit gagal jantungnya kembali kambuh dan sekarang sedang kritis, baik Raksa maupun Nero memilih diam dan memanjatkan doa dalam hati masing-masing. Walaupun hanya mertua, tetapi kesedihan Nero tak terkira. Yeni adalah wanita yang jauh lebih baik dari ibunya sendiri. Bahkan pada Yeni pula, Nero bisa merasakan hangat kasih sayang seorang ibu.
Tak terbayang andai kini terjadi sesuatu dengan Yeni, Nero tak akan bisa memaafkan diri sendiri. Bagaimana tidak, sekarang saja dia telah membuat anak Yeni pergi menghilang entah ke mana, sedangkan dirinya senantiasa berdusta tanpa berani menyampaikan kejujuran.
"Jika sampai besok keadaan Mama belum ada kemajuan, kita pindah ke rumah sakit yang lebih baik. Aku yang menanggung biayanya," kata Nero. Kemudian beranjak pergi dan meninggalkan Raksa. Dia butuh waktu sendiri untuk berdamai dengan hatinya yang berkecamuk tak karuan.
Taman rumah sakit yang sunyi, itulah tempat yang dipilih Nero. Sambil menyaksikan kerlip bintang yang meredup serta angin dingin dini hari itu, Nero mengisap rokok kuat-kuat. Sesekali Nero memejam, lantas kembali mendongak dan memandangi langit yang terbentang luas. Entah di bagian mana Raina bernaung, bagaimana keadaannya, sedih atau bahagia. Bermacam pertanyaan yang akhirnya menjadi beban berat dalam pikiran Nero.
________
Setelah tiga hari penuh dirawat di rumah sakit, keadaan Yeni berangsur membaik. Dia sudah melewati masa kritis dan sudah siuman sejak kemarin. Rencananya hari ini akan pindah kamar.
Anne, Raksa, dan Nero tetap setia menjaganya. Hanya sesekali mereka pulang guna membersihkan diri. Sementara pekerjaan, mereka kerjakan dari sana, selebihnya dilimpahkan pada tangan kanan.
Hampir tengah hari, Yeni dipindah ke kamar rawat. Raksa dan Nero yang langsung menjaganya di sana, sedangkan Anne masih keluar untuk mencari minum.
"Apa yang Mama rasakan sekarang? Dadanya masih sakit?" tanya Raksa.
Yeni menggeleng. "Udah nggak sakit, Mama udah sembuh."
"Syukurlah kalau gitu. Terus sehat ya, Ma, biar cepat keluar dari rumah sakit dan bisa istirahat nyaman di rumah."
"Ponsel Mama mana?" Alih-alih menyahut ucapan Raksa, Yeni malah menanyakan hal lain, dengan raut muka yang menampilkan keresahan.
"Ponsel Mama ada di rumah. Kenapa, Ma? Mau telfon teman kah? Pakai ponselku aja ya?" kata Raksa.
Yeni menggeleng lagi. Namun, keresahan di wajahnya makin tampak nyata.
Belum sempat Raksa bertanya lagi, pintu ruangan dibuka dari luar. Namun, Raksa dan Nero tak langsung menoleh, keduanya masih fokus dengan wajah Yeni yang kian gusar. Lagi pula, paling juga Anne yang datang, atau kalau bukan, mungkin dokter yang melakukan pemeriksaan berkala.
Akan tetapi, aroma parfum yang familier—dan jelas bukan milik Anne, membuat Nero terpaku sejenak. Detak jantung pun langsung berpacu cepat, pasalnya aroma itu milik seseorang yang ia rindukan dalam dua tahun ini.
Awalnya, Nero menyangkal dan berpikir itu hanya halusinasi. Namun, pemikiran itu terhenti manakala seseorang yang datang itu bersuara dan menyapa.
"Mama!"
Bukan hanya Nero, Raksa pun terperanjat seketika. Keduanya sontak menoleh dan tertegun menatap wanita cantik berambut panjang yang kini melangkah mendekat.
"Raina," gumam Raksa dan Nero. Keduanya nyaris tak percaya. Namun, mengucek mata berulang kali pun wanita itu tetap ada di hadapan. Artinya ... memang benar Raina yang datang, bukan sekadar ilusi atau mimpi.
Bersambung...