DASAR, SUAMI DAN ISTRI SAMA-SAMA PEMBAWA SIAL!
Hinaan yang tak pernah henti disematkan pada Alana dan sang suami.
Entah masa lalu seperti apa yang terjadi pada keluarga sang suami, sampai-sampai mereka tega mengatai Alana dan Rama merupakan manusia pembawa sial.
Perselisihan yang kerap terjadi, akhirnya membuat Alana dan sang suami terpaksa angkat kaki dari rumah mertua.
Alana bertekad, akan mematahkan semua hinaan-hinaan yang mereka tuduhkan.
Dapatkah Alana membuktikan dan menunjukkan keberhasilannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon V E X A N A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PAM24
"Ternyata Mas Raga itu sedang kesusahan di Kalimantan sana." Aku membeberkan apa yang dikatakan Mbak Raya tadi.
"Kesusahan gimana, Yank?" Mas Rama menatapku kaget.
"Mas ingat waktu Mas Raga kecelakaan kerja 2 tahun lalu? Yang sampai kita harus pergi dari rumah Bapak?" Mas Rama mengangguk.
"Nah sejak itu Mas Raga dimutasi ke bagian admin. Gajinya juga ikut disesuaikan, makin kecil kata Mbak Raya. Nah, tahun ini kan 2 keponakan Mas itu masuk sekolah semua. Nanda masuk SD, Nindi masuk TK. Sejak itu Mas Raga sudah tidak kirim ke ibu lagi. Makanya tidak bisa bayar BPJS kemarin."
Mas Rama menganga, lalu menghela napas panjang.
"Jujur, Mas sedih karena tidak tahu apa-apa soal kondisi saudara Mas. Tapi Mas lebih prihatin lagi sama Mas Raga. Kondisi kita membaik, tapi kakak Mas malah begini."
"Kata Mbak Raya, sertifikat yang kemarin mau digadaikan itu untuk bantu modal Mas Rama buka usaha di sana. Mbak Utami yang akan jalankan. Mau buka toko yang akan dijaga istrinya."
"Gimana enaknya ya, Yank? Mau nolongin, kita juga belum mampu. Apalagi setelah pengeluaran besar kemarin."
"Lagian Mas Raga juga belum ada ngomong ke kita, Mas. Ibu dan Bapak juga tidak menyampaikan ke kita. Kalau kita berinisiatif, malah ntar sok gak sih?"
"Sepertinya demikian. Jadi baiknya kita diam dulu dan mengamati saja ya."
"Benar, kita pikirkan nanti kalau memang sudah tiba saatnya, Mas. Cukupkan masalah hari ini untuk hari ini saja. Sekarang baiknya kita tidur aja yuk. Sudah beberapa hari kan tidur tidak nyenyak. Sekarang Bapak sudah baik-baik di sebelah, jadi bisa tidur pulas kita."
"Selamat tidur, Istriku Sayang." Mas Rama mengecup keningku sebelum kami larut ke- alam mimpi masing-masing.
...****************...
Hari-hari berlalu dengan normal, makin hari ibu makin sering keluar kamar. Meski masih kaku menghadapi Bian, tapi, sudah tidak menghindar lagi. Memang pada dasarnya ibu juga tidak terlalu dekat dengan cucu-cucunya. Mungkin sifat ibu yang introvert yang membuat seperti itu.
Seperti biasa di siang hari, aku sedang telepon ke pemasok langganan untuk memesan bahan-bahan kue, sedangkan bapak bermain bersama Bian. Kudengar ketukan keras di pintu depan.
"Majikanmu ada?" tanya seseorang di luar pintu.
Bu Karto yang membuka pintu kaget dengan suara sapaan tiba-tiba itu, sepertinya aku kenal suara itu.
"Maaf ibu mau cari siapa ya?"
"Majikanmu lah! Kamu pembantu di sini kan? Terus tamu tidak dipersilahkan masuk? Gak sopan banget kamu ini pembantu! Kamu tidak tahu siapa saya?!"
Suara Bulek Darmi terdengar keras sekali dari dalam sini. Aku, bapak dan Bian sampai kaget sendiri. Untung Bian tidak sampai menangis. Segera kuselesaikan pesananku biar bīsa keluar.
"Benar saya bekerja di sini. Dan saya tidak tahu siapa, Ibu." Bu Karto menghela napas.
"Ibu ini siapa? Mau ketemu dengan majikan saya yang mana? Kalau tidak jelas, mana mungkin saya mempersilahkan Ibu masuk ke rumah majikan saya," lanjut Bu Karto dengan pelan dan tegas.
Bu Karto sebetulnya tahu, siapa tamu ini. Yang sudah merusuh saat syukuran pindahan rumah dulu, siapa lagi kalau bukan Bulek Darmi. Tapi sengaja Bu Karto pura-pura tidak mengenalinya karena memang kelakuan bulek sangat tidak sopan sekali.
"Aku adiknya Nyonya Surtini, ibunya Rama. Ayo cepat panggilkan. Aku mau masuk ini. Panas di luar!"
Bu Karto menyingkir dari pintu, mempersilahkan bulek masuk. "Silahkan masuk, Bu. Silahkan duduk."
"Mbak Alana, buleknya mau nyari Bu Tini."
"Iya, saya minta tolong panggilin Ibu ya, Bu Karto. Sama minumannya sekalian."
"Baik Mbak," sahut Bu Karto dengan sopan.
Sepeninggalan Bu Karto, Ku hampiri bulek yang sudah duduk di sofa ruang tamu.
"Bulek, tumben datang siang-siang begini?" Kucium tangannya yang cepat ditariknya.
"Kenapa? Masalah kalau aku bertamu ke rumah kakakku sendiri?"
Dalam hati aku tertawa, bulek ini lupa diri atau hanya menghalu? "Tentu saja tidak masalah, silahkan aja." Aku mengambil duduk di sofa tunggal.
Bulek mencebik sembari menatapku sinis.
"Darmi, tumben, Dar," sapa Ibu yang baru saja tiba.
"Mau lihat kondisi kalian, Mbak. Katanya minggu kemarin Mas Yanto habis masuk rumah sakit. Aku kan gak bisa jenguk. Sekalian mau lihat rumah barumu." Mata bulek memandang ke sekeliling rumah.
Ibu melirikku. "Mas Yanto sudah jauh mendingan, lagi main sama cucunya di dalam."
Bu Karto datang menyuguhkan teh dan kue-kue.
"Karena ibu sudah di sini, Alana tinggal ke dalam dulu ya Bu, Bulek."
Aku mengikuti bu Karto masuk tanpa menunggu reaksi ibu dan bulek. Biar saja bulek menghalu terus.
"Menantumu itu kayak kecakepan aja deh, Mbak. Baru juga jualan kue, sombongnya minta ampun."
Kudengar suara bulek lagi. Sepertinya bukan hanya aku, tapi bapak juga. Bapak sampai geleng-geleng sambil melihat ke arahku.
"Sebenarnya kamu ada perlu apa, Dar?"
"Lho aku benar-benar mau melihat kondisimu, Mbak. Mau memastikan tidak ada kesialan baru yang ditularkan Rama ke kalian. Kemarin baru saja akur sama Rama, Mas Yanto langsung masuk rumah sakit. Siapa tahu sekarang tinggal di rumah baru ada kesialan baru lagi gitu."
Benar-benar keterlaluan bulek ini. Ingin melangkah ke depan dan melawan omongannya, tapi kutahan. Mau ku dengar sejauh mana bulek meracau, dan sejauh mana ibu bertindak.
"Ngawur kamu, Dar. Kemarin Mas Yanto masuk rumah sakit karena kecapekan. Tinggal di sini juga karena aku pasti gak kuat kalau merawat suamiku sendirian, di rumah ...," bantah Ibu.
Aku sedikit bahagia, ibu membela Mas Rama. Yah meski tidak benar-benar membela, hanya menyampaikan kebenaran.
"Kamu sudah kepengaruh aura Rama, Mbak. Apa karena tinggal di sini ya? Kamu tidak lupa kematian Bapak kita kan, Mbak? Ati-ati nanti banyak kesialan baru yang menghampirimu."
Apa begini cara bulek Darmi mencuci otak ibu ya? Selalu diingatkan kematian kakeknya Mas Rama dengan perkataan pahit begini. Ya pantas saja kebenciannya terhadap Mas Rama tidak pernah berkurang.
"Atau kamu mau tinggal sama aku aja, gimana? Rumahku gak kalah bagus kok ama rumah orang-orang sialan ini. Suaminya Marni akan membuatkan kolam renang dan kolam ikan di rumahku. Bakalan lebih besar dari ini." Bulek Darmi masih meneruskan cibirannya.
Sepertinya bapak sudah tidak tahan lagi. Bapak memberi tanda ke Bu Karto untuk mengambil Bian dari pangkuannya, kemudian berjalan pelan ke arah ruang tamu.
"Kamu ini benar-benar keterlaluan ya, Darmi." ujar Bapak pelan namun tegas. "Sudah bertamu ke rumah orang, tidak sopan pula. Pakai acara menjelek-jelekkan yang punya rumah."
Bulek terlihat salah tingkat, tapi, kemudian menutupinya dengan mukanya yang sombong.
"Aku hanya mengingatkan Mbak Tini soal Bapak kami, Mas," jawab Bulek Darmi.
"Mengingatkan apa? Mengingatkan Mbak mu, bahwa kamu enak-enakan jalan-jalan? Sementara Bapakmu sedang sakit keras tanpa ada yang merawat, begitu? Mbak mu sedang hamil besar saat itu. Bahkan dia juga sudah bilang kalau bapak semakin sering kambuh. Namun, apa yang kamu lakukan? Tetap pergi kan?" Bapak mengambil napas.
Duh, aku takut bapak kambuh lagi.
"Lalu saat Mbak mu berjuang melahirkan bayi kami, Bapak kambuh sampai meninggal, kamu menyalahkan bayi kami kenapa dia lahir saat itu? Kamu ini seorang wanita, Darmi, seorang ibu pula. Kok tega memfitnah bayi yang baru lahir sebagai penyebab kematian Bapak Mengadu domba Ibu dan anaknya untuk menutupi kesalahanmu? Untung kamu bukan adik kandungku. Kalau adik kandungku? Sudah habis kamu ditanganku sejak mulutmu memfitnah anakku!" lanjut Bapak.
Bulek membelalakkan matanya. Dia tidak percaya bapak sampai bisa berbicara seperti itu.
"Mas Yanto, ini bicara apa? Kejadiannya tidak seperti itu. Jangan nuduh sembarangan ya, Mas." Bulek menjawab dengan sedikit gugup.
"Lalu, kenapa kamu menuduh anak ku sembarangan? Aku tidak bicara sembarangan, Darmi, apalagi menuduh. Aku membicarakan fakta, Mbak mu ini kan mengalami sendiri. Tapi, entah bagaimana caranya kamu mencuci otak Mbak mu, sampai-sampai ... ia malah jadi membenci anaknya sendiri."
"Kan memang saat Rama lahir, Bapak meninggal. Kalau seperti itu bisa donk disebut pembawa sial?!" Bulek tetap ngotot sambil mencebikkan bibirnya.
"Kalau gitu ... aku juga bisa dong, ngatain kamu anak durhaka? Alias pembunuh Bapak sendiri. Sudah tahu orang tua sakit keras, malah ditinggal pergi sampai Bapak meninggal ...," balas bapak dengan tenang.
"Enak aja kamu ngomong, Mas! Aku tidak terima!"
"Sama, aku juga tidak terima anakku dibilang pembawa sial," lanjut Bapak dengan suara masih pelan dan tegas.
"Sudah ku katakan berkali-kali, jangan muncul di hadapanku atau keluargaku dengan membawa masalah. Perlu kamu tahu, ini rumah Rama dan Alana. Hasil kerja keras yang halal dari mereka berdua. Tidak ada andil kami sebagai orang tuanya dalam rumah ini sedikitpun. Kami yang jadi orang tuanya aja tidak berhak menghakimi rumah ini sial atau tidak. Lah, kamu siapa? Kok dengan lancang dan tidak tahu malunya, berani mengatakan rumah ini sial!" timpal Bapak.
Bulek membuka mulutnya mau menjawab, tapi, terpotong dengan perkataan bapak. "Kamu jangan berhubungan lagi dengan adikmu yang kejam ini, Bu. Dia mau menutupi kesalahannya dengan menimpakannya ke anakmu. Kalian ini diadu domba oleh adikmu yang licik dan kejam ini."
Ibu dari tadi hanya diam. Tidak menggubris Bulek yang masih terlihat tidak terima, tapi, juga salah tingkah.
"Ini terakhir kalinya aku bicara panjang lebar ke adikmu ini, Bu. Berikutnya ... biar tindakan nyata yang akan dia dapatkan jika berani mengusik keluargaku lagi. Sekarang kutanya ke kamu, Bu. Kamu mau mendengarkan omongan licik adikmu ini atau hidup tenang dengan keluarga kita? Kalau kamu mau dengar omongan dia, silahkan kamu tinggal sama dia. Tapi ... ingat, Bapak tidak akan pernah jemput kamu, Bu. Kalau kamu mau hidup tenang dengan keluarga kita, jangan hubungan lagi sama ini orang selama dia masih bersikap sama. Jadi kamu mau yang mana? Kesempatan hanya bapak berikan sekali ini. Bapak tidak mau lagi omong panjang lebar berkali-kali."
Aku ikut deg-degan dengan ultimatum bapak. Bapak orang yang tenang, tapi tegas. Dari tadi bicaranya pelan, tapi penuh penekanan.
"Ibu mau tinggal sama Bapak," jawab Ibu dengan singkat.
"Kamu tidak mau membela adikmu ini, Mbak? Kamu mau ketularan sialnya Rama?"
Ibu hanya diam mematung. Mungkin pergolakan batin antara membela suami dan anak atau adik kandung.
"Pulanglah, Dar. Aku akan baik-baik sana tinggal di sini," kata ibu akhirnya.
"Kamu mengusirku, Mbak? Mengusir adik kandungmu dan lebih membela anak pembawa sialmu?!"
*
*
Bersambung........
akhirnya ya rama 😭