Demi kehidupan keluarganya yang layak, Vania menerima permintaan sang Ayah untuk bersedia menikah dengan putra dari bosnya.
David, pria matang berusia 32 tahun terpaksa menyetujui permintaan sang Ibunda untuk menikah kedua kalinya dengan wanita pilihan Ibunda-Larissa.
Tak ada sedikit cinta dari David untuk Vania. Hingga suatu saat Vania mengetahui fakta mengejutkan dan mengancam rumah tangga mereka berdua. Dan disaat bersamaan, David juga mengetahui kebenaran yang membuatnya sakit hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PutrieRose, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21 MENGEJUTKAN
Peluh keringat menetes deras. Teriknya matahari tak membuat gentar seorang pria yang berlari di atas jalanan. Bersamaan dengan mobil dan motor yang melaju kencang, debu-debu seakan tersapu bersamaan angin. Dia terbatuk-batuk sembari mengatur napasnya.
"Sayang ................." teriaknya sekencang mungkin. Hingga beberapa orang yang berada di sekitar tempat itu langsung menoleh. Mereka memandangi dengan perasaan kasian.
Karina memilih duduk di sebuah halte yang terletak di seberang jalan. Ia melintasi zebra cross yang saat itu sedang lampu merah. Dengan cepat, David berlari tak ingin ketinggalan jejak.
Saat sudah sampai di hadapan istrinya, ia tiba-tiba berlutut membuat Karina terbengong.
"Ngapain sih, kayak gini! Malu tau." Karina berusaha membuatnya berdiri, tapi David tak goyah.
"Maafkan ucapan mamaku yang nyakitin hati kamu. Mama gak maksud—"
"Gak maksud gimana? Jelas-jelas mama kamu itu gak suka sama aku. Nyuruh kamu ceraikan aku. Karna sudah ada istri kedua kamu itu!"
"Tapi Sayang, kamu kan ini sudah hamil. Mama gak akan nyuruh aku ceraikan kamu lagi. Aku tadi sempat shock, Sayang. Kenapa baru cerita kalau kamu sudah hamil. Berarti pas kemarin aku nyamperin kamu, kamu sudah hamil? Kenapa gak cerita, Sayang?"
"Ahh, lepas!" Karina melepaskan tangan suaminya yang memegangi kedua tangannya. "Aku mau pulang!"
"Sayang, pulang kemana? Kamu mau terbang lagi? Sayang, kamu lagi hamil. Aku gak ijinin kamu kerja. Untuk sementara waktu, perusahaan biar dihandle paman kamu. Aku akan telfon Arthur."
Karina ingin mencegahnya, tapi David menahannya. Wanita itu sepertinya ingin mengatakan sesuatu, tapi ia seakan ragu.
"Ayo pulang ke rumah," ajaknya.
***
Hentakan kaki terdengar menggema pada lorong rumah sakit. Wajahnya terlihat kesal dan menyuruh pelayannya untuk berjalan dengan jarak yang jauh.
"Jangan dekat-dekat aku! Kalian hanya mengerjai ku saja. Teganya!" Vania bergantian menatap tajam Rara dan Andin. Dia benar-benar kesal, sudah menunggu lama di rumah utama ternyata Rissa tak kunjung pulang. Dan pada akhirnya mereka dapat info kalau Mama Rissa belum diijinkan pulang.
"Mama ...." Vania masuk dan langsung mencium tangan ibu mertuanya. Rissa langsung tersenyum sumringah melihat menantu kesayangannya.
Saat Andin dan Rara masuk, mereka buru-buru membawa keluar keranjang bunga yang terletak di sofa. Vania hampir menoleh ke belakang, tapi Rissa tiba-tiba memegang tangannya.
"Vania, Mama sudah gak betah di sini. Mama ingin pulang saja. Pusing dengan bau obat-obatan yang menyengat," keluhnya sembari memegang kepalanya yang terasa berputar. Siapa pun pasti tidak akan betah dalam suasana rumah sakit seperti ini.
"Mama sabar ya. Bentar lagi pasti pulang kok. Mama harus rutin minum obat dan makan tepat waktu."
Melihat Vania, ia seperti memiliki anak perempuan. Dia begitu sayang kepadanya, tanpa paksaan siapa pun.
Ia dengan telaten menyuapi ibu mertuanya, saat jatah makan sudah datang.
"Vania, Mama mau tanya." Tatapan ibu mertuanya terlihat serius, ia perlahan mengangguk sembari berdebar dan menebak-nebak apa yang akan ditanyakan Rissa. "Apa kamu sudah ada tanda-tanda hamil, Sayang? Maaf ya Mama tanya, tapi gak apa-apa kalau belum. Mama hanya bertanya."
DEG.
DEG.
Jantungnya yang tadi berdebar normal, kini berdebar sekencang mungkin. Darahnya berdesir hebat. Juga perasaan yang berkecamuk. Mulutnya seakan kaku saat ingin mengeluarkan suara.
Hatinya tiba-tiba tersayat, ia ingin menangis. Ingin keluar dari ruangan itu, dan menangis sejadi-jadinya.
"Aku harus jawab apa?"
Apa jawaban yang pantas untuk ia ucapkan. Hingga detik ini pun, hubungannya dengan David masih layaknya orang asing yang belum saling mengenal. Ia sudah berusaha mendekati dan berusaha mengajaknya bicara, tapi David seakan tak meresponnya sama sekali.
"Hm, belum, Ma," jawabnya.
Rissa malah tersenyum dan mengelus tangannya. "Gak apa-apa, belum rejeki."
***
Langit sudah menggelap, rumah yang tak kalah mewah dari rumah utama terlihat paling mencolok di antara rumah yang lain. Kakinya berpijak pada jalanan setapak yang dibentuk menuju pintu.
Ia melihat mobil suaminya sudah terparkir, itu artinya suaminya telah pulang. Buru-buru ia melangkahkan kakinya masuk berharap akan bertemu dengan suaminya.
Beberapa pelayan yang melihat kedatangan Vania, memasang wajah shock.
"Andin! Rara! Kenapa nyonya Vania pulang ke rumah ini?" bisiknya pelayan yang ada di rumah.
Andin dan Rara langsung berpandangan, mereka langsung mencegah Vania yang akan naik ke atas.
"Nyonya! Ayo makan dulu. Makan malam dulu, tuan David menyuruh Anda untuk makan malam dulu." Vania terlihat bingung karna ia ingin segera bertemu suaminya tapi karna perutnya juga terasa lapar akhirnya ia mengiyakan ajakan pelayan.
"Baiklah. Hari ini masak apa?" tanyanya sembari jalan menuju ruang makan.
"Banyak. Nyonya mau apa? Nanti kami buatkan langsung."
"Hm, tidak. Yang ada saja," jawabnya.
Selagi makan, ia lantas berpikir. Bagaimana cara ngomongnya nanti soal Mama Rissa yang sudah menegur soal momongan.
"Apa yang harus aku katakan? Masa aku harus ngomong, ayo bikin anak. Ah, memalukan! Masa aku harus menyerahkan diri, padahal dia tak pernah ada niat menyentuhku. Ah! Bagaimana ini?"
Sebuah mobil terparkir di sebelah mobil miliknya.
"Ada yang datang?" Karina menatap David, ia yang ingin masuk ke dalam mobil lantas terurungkan. "Istri keduamu? Berarti dia ada di dalam dong?"
"Sayang! Aku mohon jangan sekarang, Mama sedang sakit. Ayo kita istirahat di apartemen."
"Oh itu alasan kamu, makanya ngajak aku ke apart? Gak, gak mau. Aku mau di sini saja!" Karina tiba-tiba ingin masuk ke dalam lagi, dan David yang sudah kehabisan akal lantas menggendongnya.
"Beib! Nanti aku jatuh!" Karina memberontak, tapi karna badan David yang besar dan kekar, ia pun tak goyah.
"Kita jalan-jalan dulu malam ini."
CUP!
Kecupan dari David, seketika membuatnya meleleh. Karina tersipu malu dan memalingkan wajahnya yang memerah.
Cukup lama perjalanan mereka tanpa saling bicara.
"Sayang, kenapa diam aja? Kamu mau kemana? Mau makan di restoran favorit kita? Atau mau ke mall?" tawarnya.
"Aku ingin kamu tinggalin dia," ucapnya sembari bersidekap dada.
"Itu gampang, Sayang. Apalagi kamu sudah hamil sekarang. Aku akan bujuk mama agar aku bisa secepatnya berpisah dengannya. Karna mama akan dapat cucu dari kamu."
"Hah? Cucu?"
"Iya, Sayang. Kamu kan sedang hamil sekarang. Gak nyangka ya akhirnya aku bisa merasakan—"
"Stop! Stop! Seharusnya kamu memperjuangkan aku karna kamu cintanya sama aku. Bukan karna aku hamil!!!" kesalnya.
"Ya itu mah sudah pasti sayang tapi—"
"Aku gak hamil! Aku gak hamil!" seru Karina tanpa berani menatap suaminya. "Itu testpack milik temanku di sana," jelasnya lagi.
Mobil tiba-tiba berhenti mendadak, David saking kagetnya mengerem tiba-tiba. Bahkan mobil yang dibelakang hampir saja menabrak mobilnya.
BIM! BIM! BIM!
Bunyi klakson mobil belakang cukup mengagetkan mereka. Mobil tersebut sepertinya kesal dengan ulahnya yang mengerem mendadak.