"Kita sudah ditakdirkan untuk bertemu. Kamu adalah milikku. Kita akan bersatu selamanya. Maukah kamu menjadi ratu dan permaisuri ku, Lia?" ucap Mahesa.
Dia di lamar oleh Mahesa. Pemuda tampan itu dari bangsa jin. Seorang pangeran dari negeri tak terlihat.
Bagimana ini...?
Apa yang harus Lia lakukan...?
Apakah dia mesti menerima lamaran Mahesa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minaaida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 29. Pertanyaan Iteung
Lia menatap iba pada Enah yang tergolek tak berdaya di kamar mandi. Beberapa orang karyawan mes segera menggotong tubuh Enah menuju ke luar mes. Mereka ramai - ramai membawa Enah ke rumah sakit.
"Iteung, ... mbak Nah mau di bawa ke mana?" tanya Lia.
"Ke rumah sakit, Lia. Takutnya kenapa - napa. Masalah nya mbak Nah jatuh di kamar mandi dengan posisi seperti tadi itu sudah pasti kepalanya akan mengalami benturan." ucap Iteung.
Para pekerja yang lain berbondong - bondong menyusul Nah yang sudah lebih dahulu di bawa oleh pekerja yang lain.
"Teung, kamu mau kemana?"
"Aku mau ke rumah sakit. Aku ingin melihat keadaan mbak Nah", ucap Iteung.
Lia dan Iteung merasa khawatir dengan kondisi Enah.
"Aku ikut ya, Teung?" ucap Lia.
"Ya udah,... kalau gitu aku ambil uang dan hpku dulu, cepatlah!", ucap Iteung.
Lia dan Iteung berjalan menuju kamar masing-masing. Setelah itu mereka berdua bersama - sama ke rumah sakit. Sebelumnya, Iteung dan Lia sudah menelpon temannya untuk menanyakan rumah sakit mana tempat Enah dirawat.
Hari sudah semakin siang. Lia dan Iteung tiba di rumah sakit.
Kedua sahabat itu segera masuk untuk mencari keberadaan Enah. Ternyata Enah masih belum sadarkan diri di ruang UGD.
Iteung sudah menghubungi Pak Karso sebelum tiba di rumah sakit. Iteung mengabarkan apa yang terjadi pada lelaki itu.
Rumah makan terpaksa ditutup hari itu karena sang juru masak mengalami musibah.
Meskipun ada Lia yang bisa menggantikan Enah sebagai juru masak, tapi hal itu tidak mungkin dilakukan karena sudah terlanjur kesiangan.
Sebenarnya Pak Karso merasa kesal karena seluruh pekerja serempak mengajukan cuti untuk hari ini karena ketika tadi mengantar Enah ke rumah sakit melibatkan hampir seluruh pekerja dan menyita banyak waktu.
Namun, apa boleh buat, Pak Karso terpaksa harus menyetujui karena mengingat hari juga sudah semakin siang.
"Kenapa jadi begini,...?", keluh Pak Karso.
Pak Karso melihat ke arah Enah yang masih terbaring tak sadarkan diri. Dia sebenarnya heran dan tak mengerti apa yang terjadi pada juru masak nya itu. Bukankah target sebenarnya adalah Iteung?
"Kenapa dia yang jadi korban..." ucap pak Karso dalam hati.
Lia melirik pak Karso yang sedang menatap Enah. Lia menduga pasti lelaki itu sedang berpikir mengapa Enah yang harus menjadi korban bukan Iteung.
"Ya..sudah, Iteung , kamu dan Lia, tungguin Enah di sini, bapak mau melihat Rendi dulu", ucap pak Karso.
"Iya, pak. Oh iya, ngomong - ngomong, bagaimana kabar mas Rendi?", tanya Iteung.
"Kondisinya sudah berangsur angsur membaik. Mungkin nanti kamu bisa menjenguk nya karena kebetulan Rendi juga di rawat di rumah sakit ini ", ucap pak Karso seraya menyebutkan ruangan tempat Rendi di rawat pada Iteung.
"Iya, Pak. Besok - besok aja deh, pak." , ucap Iteung.
"Jadi kalian berdua yang menjaga Enah?", tanya pak Karso.
"Iya, Pak ", jawab Iteung.
Pak Karso terlihat merogoh saku celananya dan mengeluarkan dompetnya.
Dia membuka dompetnya yang tebal yang berisi lembaran merah dan biru, menarik beberapa lembar uang kertas merah dan memberikan nya pada Iteung.
"Nak Iteung,... ini buat pegangan kamu di sini", ucap Pak Karso.
Iteung menatap nanar uang pemberian pak Karso. Dia ragu untuk menerima uang itu karena mengingat ucapan Lia semalam yang mengatakan bahwa Pak Karso menggunakan pesugihan. Dia juga teringat nasib Enah yang sudah diperingatkan oleh Lia namun wanita itu tak percaya dan berakhir dengan musibah yang menimpanya.
Lia yang melihat Iteung terdiam sambil menatap uang pemberian pak Karso menjadi cemas dan khawatir kalau - kalau Iteung menerima uang pemberian pak Karso tersebut.
"Tidak usah, Pak. Aku dan Lia sudah bawa uang sendiri, kok. Lebih baik bapak gunakan saja uang itu untuk membayar biaya pengobatan Mbak Nah, karena kami tidak punya uang untuk membayar nya ", ucap Iteung menolak secara halus pemberian uang Pak Karso.
Lia menarik napas lega setelah mendengar penolakan Iteung. Namun tidak dengan Pak Karso. Lelaki itu terlihat begitu kesal mendapatkan penolakan dari Iteung.
Namun demikian, dia mencoba bersikap biasa saja di depan Lia dan Iteung agar keduanya tidak curiga.
"Ya sudah, ... kalau begitu bapak pergi dulu ya, nak Iteung, Lia", pamit pak Karso.
"Teung,... kayaknya pak Karso marah ya,...?", tanya Lia. Iteung mengangkat bahu. Sebenarnya dia juga merasa tidak enak hati menolak pemberian lelaki itu. Tapi dia juga tak ingin mati konyol di tangan lelaki itu dengan menjadi tumbal pesugihan. Ih, amit - amit, ucap Iteung dalam hati sambil bergidik ngeri.
"Hei,...di tanya diam saja!", sentak Lia.
Iteung cengar cengir sambil menatap Lia.
"Kamu itu, ....mana aku tahu. Mungkin saja dia lagi banyak pikiran. Kamu tahu sendiri, kemarin anaknya yang kena musibah. Hari ini, pegawai nya. Bagaimana nggak pusing?",
Lia menganggukkan kepalanya tanda setuju dengan pendapat Iteung.
"Lia, yuk, cari sarapan! Perut ku sudah lapar banget!", ajak Iteung.
"Hayo,... aku juga sudah lapar ", jawab Lia.
***
Sementara itu,...di ruangan lain di rumah sakit yang sama.
Pak Karso kini sudah berada di kamar perawatan Rendi. Dia menatap putranya yang saat ini terbaring lemah di ranjang pasien.
Anaknya memang sudah siuman. Namun karena benturan keras di kepala nya membuat pemuda itu terus tertidur.
Pak Karso seorang duda yang di tinggal mati oleh istrinya, terpaksa harus menjaga putranya seorang diri.
"Kenapa jadi begini?", Pak Karso berkata seperti pada dirinya sendiri.
"Seharusnya,... yang jadi korban itu Iteung. Seharusnya Iteung yang kenapa - napa. Tapi kok malah Enah yang kena musibah. Ini tak seperti yang sudah di rencanakan sejak awal. Apa sudah terjadi sesuatu? Apa aku melakukan kesalahan, ya? Terus apa yang terjadi pada Rendi? Kenapa putraku itu kena imbas juga?" pikir Pak Karso kalut.
Dia ingin menanyakan hal ini kepada sang juru kunci. Tapi dia ragu jika harus meninggalkan putra nya seorang diri.
"Bagaimana caranya aku meninggalkan Rendi sendiri disini? Tapi aku harus pergi menemui si Mbah jika ingin tahu yang terjadi.", pikir Pak Karso gusar.
Pria paruh baya itu terdiam sejenak seperti sedang berpikir keras. Ia harus segera menemukan solusi sebelum semua terlambat. Tiba - tiba, terbersit sebuah ide di kepalanya.
"Oh,... aku mungkin bisa minta tolong pada Iteung untuk menjaga Rendi. Gadis itu pasti bisa di percaya untuk menjaga Rendi selama aku pergi. Aku harus pergi menemui juru kunci itu secepatnya", ucap pak Karso.
Pak Karso langsung pergi menemui Iteung yang masih ada di ruang UGD menunggu Enah.
Sementara itu, Lia dan Iteung baru saja pulang dari membeli sarapan untuk mereka berdua. Sepertinya kebanyakan rumah makan di sekitar tempat ini menggunakan pesugihan seperti halnya pak Karso sehingga Lia dan Iteung sampai bingung harus cari tempat makan di mana.
Untung saja keduanya menemukan sebuah kedai kecil yang menjual nasi uduk. Keduanya membeli nasi uduk di sana karena hanya di tempat itu, yang Penjual nya tidak menggunakan pesugihan ataupun pelaris lain.
Mereka makan bersama di ruang tunggu UGD sambil ngobrol.
"Eh, Lia, tiba-tiba kok aku ingat omongan kamu, ya?", ujar Iteung.
Lia menghentikan makannya dan menatap Iteung dengan heran. "Ucapan ku yang mana?",
"Itu loh, yang semalam. Kamu kan bilang kalau pak Karso itu menggunakan pesugihan. Menurutmu, apa yang terjadi pada Mba Nah itu apakah ada hubungan nya dengan pesugihan yang dilakukan oleh pak Karso itu?", tanya Iteung.
Lia terdiam sejenak , dia sedang memikirkan jawaban apa yang harus diberikan pada Iteung.
Hayoo! Jawabannya apa???
oiya kapan2 mampir di ceritaku ya..."Psikiater,psikopat dan Pengkhianatan" makasih...