Tiga tahun lamanya Amara menjalani pernikahannya dengan Alvaro. Selama itu juga Amara diam, saat semua orang mengatakan kalau dirinya adalah perempuan mandul. Amara menyimpan rasa sakitnya itu sendiri, ketika Ibu Mertua dan Kakak Iparnya menyebut dirinya mandul.
Amara tidak bisa memungkirinya, kalau dirinya pun ingin memiliki anak, namun Alvaro tidak menginginkan itu. Suaminya tak ingin anak darinya. Yang lebih mengejutkan ternyata selama ini suaminya masih terbelenggu dengan cinta di masa lalunya, yang sekarang hadir dan kehadirannya direstui Ibu Mertua dan Kakak Ipar Amara, untuk menjadi istri kedua Alvaro.
Sekarang Amara menyerah, lelah dengan sikap suaminya yang dingin, dan tidak peduli akan dirinya. Amara sadar, selama ini suaminnya tak mencintainnya. Haruskah Amara mempertahankan pernikahannya, saat tak ada cinta di dalam pernikahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh Empat - Aku Tidak Semiskin Itu
Amara masih duduk di tepi ranjang. Air matanya tak berhenti menetes, entah kenapa sakit sekali rasanya mendengar Cindi mengutarakan hal demikian. Meski Amara tahu kalau Cindi sedang berbohong karena ingin Varo kembali padanya, tetap saja Amara merasakan nyeri di hatinya.
Alvaro masuk ke dalam kamar, setelah mereka pergi dari rumahnya. Tidak peduli Alea yang menangis karena masih ingin dengan Varo, Varo memilih masuk dan tetap mengusir para manusia yang membawa keributan di rumahnya.
“Ra, kamu mendengar semuanya tadi?” tanya Alvaro saat melihat Amara sedang duduk dan menangis.
Amara mengangguk kecil, dengan sesekali menyeka air matanya. Amara benar-benar sudah tidak bisa menahan sakitnya lagi. Dia sudah berusaha untuk kuat, dan tidak mau terlihat lemah di mata suaminya, tapi tetap saja, Amara merasakan semua itu terlalu sakit.
“Tolong jangan katakan hal seperti itu lagi, Ra. Aku gak suka kamu dengan mudah mengucapkan kata cerai,” ucap Varo dengan tatapan kecewa dan marah, namun hatinya sakit sekali melihat Amara yang menangis di depannya.
Alvaro dengan lembut mengusap pipi Amara, ia menyaka air mata Amara, lalu membawa Amara ke dalam pelukannya.
“Apa aku harus bertahan ,saat mas sudah memiliki anak lain di luar sana?”
“Aku tidak pernah menyentuh Cindi sama sekali, Ra! Percayalah padaku!” bantah Alvaro.
“Apa aku harus percaya? Sedangkan kalian berpacaran sudah sangat lama. Bertahun-tahun kalian pacaran, tidak mungkin kalian tidak melakukan apa-apa, Mas,” ucap Amara dengan menatap sendu Alvaro.
“Selama ini aku sudah sabar dengan semuanya. Bahkan saat mas tidak mau memiliki anak, aku mencoba mengerti. Mungkin mas belum siap memiliki anak dengan perempuan yang terpaksa mas nikahi, aku paham akan hal itu. Aku selalu bertanya-tanya dalam hatiku saat itu, mau sampai kapan kita seperti ini? Mau sampai kapan kamu tidak mau memiliki anak dariku? Dan sekarang, aku sudah tahu alasannya, selain mas memang tak pernah mencintaiku, mas juga masih terbelenggu pada masa lalu mas, apalagi ada anak di antara mas dan dia,” jelas Amara, mengeluarkan semua unek-unek yang ada di pikirannya selama ini.
“Aku memang belum siap memiliki anak, Ra. Aku belum siap karena hatiku juga belum siap untuk mencintaimu. Aku tidak mau saat aku melakukannya, dan kamu hamil, anak kita terlahir tanpa cinta dari orang tuanya, aku gak mau itu terjadi,” ucap Alvaro. “Aku harus apa supaya kamu percaya padaku, Ra? Supaya kamu percaya kalau Alea bukan anakku?” ucap Alvaro frustrasi.
“Lakukan tes DNA, kalau benar Alea anak kamu, kita pisah saja, Mas. Kita bercerai, daripada aku mengambil ayah dari seorang anak,” ucap Amara tanpa keraguan.
Alvaro pun menatap mata Amara, ia melihat tak ada keraguan sedikit pun saat Amara mengatakan hal itu.
“Aku aka membuktikannya, kalau Alea bukan anakku!” ucap Alvaro dengan tegas dan penuh keyakinan.
Alvaro kembali memeluk Amara. Dia merasa sakit melihat Amara kali ini, baru kali ini Amara terlihat begitu terluka sekali. Terdengar suara gedoran pintu di kamarnya saat Varo berusaha membuat Amara tenang.
Brak!!!
Akhirnya pintu kamar dibuka begitu saja oleh seseorang dengan sangat kasar.
“Alvaro! Mama gak mau tahu, kamu harus segera menikahi Cindi!” teriak Eliana di depan pintu kamar Alvaro dan Amara.
Amara yang melihat itu pun ingin marah dan memaki mertuanya, akan tetapi dia masih memiliki kesabaran, meski hanya seujung kuku.
“Kalian bicara di luar saja, jangan gaduh di kamar orang! Sana keluar, aku mau istirahat! Pusing dengan drama kolosal kalian!” ucap Amara dengan sinis. Rasanya masalah tak pernah berhenti datang sejak dia menikah dengan Alvaro.
“Kita bicara di luar, Ma. Biar Amara istirahat,” ucap Varo mengajak mamanya keluar. Eliana semakin geram dengan kelakuan Amara yang sekarang makin berani, dan lebih kesalnya lagi sekarang Alvaro sangat nurut pada Amara.
“Dasar menantui tak tahu diri! Hei Amara, seharusnya kamu senang kalau Alvaro memiliki anak. Kamu juga harusnya bisa menganggap Alea seperti anakmu sendiri. Kamu itu harusnya sadar diri, kamu itu mandul! Tidak bisa memberikan Alvaro anak!” umpat Eliana di hadapan Amara.
Alvaro sangat kecewa mendengar ucapan mamanya itu yang menghina Amara. Tidak menyangka mamanya akan mengatakan hal menyakitkan itu di depan Amara. Padahal Alvaro sangat tahu mamanya seperti apa, tidak pernah sedikit pun mamanya menghina dan merendahkan orang lain, apalagi pada menantunnya. Entah akhir-akhir ini mamanya menjadi seperti ini.
“Iya, aku sadar diri kok, Ma! Aku juga tidak masalah jika harus berpisah dengan Mas Varo, silakan kalau Mas Varo mau menikahi Cindi sekarang! Aku tidak masalah!” ucap Amara.
“Lalu kenapa kamu masih menahan Alvaro?” tanya Eliana menatap tidak suka, sedangkan Amara hanya tersenyum kecil.
“Aku sudah sangat tahu diri, Ma! Makanya aku mau berpisah dengan Mas Varo, tapi Putra mama yang tidak mau? Karena dia sudah tidak mau lagi dengan perempuan seperi Cindi,” ucap Amara tenang.
“Apa yang kau inginkan? Harta Anakku? Mau harta gono-gini? Mau merebut hak Alea?”
“Mama! Stop, Ma! Jangan ....” Amara menghentikan ucapan Alvaro, dia memegang tangan suaminya, dan tersenyum tenang.
“Tidak, untuk apa? Saya tidak semiskin itu! Aku tidak akan mengambil apa pun milik Mas Vari, jangan khawatir, mama tenang saja!” ucap Amara dengan sinis.
“Cukup, Ma! Cukup! Dengarkan Varo, Ma! Varo tidak akan menceraikan Amara. Tidak akan pernah, Ma! Dan tolong jangan pernah menyuruh Varo untuk menikahi Cindi, karena sampai dunia kiamat pun Varo tak akan pernah mau menikahinya! Mau dia bilang Alea anak Varo pun, tetap Varo tak akan menikahinya! Camkan itu, Ma! Kalau mama ingin cucu, aku dan Amara bisa berikan, tapi tolong kasih kami waktu, karena kami memang sulit untuk menyatukan hati kami, Ma. Ma Amara adalah amanah papa, aku tidak akan pernah menyia-nyiakannya!” ucap Alvaro.
“Yakin dia bisa hamil?” ucap Eliana dengan tersenyum mengejek.
“Aku pastikan Amara akan hamil dalam wkatu dekat ini!” ucap Alvaro dengan yakin. Amara malah terkekeh mendengar ucapan Alvaro.
“Jangan memberikan harapan palsu pada mama, Mas! Semua orang sudah tahu kalau aku itu mandul! Jangan membuat mama mengharapkan yang tak pasti. Yang sudah pasti di depan mata sudah ada, Mas! Cindi dan Alea!” ucap Amara sinis.
“Tuh kamu dengar sendiri apa yang istrimu ucapkan, kan? Jadi untuk apa sih kamu mempertahankan perempuan mandul? Segera nikahi Cindi!”
“Tidak, Amara pasti bisa hamil! Sampai kapan pun aku tidak akan menikahi Cindi! Keluar, Ma!” teriak Alvaro dengan raut wajah yang merah padam, membuat sang mama ketakutan melihatnya. Segera Eliana keluar dari kamar Alvaro karena takut melihat wajah Alvaro yang sudah merah padam. Tak hanya Eliana saja, Amara pun sangat takut melihat wajah Alvaro saat ini, dia pasti sangat marah pada dirinya, karena sudah mengatakan hal seperti itu pada mamanya.
lanjutttt terus donggg 💪🤗🤗🤗
Jangan sampai malah melakukan kesalahan kamu Varo.... itu final Amara buat gak akan maafin kamu yaa 🤨😡